Jia Andrea selama lima tahun ini harus bersabar dengan dijadikan babu dirumah keluarga suaminya.
Jia tak pernah diberi nafkah sepeser pun karena semua uang gaji suaminya diberikan pada Ibu mertuanya.
Tapi semua kebutuhan keluarga itu tetap harus ditanggung oleh Jia yang tidak berkerja sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rishalin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 14
"Nak, setelah semua masalah mu selesai. Apa kamu siap untuk mengambil alih perusahaan Papa?" Tanya Pak Alan tiba-tiba.
Kini mereka bertiga sedang duduk di sebuah gazebo di taman belakang rumah Pak Alan.
Jia tengah menatap anaknya yang sedang asik bermain pun menjawab.
"Kalau aku tidak segera mengambil alih perusahaan Papa, bagaimana aku bisa mencukupi kebutuhan Amira Pa." Ucap Jia yang secara tidak langsung menerima permintaan Papanya.
Pak Alan dan Bu Dinda tersenyum mendengar ucapan Jia yang sudah siap untuk menggantikan posisi Papanya.
"Tapi aku tidak mau langsung di lepas begitu saja. Aku minta waktu Papa selama satu sampai dua tahun untuk memantau ku dalam pekerjaan. Takutnya kalau aku langsung di lepas perusahaan malah jadi amburadul." Ucap Jia lagi yang dengan senang hati di angguki oleh Pak Alan.
"Alhamdulillah Nak kalau kamu sudah mau menggantikan Papa mu. Selama ini Mama berharap bahwa masa tua Mama dan Papa bisa santai dan tenang melihat anak-anak Mama semuanya sukses." Ucap Bu Dinda.
"Maafin Jia ya Ma, Pa. Maaf kalau selama ini Jia membuat Mama dan Papa kecewa." Ucap Jia tulus dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kenapa kamu bicara seperti itu Nak?" Tanya Bu Dinda pada Jia.
"Jia... Jia.. sudah gagal mempertahankan rumah tangga Jia Ma." Jawab Jia yang kini mulai berderai air mata.
"Tidak sayang. Kamu tidak salah, mungkin Tuhan memang menginginkan Papa untuk merawatmu lagi." Jawab Pak Alan yang tidak ingin Jia terus menyalahkan dirinya sendiri.
Jia mendekati kedua orangtuanya, lalu memeluk Bu Dinda diiringi isak tangis.
"Apa aku punya dosa yang tidak aku sadari ya Ma? Sampai Tuhan membalasnya dengan cara seperti ini." Ucap Jia di sela-sela tangisannya.
"Tapi tak apa. Yang penting anakku jangan sampai merasakan hal yang sama." Lanjutnya lagi.
"Mama.." panggil Amira yang baru saja melangkah mendekati Jia. Anak kecil itu melihat Jia tengah menangis di pelukan Omanya.
Jia menoleh dengan mata sembabnya, dengan bergegas menghapus air mata yang masih tersisa.
"Mama kenapa menangis?" Tanya Amira dengan tatapan sendu.
Jia menggelengkan kepala seraya menarik tangan Amira dengan lembut lalu meluknya.
"Bunda gak menangis, Sayang. Mata Bunda cuma kelilipan, iya kan Oma?" Jawab Jia berpura-pura bertanya dengan Bu Dinda
Mau tidak mau bu Bu Dinda pun menganggukkan kepalanya mengiyakan ucapan Jia.
"Bunda bohong ya?. Apa Bunda menangis karena Ayah?" Ucapan Amira membuat semua orang disana terkejut.
Jia mengerutkan keningnya dengan heran karena pertanyaan dari Amira.
"Sayang!!" Jia membelai lembut rambut panjang Amira.
"Bunda, Amira juga pernah nangis karena Ayah. Amira pernah nangis saat Ayah lebih sayang sama Zura. Jadi Amira tau kalau Bunda nangis karena Ayah lebih sayang sama Tante itu dari pada sama Bunda." Ucap Amira dengan polosnya.
Jia lagi-lagi dibuat tertegun setelah mendengar ucapan Amira.
"Amira tunggu di sini sama Opa dan Oma ya. Mama mau ketoilet sebentar." Pamit Jia pada Amira.
Tanpa menunggu jawaban dari sang anak, Jia dengan cepat bangkit dan langsung berlari kecil meninggalkan mereka bertiga.
Pak Alan dan Bu Dinda yang mendengar ucapan Amira pun menatapnya iba.
"Ma, samperin Jia sana. Biar Papa yang di sini sama Amira." Ucap Pak Alan.
Bu Dinda dengan cepat beranjak, melangkahkan kaki untuk menyusul langkah Jia.
"Jia." Ucap Bu Dinda seraya mengetuk pintu kamar Jia.
Jia kembali beranjak dan segera membuka pintu kamar. Bu Dinda melangkah masuk dan kembali memeluk Jia.
Lagi-lagi air mata Jia luruh di pelukan Bu Dinda.
"Anak ku ternyata sudah banyak merasakan rasa sakit dari Ayahnya, Bun. Aku harus bagaimana, aku takut kalau dia akan trauma kalau bertemu kembali dengan Ayahnya." Ucap Jia di sela isak tangisannya.
Bu Dinda hanya bisa diam, ia tak tau harus menjawab apa karena itu menyangkut rumah tangga anaknya.
Jia mengurai pelukannya. Ia menatap lekat wajah Bu Dinda.
"Ma. Menurut Mama, gimana kalau aku mengajak Amira ke psikolog?" Ucapan Jia sebenarnya membuat hati Bu Dinda merasa sakit.
Bu Dinda menghela napas panjang lalu menghembuskannya pelan.
"Nak, kalau itu memang yang terbaik untuk kesehatan mental Amira. Sebelum Amira terlanjur membenci sosok seorang Ayah, lebih baik kamu segera melakukannya ." Jawab Bu Dinda yang merasa sakit saat mengucapkan kalimatnya.
Nia menundukkan pandangannya, kini ia enggan untuk menatap Mamanya.
"Seharusnya hanya aku yang mengalami dampak dari sifat buruk Mas Rangga. Aku sampai lupa kalau ada anak kecil yang juga merasakan sakit hati melebihi rasa sakitku. Selama ini aku terlalu fokus memikirkan rasa sakitku tanpa melihat rasa sakit yang juga dirasakan oleh Amira." Jia bergumam. Namun masih dapat di dengar oleh Bu Dinda.
Bu Dinda hanya bisa mengusap lembut punggung Jia. Berharap hal itu akan bisa sedikit menguatkan putrinya.
"Sebentar lagi, kamu akan bebas darinya. Mama harap jika suatu saat nanti kamu memilih untuk kembali berumah tangga, jangan memilih lelaki yang hanya mencintai kamu saja. Tapi pilihlah lelaki yang mampu mencintai anak mu melebihi rasa sayangnya terhadapmu." Ucap Bu Dinda lembut.
"Aku bahkan sudah tak memikirkan untuk menjalin rumah tangga lagi Ma." Jawab Jia.
***
"Kenapa tuh muka? Murung banget." Ucap Wandi yang melihat Rangga baru saja sampai di kantor.
"Aku lagi ada masalah Di." Jawab Rangga lemah.
Wandi yang mendengarnya pun dengan cepat melangkah mendekati rekan kerjanya itu.
"Kenapa lagi? Soal bini? Atau kamu ketahuan selingkuh?" Tanya Wandi berturut-turut, membuat Rangga menatap Wandi heran.
"Kamu cenayang ya?" Bukannya menjawab Rangga malah bertanya balik dengan tatapan heran.
"Hahaha kita sudah lama kenal, Rangga. Dan akhir-akhir ini kamu selalu curhat masalah istri dan selingkuhan mu itu. Bahkan kalau istri sah mu menggugat cerai kamu, aku sudah tidak terkejut lagi. Karna apa yang di lakukan istri mu itu sudah benar dan sangat tepat." Jawaban Wandi terdengar santai. Namun, bak sebuah tamparan keras bagi Rangga.
"Kenapa? Kamu bilang kalau kamu ketahuan selingkuh kamu tak akan membiarkan istri mu menggugat mu, tapi kamu yang akan menalak istri mu di depan selingkuhan mu. Terus kenapa sekarang kamu malah murung hmm?" Lanjut Wandi yang masih tidak mengerti dengan jalan pikiran seorang Rangga.
Rangga menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar.
Setelah itu dia mengusap kasar wajahnya sendiri. "Masalah bukan aku yang ketahuan selingkuh, bukan juga masalah aku yang di gugat cerai." Jawab Rangga lirih.
"Lalu?" Tanya Wandi penasaran.
"Aku lupa kalau mobil yang selama ini di pakai Adik ku, Jia yang beli dan belum sempat aku balik nama atas nama ku. Dan sekarang keluarga ku menuntut ku untuk segera membalik nama mobil tersebut." Ucapan Rangga membuat Wandi terkejut.
Wandi menggelengkan kepalanya pelan. Benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran keluarga Rangga.
"Lalu kamu takut kalau mobil itu akan di ambil lagi oleh Jia?" Tanya Wandi memastikan.
Dan yang lebih membuat Wandi terkejut, dengan santainya Rangga justru menganggukkan kepalanya.
"Gila kamu ya!! Itu kan haknya Jia kenapa kamu harus takut. Mobil itu memang punya Jia dan kamu yang salah. Terima resiko lah." Ucap Wandi yang sudah kehilangan akal menghadapi sikap Rangga.
"Masalahnya kalau aku tidak mendapatkan mobil itu. Litta pasti akan meminta mobil padaku, dan kalau Litta aku belikan mobil otomatis Manda juga pasti mau. Belum lagi Manda meminta ku untuk segera menikahinya. Mana ada aku uang sebanyak itu." Jawab Rangga dengan jujur mengeluarkan unek-uneknya.
"Ya kamu minta sama Ibu mu lah. Bukannya kamu bilang beberapa uang mu disimpan oleh Ibu mu. Kamu minta saja Ibu mu untuk membelikan Litta mobil." Ucap Wandi mengompori Rangga.
"Mama ku selalu banyak alasan kalau aku bertanya tentang uang." Jawab Rangga singkat.
Wandi tersenyum mendengar jawaban Rangga.
"Sekarang kamu sudah tahu kan? Istri atau Ibu mu yang salah? Seharusnya kamu sudan bisa menilainya." Ucapan Wandi justru malah membuat Rangga kebingungan.
Rangga menatap Wandi dengan tatapan bertanya.
"Maksud kamu apa? Jadi Mama ku yang salah gitu? Dia orang yang sudah melahirkan aku, dia juga yang sudah membesarkan aku. Apa yang dia lakukan itu selalu benar di mata ku. Jadi aku tidak akan menyalahkan Mama ku." Jawab Rangga yang tidak terima saat Wandi menyalahkan Ibunya secara tidak langsung.
"Rangga, kamu itu terlalu mendewakan Ibu mu. Kamu boleh berbakti. Tapi lihat kondisi, kamu masih bujang atau sudah memiliki anak istri." Ucap Wandi yang juga ikut jengkel.
"Tapi terserah sih, itu kan hidup mu. Toh bicara sama kamu pasti akan tetap salah." Lanjut Wandi yang langsung melenggang pergi meninggalkan Rangga dari pada dia harus baku hantam dengan Rangga.
********
********
kenp gak tegas .buat mereka kapok