Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Bagong duduk di kursi ruang kunjungan yang kerasnya lebih cocok untuk latihan yoga daripada tempat ngobrol santai. Dia menggoyang-goyangkan kaki yang mulai kebas, sementara Gunawan duduk di depannya dengan wajah seperti biasa: perpaduan antara kelelahan dan rasa "ini orang lagi mau ngapain sih."
"Bang Gun," Bagong memulai, membuka obrolan dengan gaya seperti penjual asuransi yang baru belajar persuasif. "Gue mau ngomong nih. Serius. Gue mau bantu lo bersihin nama. Gue yakin, lo itu nggak korupsi, apalagi nyuap. Kan gue tau lo dari dulu, tangan lo mah pegang duit rakyat aja kaku, apalagi sampe makan duit haram. Dulu aja gue mau nyogok lo, malah gue yang lo gebukin, sama duit buat nyogok juga lo bakar kan."
Gunawan memiringkan kepala sedikit, mengangkat alis seperti detektif yang baru denger teori konspirasi dari saksi yang kurang tidur. "Oh iya? Terus caranya gimana? Mau bikin heboh di TikTok sambil joget-joget sambil bilang gue nggak bersalah? Hengky, gue di sini gara-gara fitnah yang rapi. Nggak bisa sembarangan diurai."
Bagong tertawa kecil sambil menepuk lututnya yang masih sedikit nyut-nyutan. "Nggak, Bang. Gue ini udah berubah. Gue bukan Hengky yang dulu. Sekarang gue punya pendekatan modern. Gue bakal pake cara yang... apa ya, lebih strategis."
Gunawan menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Bagong dengan ekspresi datar, tapi dalam hati dia sedikit tersentuh. Walau begitu, Gunawan nggak mau Bagong masuk terlalu dalam. "Hengky, denger ya. Gue tahu lo niat baik, tapi ini urusan gue. Lo udah keluar dari dunia itu, jangan masuk lagi gara-gara gue. Lagian, buat apa? Gue udah kayak ikan asin di sini. Orang udah nggak peduli gue benar apa salah."
Bagong tidak menyerah. Dengan nada suara yang tiba-tiba seperti presenter acara kriminal, dia berkata, "Tapi gue nggak sendiri, Bang. Lo tahu nggak, siapa yang gue temuin beberapa hari yang lalu?"
Gunawan hanya memutar bola matanya. "Siapa lagi nih? Jangan bilang mantan anak buah preman lo."
Bagong tersenyum lebar, seperti seorang anak kecil yang baru nemuin uang seribuan di bawah kasur. "Arga, Bang. Anak buah lo yang dulu suka ngeyel di divisi reskrim. Gue ketemu dia pas Danu sama Yudha bikin masalah."
Gunawan langsung mengernyitkan dahi. "Arga? Itu anak? Bukannya sekarang dia di divisi lalu lintas? Anak asuh lo nyetir motor nggak pakai helm?"
Bagong tertawa kecil, "Kagak bang, biasalah kenakalan bocah"
Gunawan tersenyum kecil, mengingat Arga yang dulu memang dikenal sebagai polisi muda yang nggak pernah takut ngomong apa yang ada di pikirannya, bahkan ke atasannya sendiri. Tapi dia tahu betul, semangat Arga pasti udah rontok sejak dipindah ke divisi lalu lintas. "Hen, Arga itu baik, tapi anak itu udah terlalu banyak ngerasain pahit. Gue nggak mau ngelibatin dia lagi, apalagi lo. Gue udah cukup nyusahin banyak orang. Lagipula Arga orangnya emosian, gue takut kalau dia terlibat yang ada malah bikin kacau buat dia"
Bagong menggeleng, menatap Gunawan dengan mata yang tiba-tiba serius. "Bang, lo nggak ngerti. Gue ini bukan lagi Hengky yang dulu. Gue ini Hengky yang udah tobat, dan gue mau bantu lo karena gue tahu gimana rasanya dituduh macem-macem, ya walaupun dulu tuduhannya bener semua sih. Intinya gue tahu lo nggak korupsi, Bang. Gue tahu banget."
Gunawan terdiam sejenak, mengamati sahabat lamanya itu. Dia bisa melihat kesungguhan di mata Bagong, tapi juga tahu betapa bahayanya bagi Bagong untuk terlibat. Dengan senyum kecil, dia menepuk pundak Bagong. "Hengky, gue terharu lo mau bantu gue, tapi serius, jangan. Gue nggak mau lo ikut kebawa masalah gue. Gue udah cukup puas lihat lo jadi orang baik sekarang. Jangan sampai lo balik ke dunia lama gara-gara gue, ya."
Bagong menghela napas panjang, seperti orang yang baru aja ditolak pinjaman uangnya di warung. "Yaelah, Bang. Lo tuh masih aja nggak berubah, masih aja keras kepala. Tapi gue nggak akan nyerah. Gue ini Hengky alias Bagong, mantan bos preman, Bang! Gue nggak kenal arti kata nyerah!"
Gunawan hanya bisa tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Iya, iya. Terserah lo deh Hen. Capek gue ngomong sama lo. Tapi inget, jangan sampai lo masuk penjara lagi cuma gara-gara bantuin gue. Lo udah tua, masa lo mau habisin masa hidup lo dipenjara lagi sih"
Bagong tersenyum penuh percaya diri. Dalam hatinya, dia sudah bertekad untuk melakukan apa saja demi membersihkan nama Gunawan, walaupun itu berarti dia harus kembali terlibat dengan dunia yang pernah dia tinggalkan. "Siap, Bang. Gue nggak bakal bikin lo kecewa."
Dan dengan itu, dua sahabat lama itu kembali saling tertawa, berbagi cerita masa lalu yang penuh kenangan, meski masing-masing tahu bahwa jalan di depan mereka tidak akan mudah.
Akhirnya, mereka duduk bersama, bertukar cerita tentang kehidupan, meskipun dengan sentuhan humor gelap yang hanya bisa dipahami oleh dua orang yang pernah berada di dunia yang sama—dunia di mana harga diri diukur dengan seberapa banyak orang takut padamu, bukan seberapa banyak cinta yang bisa kamu beri pada orang lain.
...****************...
Gunawan menatap Bagong, yang sudah berdiri di dekat pintu, siap untuk meninggalkan ruang tahanan. Ada kesan berbeda pada wajahnya—sesuatu yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun: rasa terima kasih yang tulus. "Hen..." Suaranya agak berat, lebih rendah dari biasanya, seperti pria yang akhirnya mengakui sesuatu yang jarang diungkapkan.
Bagong yang baru saja hendak melangkah keluar, berhenti sejenak, menoleh ke arah Gunawan dengan ekspresi bingung. "Apa lagi, Bang? Lo ini kalau ngomong tuh, selalu bikin gue bingung."
Gunawan tersenyum kecut. "Gue cuma mau bilang, Makasih. Gue di sini bisa hidup tenang, walau penjara penuh sama napi, yang dulu gue tangkep"
"Tapi berkat ada anak buah lo yang dulu, gue ngerasa sedikit aman. Mereka semua jagain gue. Kalau bukan karena mereka, gue udah lama jadi pesakitan di pojokan penjara. Digebukin"
Bagong mengusap kepalanya, seolah-olah merasa tidak enak. "Aduh, Bang, gue nggak ngapa-ngapain kok. Mungkin anak buah gue cuma cari bos baru, itu aja."
Gunawan menatapnya dengan tatapan setengah heran dan setengah kagum. "Udah lo nggak usah pura-pura, mereka udah ngomong semuanya sama gue"
Bagong langsung mengangkat kedua tangannya, seolah-olah sedang menghalau sesuatu. "Ember banget tu mulut. Pokoknya bang, gue nggak lakuin apa-apa, itu keputusan mereka sendiri buat ngikutin lo"
Gunawan menyeringai. "Ayo, Hen, jangan pura-pura, lah. Gue tahu banget itu semua gara-gara lo. Jangan khawatir, mereka jagain gue karena juga pengen hidup lurus kayak lu, Mereka janji kalau keluar dari sini bakal nemuin lo dan kerja lagi sama lo." Dia terkekeh, melihat Bagong yang masih gelagapan mencoba menghindar dari pujian.
Bagong, yang sebenarnya sedikit tersentuh, kembali menundukkan kepala. "Apaan? Kagak...Kagak... Bilangin sama mereka bang, gue ogah nampung mereka. Suruh aja mereka dagang atau ngapain kek, daripada nyamperin gue. Bikin repot aja"
Gunawan tertawa pelan, lalu dengan nada serius yang agak berat, dia berkata, "Oke..oke.. Gue bakal ngomong sama mereka."
Bagong mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca meskipun dia berusaha keras menahan emosi. "Ya udah, kalau gitu, gue tinggal pergi. Tapi ingat, kalau lo butuh gue lagi, jangan ragu untuk minta bantuan, Bang."
Gunawan mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. "Oke Hen, Hati-hati dijalan"
Bagong melangkah pergi, namun di hatinya ada perasaan yang aneh—perasaan campur aduk antara rasa bangga karena bisa membantu sahabatnya, dan sedikit kecewa karena ternyata dia masih terikat dengan dunia yang ingin dia tinggalkan. Tapi itu semua adalah bagian dari perjalanan hidup yang terkadang tidak bisa dihindari.
...****************...
Bagong, yang tengah berjalan dengan langkah terhuyung-huyung, tiba-tiba berhenti di tengah lorong penjara. Matanya yang tajam, penuh dengan kenangan masa lalu, merenung jauh ke belakang. Tentu saja, siapa yang mengira, dia—Hengky Wiryawan, si bos preman yang dulu ditakuti—akan bisa duduk satu meja dengan Gunawan, polisi yang dulu jadi musuh bebuyutannya? Mereka berdua saling kejar-kejaran seperti dua kucing garang, saling sikut-sikutan dalam dunia hitam yang penuh dengan intrik dan jebakan.
Sekarang? Mereka malah saling tegur sapa seperti dua teman lama yang baru bertemu di warung kopi. "Takdir emang selucu itu" Begitu gumam Bagong, sambil menatap ke lantai, mencoba mencerna kenyataan ini.
Tapi, tiba-tiba—CRACK!—sebuah rasa nyeri yang datang dari lututnya membuat Bagong langsung melompat ke samping. "Aduh! Bang-sat, dengkul gue!" teriaknya dengan suara keras. Telinga sipir yang lewat seketika jadi terfokus padanya, seolah Bagong baru saja terjun dari pesawat tanpa parasut.
Bagong mencoba berjalan lagi, meski langkahnya tak lebih dari seorang kakek yang baru saja meminjam tongkatnya dari petugas keamanan. Lututnya berdeguk keras, berasa kayak mau meledak. "Nih asam urat, bikin dengkul gue nggak enak banget. Dulu, kalau ketemu Gunawan, gue yang tendang dia pake sepatu bott... Eh, sekarang, malah dengkul sendiri yang minta ditendang!"
Dengan wajah masam, Bagong akhirnya duduk di sudut koridor penjara, ngeluh sembari memijat-mijat lutut yang terasa seperti ada batu-batu kecil yang bersarang di dalamnya. "Perasaan gue nggak tua-tua amat, masih 45 tahun, tapi kenapa rasanya dengkul gue kayak kakek-kakek jompo umur 80 tahun sih" canda Bagong, walau bibirnya setengah kaku menahan sakit.
Sambil menggerutu, ia teringat lagi percakapan tadi dengan Gunawan, dan betapa anehnya dunia ini. "Kalau diinget gimana gue sama Bang Gunawan main kucing-kucingan, lucu juga... Emang bener apa kata orang, yang jadi musuh lo hari ini, siapa tahu bakal jadi temen lo dikemudian hari" Bagong menghela napas panjang. "Hahhh... Intinya gue bersyukur kenal sama dia, meskipun dengan segala drama yang ada." Ia tertawa miris, sambil meremas lututnya yang mulai terasa sedikit mendingan.
Sambil mengusap keringat dingin di dahinya, Bagong mengangkat bahu, "Setidaknya gue masih punya kesempatan buat tobat. Rasanya hidup gue jadi lebih berkah, meskipun tiap hari makan ikan asin sambel trasi, tapi dibandingkan dulu, hidup gue jadi lebih tenang. Buat apa hidup banyak duit tapi harus waspada digrebek tiap hari."
Akhirnya, Bagong hanya bisa tertawa kecut, sambil berharap setelah rasa nyerinya hilang, dia bisa kembali menghadap dunia dengan tawa lebih lebar—tentu saja tanpa harus mengandalkan lutut yang 'ngambek' karena terlalu banyak kebanyakan sate kambing.
...****************...