Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga Diri yang Terluka
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menembus jendela kecil di rumah baru mereka. Namun, suasana di dalam rumah tetap dingin. Arini duduk di meja makan sederhana, di depannya hanya ada dua piring berisi nasi putih dan telur dadar tipis. Kirana duduk di seberangnya, menyendok makanan dengan lambat.
“Kirana, makan yang banyak. Kamu harus kuat,” kata Arini sambil mengaduk teh hangat di cangkirnya.
Kirana hanya mengangguk, tetapi jelas terlihat bahwa ia tidak berselera. Sejak kepindahan mereka ke rumah baru ini, nafsu makannya berkurang.
“Hari ini Mama mau ke pasar, kamu ada rencana ke mana?” tanya Arini, mencoba memecah keheningan.
Kirana mengangkat bahu. “Nggak tahu, Bu. Mungkin cuma di rumah.”
Arini mengangguk pelan, suasana masih canggung di antara mereka. Namun, ketenangan itu mendadak pecah saat suara notifikasi ponsel Arini terdengar. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja.
Pesan dari grup sosialitanya masuk. Di layar terlihat foto-foto para wanita berpakaian mewah sedang berkumpul di sebuah kafe mahal. Ada teks singkat di bawah foto:
“Arisan bulan ini diadakan di Grand Cafe pukul 2 siang. Semua wajib hadir. Jangan lupa membawa kontribusi, ya!”
Arini menatap pesan itu dengan mata membelalak. Ia membaca ulang teksnya, memastikan bahwa ini bukan mimpi buruk.
“Mereka masih punya keberanian mengundangku?” gumamnya, suaranya sarat emosi.
“Kenapa, Ma? Siapa yang menghubungi?” tanya Kirana penasaran.
Arini menaruh ponsel dengan kasar ke atas meja. “Teman-teman arisan Mama. Mereka mengadakan pertemuan hari ini, seolah-olah tidak ada apa-apa.”
Kirana mengerutkan kening. “Bukannya Mama biasanya senang ikut arisan? Kenapa sekarang kesal?”
Arini menghela napas panjang. “Kamu tidak mengerti, Kirana. Mereka tahu kondisi kita. Mereka tahu suamiku, ayahmu, baru saja ditangkap. Apa mereka pikir ini lucu? Apa mereka ingin melihatku terhina?”
“Mungkin mereka hanya ingin mendukung Mama, mencoba menunjukkan bahwa mereka masih menerima Mama,” Kirana mencoba menenangkan.
“Tentu saja tidak!” Arini menyela dengan suara meninggi. “Mereka hanya ingin melihatku jatuh. Aku tahu cara mereka bermain. Mereka akan pura-pura simpati, tetapi di belakangku mereka tertawa.”
Kirana terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu ibunya masih berusaha menerima kenyataan pahit ini, tetapi sifat keras kepala Arini terkadang sulit dihadapi.
***
Sepanjang pagi, Arini terus gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu kecil mereka, pikirannya berkecamuk. Sesekali ia melirik ke arah cermin, melihat bayangan dirinya. Ia masih terlihat anggun, tetapi rasa percaya dirinya mulai pudar.
“Apa aku harus datang?” gumamnya pada dirinya sendiri.
Kirana, yang sedang membaca buku di sofa, memandang ibunya. “Ma, kalau Mama merasa tidak nyaman, tidak usah datang. Kita masih bisa bertahan tanpa itu.”
Arini mendesah. “Kamu tidak mengerti, Kirana. Dunia mereka adalah dunia Mama. Kalau Mama tidak muncul, mereka akan menganggap Mama kalah. Mama tidak bisa memberikan mereka kepuasan itu.”
“Tapi, Ma... kita tidak punya uang untuk ikut arisan, kan?” tanya Kirana pelan.
Arini terdiam sejenak. Ia tahu putrinya benar. Semua uang tunai mereka sudah hampir habis untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia harus mundur dari lingkaran sosialnya.
Setelah beberapa saat, ia bangkit dan berjalan menuju kamar. Ia membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Di dalamnya tersimpan beberapa perhiasan mewah—cincin berlian, kalung emas, dan gelang yang pernah diberikan Rangga padanya di hari-hari indah mereka.
Arini memandang perhiasan itu dengan tatapan penuh keraguan. Di satu sisi, ini adalah kenangan manis dari suaminya. Di sisi lain, ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa mempertahankan martabatnya di hadapan teman-temannya.
Kirana mengikuti ibunya ke kamar dan melihat apa yang sedang dilakukan. “Ma, jangan bilang Mama mau menjual itu.”
Arini menoleh dengan tatapan tajam. “Kalau bukan ini, lalu apa lagi? Kita butuh uang, Kirana. Mama tidak bisa terus-menerus bersembunyi.”
“Tapi itu kan pemberian Papa. Apa Mama benar-benar tega?”
Arini terdiam sejenak, tetapi kemudian menghela napas panjang. “Papa tidak akan keberatan. Dia pasti ingin kita bertahan. Dan ini... ini untuk menjaga harga diri Mama.”
Kirana tidak bisa membalas. Ia tahu ibunya sudah memutuskan.
***
Beberapa jam kemudian, Arini keluar dari rumah dengan membawa perhiasannya di dalam tas kecil. Ia berjalan ke toko emas terdekat, tempat ia pernah membeli beberapa perhiasannya di masa lalu.
Pemilik toko, seorang pria paruh baya bernama Pak Herman, menyambutnya dengan senyum ramah. “Bu Arini! Sudah lama tidak melihat Anda. Ada yang bisa saya bantu?”
Arini tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa malunya. “Saya ingin menjual beberapa barang, Pak Herman.”
Pak Herman mengangguk dan mempersilakannya duduk. Dengan hati-hati, Arini mengeluarkan perhiasan dari tasnya dan menyerahkannya ke Pak Herman.
“Ini... semuanya masih dalam kondisi baik,” kata Pak Herman sambil memeriksa barang-barang itu. “Tapi, Bu Arini, apa Anda yakin ingin menjual semuanya?”
Arini mengangguk tanpa ragu. “Saya butuh uang tunai, Pak Herman. Tidak ada pilihan lain.”
Pak Herman tidak bertanya lebih lanjut. Ia memberikan penawaran, dan Arini menerimanya tanpa banyak berpikir.
***
Siang itu, Arini tiba di Grand Café dengan penampilan yang sempurna. Ia mengenakan gaun sederhana tetapi tetap anggun, dengan sepatu hak tinggi yang terlihat baru dipoles. Teman-teman sosialitanya sudah berkumpul di meja panjang, berbicara dan tertawa seperti biasa.
“Arini! Akhirnya kamu datang!” seru salah satu dari mereka, seorang wanita bernama Dian, yang dikenal paling vokal di kelompok itu.
Arini tersenyum tipis dan mengambil tempat duduk. “Maaf, aku terlambat. Ada urusan tadi pagi.”
“Oh, tidak apa-apa,” jawab Dian, tetapi nada suaranya terasa menyindir. “Kami semua senang kamu bisa bergabung. Kami tahu betapa sulitnya situasimu sekarang.”
Arini berusaha mempertahankan senyumnya. “Terima kasih atas undangannya. Aku tidak ingin kehilangan momen untuk bertemu kalian.”
Selama pertemuan, Arini merasa seperti berada di bawah pengawasan. Setiap komentar dari teman-temannya terdengar seperti sindiran halus tentang kondisi keluarganya.
“Aku dengar rumah besar itu sudah disita, ya? Pasti berat sekali,” kata salah satu wanita sambil menyeruput kopinya.
“Ya, tetapi aku percaya semuanya akan kembali seperti semula,” jawab Arini dengan tenang, meskipun hatinya bergemuruh.
“Hebat sekali kamu bisa tetap kuat,” tambah Dian. “Kalau aku di posisimu, aku tidak tahu harus berbuat apa.”
Arini hanya tersenyum, tetapi ia tahu betul bahwa mereka tidak benar-benar bersimpati. Mereka hanya ingin melihat bagaimana ia menghadapi kejatuhannya.
Setelah pertemuan selesai, Arini pulang dengan hati campur aduk. Di satu sisi, ia berhasil menjaga harga dirinya. Di sisi lain, ia merasa lebih kosong daripada sebelumnya. Perhiasan yang ia jual untuk membayar kontribusi arisan terasa seperti pengorbanan yang sia-sia.
Di rumah, Kirana menunggunya di ruang tamu. “Bagaimana, Ma? Apa Mama senang?”
Arini melepaskan sepatu hak tingginya dan duduk dengan lelah di sofa. “Tidak, Kirana. Dunia mereka tidak pernah benar-benar peduli.”