Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29: Pertarungan Hidup dan Mati
Suasana di penginapan semakin mencekam seiring berjalannya waktu. Gelap malam kini tidak lagi hanya menjadi latar belakang—ia seolah hidup, berdenyut dengan kekuatan jahat yang tak kasat mata. Dari sudut-sudut gelap, terdengar tawa cekikikan yang mengerikan, suara kuntilanak yang bergema seperti angin dingin yang menerpa jendela. Suara itu melengking, melintasi dinding penginapan, membuat bulu kuduk para kru syuting berdiri.
Lampu-lampu yang tadinya terang mulai berkedip, mengeluarkan suara dengung aneh sebelum tiba-tiba padam satu per satu. Kegelapan total menyelimuti penginapan. Beberapa kru yang berada di lorong berteriak panik, ada yang terjatuh, berusaha mencari pegangan. Salah satu kamera tiba-tiba jatuh dengan keras, pecah berkeping-keping di lantai tanpa alasan yang jelas. Cermin-make up yang ada di ruang rias pecah berderak, serpihannya berhamburan ke lantai seperti serpihan es.
Akasha berdiri tegang, matanya menyapu ruangan dengan gelisah. Dia bisa merasakan kehadiran makhluk-makhluk itu, meski samar-samar, seperti gumpalan kabut hitam yang bergerak liar di sudut-sudut ruangan. "Mereka... semakin dekat," gumamnya, suaranya serak. Saveina yang berada di belakangnya tampak pucat pasi, tubuhnya gemetar ketakutan. Antonio, meskipun biasanya angkuh, kini wajahnya menunjukkan kepanikan yang nyata.
“Cepat! Bersembunyi di belakangku!” perintah Akasha, dengan suara yang sedikit gemetar namun tetap tegas. Dia tidak ingin menunjukkan ketakutannya, meski dalam hati dia tahu bahwa mereka berada di ambang bahaya besar.
Saveina dan Antonio saling berpandangan, kemudian dengan cepat berlari ke belakang Akasha. Mereka menunduk, menyembunyikan diri di balik tubuh Akasha yang berdiri tegar di tengah ruangan. Suara kuntilanak itu semakin keras, terasa menusuk telinga, hingga terasa seolah ada yang menjerit tepat di sebelah mereka.
Tiba-tiba, angin dingin berhembus kencang dari arah jendela yang pecah, meskipun tidak ada angin dari luar. Tirai berkibar liar, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk seperti tangan-tangan tak terlihat yang siap meraih mereka. “Mereka akan masuk ke sini...,” kata Akasha lirih, sambil memusatkan perhatian, mencoba bertahan melawan kekuatan yang semakin mendekat.
Ketika seorang kru mencoba melangkah mundur, kakinya tersandung entah oleh apa, dan dia jatuh keras ke lantai. Sebelum dia sempat berdiri, suara tertawa itu semakin dekat, terasa menghantui tepat di samping telinganya. Dia menjerit panik, tetapi suaranya tenggelam dalam kegaduhan yang terjadi di sekelilingnya.
Akasha mengangkat tangan, berusaha membentuk penghalang tak kasat mata di sekeliling mereka, berharap bisa menahan teror ini. "Tetap dekat... Jangan bergerak!" perintahnya sekali lagi, napasnya terengah. Dia tahu ini hanya sementara, makhluk-makhluk itu akan terus mendekat, menyerbu dari semua arah.
Di luar, terdengar suara motor yang mencoba dihidupkan, namun mesinnya mati mendadak, seolah-olah sesuatu menariknya kembali. Setiap upaya kru untuk kabur selalu berakhir dengan bencana, dan kini tidak ada tempat lain untuk bersembunyi.
___
Di dimensi lain, pertempuran sengit berlangsung. Carlos, dalam wujud kucingnya, meringis kesakitan setelah diserang berkali-kali oleh Arham, yang telah bertransformasi menjadi sosok manusia gagak yang mengerikan. Dengan bulu hitam pekat yang bertebaran ke segala arah, Arham melompat, mencakar Carlos dengan sayapnya yang besar.
Carlos berdiri goyah, napasnya tersengal-sengal, namun matanya tetap terfokus pada Arham yang telah sepenuhnya berubah menjadi manusia gagak. Setiap gerakan Arham terasa beringas, sayapnya yang besar menciptakan angin yang tajam, membuat udara seolah bergetar. Di seberang mereka, ibu-ibu yang melindungi Ruri terus menahan serangan asap hitam yang berusaha menembus bariernya.
"Asap hitam ini semakin kuat!" desis ibu itu, bibirnya bergetar. "Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan." Asap hitam yang menyerbu bariernya seperti aliran ombak yang terus menghantam tanpa henti. Meskipun tampak tenang, keringat mulai mengalir di dahinya, menunjukkan betapa keras perjuangannya melawan kekuatan jahat tersebut.
Carlos menyerang lagi dengan cakar tajamnya, mencoba melukai Arham yang terus terbang berputar-putar di atasnya. Setiap kali Carlos melompat, Arham selalu berhasil menghindar dengan mudah, membuat Carlos semakin frustrasi. "Kau pikir bisa mengejarku?!" Arham tertawa, suaranya kini penuh dengan ejekan yang tajam. Ia menukik dengan cepat dan menyapu Carlos dengan cakarnya yang besar, meninggalkan luka berdarah di tubuh kucing itu.
Carlos mengerang, darah mengalir di sisi tubuhnya, tapi dia tidak menyerah. Dia bangkit lagi, meski tubuhnya terasa lemah. Di depannya, Arham melayang-layang di udara dengan sayap yang terbentang luas, menatap Carlos seperti pemangsa yang siap melahap korbannya kapan saja.
"Ruri… aku harus melindunginya," pikir Carlos, matanya tetap tajam meski tubuhnya hampir habis tenaganya. “Aku tidak bisa menyerah.”
Sementara itu, Ruri di dalam barier semakin gelisah melihat keadaan Carlos. “Carlos, bertahanlah!” Ruri berteriak, meski suaranya tertahan oleh barier pelindung yang diciptakan oleh ibu-ibu tersebut. Ibu itu menoleh ke arahnya, memperingatkan, “Jangan keluar dari sini! Jika kau keluar, kita semua akan dalam bahaya.”
Namun, Ruri semakin sulit menahan emosinya. Carlos, yang dulu pernah dia selamatkan saat masih kecil, kini berada di ambang kematian. Ingatan masa lalu itu membuat hatinya bergejolak.
Di saat yang sama, Arham memanfaatkan momen kelemahan Carlos untuk menyerang lagi. Dengan satu sapuan kuat, sayapnya menghantam Carlos hingga terlempar jauh. Tubuh Carlos menghantam tanah dengan keras, membuatnya meringis kesakitan. Arham tertawa puas, "Ini akhirnya, Carlos. Kau terlalu lemah untuk melawanku."
Carlos berusaha bangkit sekali lagi, meski tubuhnya penuh luka. "Aku tidak bisa menyerah… Aku harus melindungi Ruri," gumamnya dalam hati, meskipun matanya sudah mulai kabur karena kelelahan. Dia tahu bahwa jika dia jatuh sekarang, Ruri akan berada dalam bahaya.
Arham, dengan penuh percaya diri, terbang tinggi sebelum menukik untuk memberikan pukulan terakhir. Namun, di saat yang sama, Ruri berteriak histeris, “Carlos!” Tekanan emosional yang dia rasakan membuatnya tak lagi bisa menahan diri. "Aku tidak akan membiarkanmu mati!"
Carlos melihat Ruri hendak berlari ke arahnya, namun sekali lagi berhasil dicegah oleh sang ibu-ibu. Walau demikian, meski tubuhnya sudah lelah, tekad dalam dirinya semakin membara. Carlos pun mengingat janji yang pernah dia buat dalam hati, janji untuk melindungi gadis yang pernah menyelamatkannya.
___
Carlos semakin terpuruk. Setiap gerakan Arham—sekarang sudah sepenuhnya menjadi burung gagak raksasa—membuat tubuh kecil Carlos yang berada dalam wujud kucing terseok-seok. Cakar-cakar gagak itu seperti pisau tajam yang dengan mudah merobek bulu dan kulitnya. Luka menganga di sisi tubuh Carlos semakin banyak, darah hitam mulai menggenang di tanah.
Arham terbang tinggi di atas mereka, memutar di udara dengan angkuh, mengepakkan sayap besarnya dengan suara yang menggelegar, memenuhi udara dengan bulu-bulu hitam yang mengerikan. Setiap kali Arham menukik, tubuh Carlos terpental, tak sanggup mengimbangi kekuatan lawannya yang semakin brutal. "Kau terlalu lemah, Carlos," pekik Arham dengan tawa keji. "Aku akan menghancurkanmu seperti yang seharusnya kulakukan bertahun-tahun yang lalu!"
Sementara itu, di dalam barier cahaya, sang ibu-ibu misterius berdiri teguh dengan tangan terangkat, mempertahankan perisai yang melindungi Ruri. Asap hitam pekat terus mencoba menembus barier tersebut, merobek lapisannya dengan kejam, namun sang ibu-ibu tetap bertahan, meskipun napasnya semakin berat. "Ruri, jangan keluar! Sudah kubilang tetap di sini! Kau hanya akan membuat Carlos semakin kesulitan jika berada di sana! " perintahnya lagi dengan suara tegas namun lelah.
Namun Ruri, yang sejak tadi hanya bisa menonton dari dalam barier, tidak sanggup lagi melihat Carlos terbaring tak berdaya. Hatinya terasa perih setiap kali Arham menukik dan Carlos terpental lagi. Tubuhnya gemetar, rasa takut dan cemas menyelubungi pikirannya. “Carlos...,” gumamnya, matanya berkaca-kaca melihat Carlos yang terus terluka. Ia meremas tangannya dengan kuat, rasa tak berdaya menghantamnya seperti badai.
Ibu-ibu itu berusaha menarik Ruri, namun ia merasakan sesuatu yang berbeda di dalam dirinya—sebuah kekuatan yang tiba-tiba membuncah, seperti dorongan yang tak bisa dihentikan. Dalam sekejap, Ruri berhasil melepaskan diri dari genggaman sang ibu-ibu dan melangkah maju, keluar dari perlindungan barier. "Ruri, jangan!" teriak ibu itu dengan suara penuh kepanikan, namun Ruri sudah tak peduli lagi. Dia berlari ke arah Carlos dengan penuh tekad.
Semua terasa seperti gerak lambat di mata Carlos yang setengah sadar. Ruri yang berlari menghampirinya—sebuah pemandangan yang sangat mirip dengan ingatannya bertahun-tahun lalu. Dia ingat saat pertama kali bertemu Ruri, ketika Ruri kecil menyelamatkannya dari serangan gagak yang sama. Di hari itu, Ruri kecil tanpa ragu-ragu berlari ke arahnya, melindunginya dengan cengkeraman yang begitu kuat pada burung gagak yang hendak membunuhnya.
Kini, pemandangan itu terulang kembali. Ruri, meski sudah dewasa, masih memiliki keberanian yang sama. Dengan cengkeraman kuat, ia menangkap leher Arham yang kini dalam wujud burung gagak raksasa. Arham terkejut, tak menyangka bahwa manusia biasa seperti Ruri bisa memiliki kekuatan seperti itu. Ia berusaha melepaskan diri, namun Ruri mencengkeram lebih kuat, matanya memancarkan api kemarahan.
"Jangan berani-berani menyentuh Carlos lagi!" teriak Ruri dengan penuh kemarahan. Arham berusaha meronta, mengepakkan sayapnya dengan keras, namun kekuatan yang ada dalam diri Ruri seolah-olah berasal dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Cengkeramannya semakin erat, membuat burung gagak itu kehilangan keseimbangan. Dalam satu gerakan cepat, Ruri melempar tubuh besar Arham ke tanah dengan kekuatan yang luar biasa.
Arham terhempas ke tanah, tubuhnya terguling-guling sebelum akhirnya terhenti. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya lemas, namun tatapan matanya masih dipenuhi kebencian dan rasa marah yang mendalam. "Kau... kau akan menyesal!" desisnya dengan suara serak, suaranya kini terdengar lebih menyerupai suara burung gagak yang sedang sekarat.
Carlos, yang menyaksikan semuanya dari kejauhan, merasa jiwanya tersentuh. Ruri yang selama ini dia lindungi, kini berdiri di depannya, mempertaruhkan nyawanya. Seketika, tekad Carlos kembali bangkit. Dia tahu dia tidak bisa membiarkan Ruri bertarung sendirian, apalagi melawan makhluk sekuat Arham. Dengan sisa tenaga yang ada, Carlos bangkit, meskipun tubuhnya penuh luka.
“Kau pikir bisa menghancurkanku di sini, Arham?” kata Carlos dengan suara pelan namun penuh keyakinan. "Kau tidak tahu betapa bodohnya kau telah menyeretku ke dunia hantu ini."
Arham menatap Carlos dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu?” tanya Arham, napasnya masih terengah-engah.
Carlos menyeringai, senyumnya penuh kebencian sekaligus kemenangan. "Bangsa kucing hantu seperti kami mendapatkan kekuatan penuh di dunia hantu. Asap hitam ini? Itu memperbaiki core kami setiap kali rusak." Carlos melangkah maju, meskipun tubuhnya masih terluka, namun luka-luka itu mulai menghilang. "Setiap kali core-ku hancur, asap hitam dari dunia ini menyembuhkannya."
Arham tersentak, menyadari kebodohannya. Carlos semakin mendekat, tubuhnya kini pulih sepenuhnya, sementara Arham semakin lemah. "Kau membawa dirimu ke kehancuran, Arham," kata Carlos dengan dingin. "Dan sekarang, waktumu sudah habis."
Dengan kekuatan penuh, Carlos menerjang Arham tanpa ampun. Serangan bertubi-tubi menghantam burung gagak itu, membuatnya terhuyung-huyung, tidak berdaya melawan kekuatan yang tak terduga dari Carlos. Setiap cakar dan taring yang Carlos hantamkan ke tubuh Arham menciptakan luka-luka besar, darah hitam pekat mengalir dari tubuh Arham yang semakin lemah.
Namun, Arham bukanlah makhluk yang mudah dikalahkan. Meski tubuhnya terasa semakin lemah, tatapan matanya tetap dipenuhi dengan kebencian dan amarah yang menyala-nyala. Dia tahu bahwa jika terus berada di dunia hantu ini, dia akan kalah oleh Carlos. Tapi dia punya rencana lain. Carlos yang terlalu percaya diri telah membuat kesalahan besar—terlalu fokus pada serangan tanpa memperhatikan lingkungannya.
Dengan sisa kekuatannya, Arham menukik cepat ke arah Carlos, mencakar dengan cakarnya yang besar dan tajam. Carlos berhasil menangkis serangan itu dengan cakar kucingnya, tapi tidak menyangka bahwa tujuan Arham bukan untuk menyerangnya. Cengkeraman Arham yang kuat tiba-tiba menggenggam erat tubuh Carlos, mengangkatnya ke udara.
"Jika kau begitu kuat di dunia hantu ini, mari kita lihat seberapa kuat kau di dunia manusia!" teriak Arham dengan suara geram, penuh dendam. Dengan kekuatan yang tersisa, Arham membentangkan sayap hitam besarnya, menciptakan pusaran angin yang kencang, mengangkat dirinya dan Carlos keluar dari dunia hantu.
Carlos yang terkejut mencoba melepaskan diri, tapi sudah terlambat. Arham berhasil menyeretnya keluar dari batas dunia hantu dan kembali ke dunia manusia. Dalam sekejap, mereka berdua terlempar kembali ke dunia nyata—langit yang tadi dipenuhi asap hitam kini berubah menjadi langit malam yang kelam dengan bintang-bintang berkelap-kelip di kejauhan.
___
Begitu tiba kembali di dunia manusia, Arham terhempas ke tanah dengan keras, sayap gagaknya berkepak liar sebelum mendarat berat. Tubuhnya mulai berubah—bulu hitam yang menutupi tubuhnya memudar, kembali menjadi kulit manusia. Namun, wajahnya tetap menonjol dengan paruh dan tatapan burung, setengah gagak dan setengah manusia. Keringat dingin mengucur dari dahi Arham, tanda bahwa energinya mulai terkuras habis.
Carlos berdiri beberapa meter darinya, masih dalam wujud kucing. Meski kembali ke dunia manusia, Carlos belum berubah, tetap mempertahankan bentuknya yang tampak kecil namun berbahaya. Kedua matanya menyala dengan keteguhan yang tak tergoyahkan.
“Kau sudah selesai, Arham,” desis Carlos, suaranya rendah dan tajam.
Arham terhuyung-huyung bangkit, berusaha mengibaskan sisa-sisa debu dari tubuhnya. “Jangan menganggap remeh aku,” balasnya dengan penuh amarah, tangannya yang besar mencakar tanah. “Aku tidak akan kalah di tempat ini!”
Arham kemudian menyerang dengan kecepatan yang tidak terduga, mencakar ke arah Carlos dengan sayapnya yang masih setengah gagak. Carlos melompat ke samping, menghindari serangan itu dengan gesit. Namun, Arham tak berhenti di situ. Dia terus menyerang bertubi-tubi, mengibas sayap, mengayunkan cakar, dan berteriak marah. Meski tenaganya sudah melemah, Arham masih memiliki kecepatan yang sulit diimbangi.
Carlos, dengan cerdik, membaca pola serangan Arham. Dia tahu, Arham semakin liar, tapi setiap serangan yang dia lakukan menjadi lebih lambat. "Kau terlalu terburu-buru," kata Carlos sambil bergerak mengelak. "Dan kau lupa sesuatu... Ini dunia manusia."
Saat Arham mencoba menyerang lagi, Carlos dengan cepat menyelinap di bawah kakinya dan melompat tinggi ke udara. Dengan satu gerakan cepat, Carlos mencakar sayap Arham dengan tajam, merobeknya. Arham terhuyung mundur, mengerang kesakitan, darah hitam pekat mengalir dari luka besar di sayapnya.
Carlos mendarat dengan anggun di depan Arham yang sedang kesakitan, memperhatikan lawannya yang kini mulai kehilangan keseimbangannya. "Di dunia hantu, aku bisa abadi. Tapi di sini... kau tidak punya kesempatan lagi."
Arham berusaha berdiri tegak, tubuhnya yang setengah manusia dan setengah burung gemetar karena kelelahan. Tatapan matanya yang tajam penuh dengan kebencian, tapi dia tahu pertarungan ini telah berakhir.
Carlos melihat peluang terakhirnya. Dengan kecepatan yang luar biasa, dia menerjang Arham, langsung menghantam pusat tubuhnya dengan cakar kucingnya. Serangan itu menghantam tepat di jantung Arham yang masih tersisa. Dalam satu teriakan kesakitan yang memekakkan telinga, Arham terjatuh. Tubuhnya mulai menghilang, perlahan-lahan memudar menjadi debu hitam yang diterbangkan angin. Carlos tetap diam, menatap debu yang tersisa dengan tatapan dingin.
Akhirnya, Arham benar-benar hilang, tersapu oleh angin malam, dan langit pun kembali tenang.
Carlos, yang telah kelelahan, terjatuh ke tanah. Dia bernapas dengan berat, menyadari bahwa meskipun menang, energi terakhirnya telah terkuras. Tubuhnya kembali ke wujud manusia secara perlahan. Dalam wujud manusia itu, Carlos tetap terduduk, terengah-engah.
Ruri, yang selama ini dilindungi oleh ibu-ibu, akhirnya muncul dari persembunyian. Matanya langsung tertuju pada Carlos yang terduduk sendirian. “Carlos!” serunya, berlari ke arahnya. Tubuhnya gemetar, tidak percaya apa yang baru saja dia saksikan. Carlos, pahlawannya, duduk di sana, penuh luka namun tetap terlihat kuat.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Ruri dengan suara pelan, penuh kekhawatiran.
Carlos tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum samar, meskipun jelas terlihat ada rasa sakit yang dia tahan. Dia menatap Ruri dengan mata yang penuh kehangatan, dan tanpa peringatan, Carlos mengangkat tangannya, menyisir mulut Ruri dengan lembut. Sentuhan itu membuat Ruri terkejut, tapi dia tidak menolak. Dalam suasana hening yang mendebarkan itu, Carlos mendekatkan wajahnya ke wajah Ruri.
Dan sebelum Ruri bisa berkata apa-apa, Carlos menariknya ke dalam ciuman yang dalam dan penuh gairah. Bibir mereka bertemu, menciptakan sensasi panas yang mengalir ke seluruh tubuh Ruri. Sentuhan Carlos yang kuat namun lembut membuat Ruri kehilangan kata-kata. Ciuman itu begitu intens, seakan semua rasa lelah dan perjuangan Carlos terlepas di sana. Ruri merasakan detak jantung Carlos yang cepat di dadanya, tapi dia tidak peduli. Dalam momen itu, hanya ada mereka berdua—Ruri dan Carlos, terhubung dalam satu ciuman penuh perasaan.
Carlos memperdalam ciuman itu, bibirnya menelusuri bibir Ruri dengan lembut namun menuntut, sementara tangannya perlahan-lahan membelai leher Ruri, menariknya lebih dekat. Ruri yang semula terkejut, perlahan mulai menyerah, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan Carlos. Tangannya dengan gemetar meraih dada Carlos, merasakan denyut jantung yang mengalir di sana.
Ketika akhirnya mereka melepaskan ciuman itu, napas Ruri tersengal, wajahnya memerah, dan jantungnya berdetak cepat. Carlos, meskipun tampak kelelahan, masih menatapnya dengan mata penuh cinta.
“Aku baik-baik saja,” kata Carlos pelan, suaranya berat namun penuh dengan kehangatan. "Selama kau bersamaku."
Ruri terdiam, namun hatinya terasa hangat. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan apa yang dia rasakan saat itu, selain rasa cinta yang mendalam untuk Carlos.
Di sisi lain, Carlos, koin emas penopang hidupnya yang tinggal satu-satunya itu perlahan mulai retak.