kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
Adiba menarik napas dalam, lalu menatap tajam Satria. "Adiba nggak mau ada wanita lain. Apapun alasan dan kondisi nya, Adiba nggak mau ada wanita lain masuk."
Satria tersenyum mendengarnya, terdengar ringan, tapi beratnya tak terasa.
"Mas bukan orang sempurna, Adiba. Tapi mas akan selalu menjadikan Adiba satu-satunya wanita di sini," tuturnya menunjuk dada.
Tanpa Adiba sadari, pipinya bersemu juga. Ia berdeham melirik sahabatnya, jangan sampai tau dan diledekin. "Tapi, Adiba belum cinta sama mas Satria."
"Mas bisa buat kamu jatuh cinta seiring waktu."
Adiba terdiam, seperti tersihir saja.
"Ciee...." Yana udah nggak tahan ingin menggoda sahabatnya. "Langsung merah tuh mukanya."
Adiba mencebik.
"Udah, Adiba cuma mau bilang itu." Karena malu, Adiba beranjak. "Yana ayo pulang."
"Di minum dulu," suruh Satria menunjuk teh meja.
"Iya, aku masih capek, Diba. Di sini dulu bentarlah," tolak Yana enggan seraya tangannya meraih kue lumpur.
"Issshh, ayo."
"Minum dululah, udah dibuatin ini sama mas Satria," tolak Yana masih engan beranjak meski Adiba sudah menarik-narik tangannya. Mau gimana lagi, Adiba malah malu sendiri dan salah tingkah.
"Iya, istirahat dulu, cicipi dulu kue lumpurnya umi," sela Satria, membuat Adiba akhirnya terpaksa duduk lagi. "Skalian mas mau nitip rumah, mau jemput Faraaz dulu," sambungnya melihat arloji."Dia pasti senang kalau lihat calon uminya datang."
"Oh, iya mas, nggak papa. Kami bantuin jagain rumahnya biar nggak diambil keong," sahut Yana cepat sambil nyengir. Adiba mendelik melihat Yana sebegitu antusias.
"Makasih ya, Yan," ucap satria beranjak.
"Iya, mas. Santai aja, jangan ngebut-ngebut, jalan kampung berkelok nikung, bawa Faraaz lagi. Utamakan keselamatan," oceh Yana melambaikan tangan. Membuat Adiba merasa semakin aneh dengan sahabatnya ini.
"Ya udah mas tinggal dulu ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Satria pergi dengan motor ya. Sedangkan Adiba langsung menepuk lengan sahabatnya itu.
"Apa-apaan sih kamu ini? Kamu punya maksud tersembuyi, ya?" Selidik Diba menunjuk wajah Yana.
Gadis berjilbab itu nyengir. "Terselubung apaan? Capek tau. Dikira jalan sana sini nggak capek. Makan di sini skalian, laper tau, harus ngirit duwit buat beli bensin nanti."
"Oh, itu maksud terselubungmu?" cetus Diba melirik sinis sahabatnya yang sedang mengunyah kue lumpur.
"Kita simbiosis mutualisme lah, Diba. Kamu minta anter kemari, aku temani. Sekarang aku lapar, mintain lah makan sama mas Satria." Yana menaikturunkan alisnya, seraya menjejalkan gigitan kue lumpur terakhir.
Adiba tersenyum kecut. Memang sebenarnya mereka sama. Ia juga lapar sekarang.
Beberapa menit kemudian, Satria datang bersama Faraaz.
"Calon Uminya Faraaz!"
Bocah itu turun dan langsung berlari ke arah teras. Adiba reflek ikut mendekat dan merentangkan tangan. Menyambut pelukan Faraaz dan mengangkatnya.
"Uuwiiihh, beratnya... Baru pulang sekolah, ya?" tanya nya mencubit pipi Faraaz gemas.
Fares berceloteh riang, tahu-tahu ia dan Adiba sudah saling bercerita yang entah apa namun terdengar seru. Adiba dan Faraaz duduk, sedang Satria menyusul sambil membawa beberapa kantong plastik.
"Kalian mau bakso?" Tanyanya pada Adiba dan Yana, kedua gadis itu mengangguk, "Mau!!" jawab mereka serentak.
Satria tersenyum geli, menyimpan kantong plastik yang ia bawa di atas meja, lalu ia sendiri berjalan masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian ia keluar dengan membawa beberapa sendok dan juga mangkok.
"Faraz ganti baju dulu, cuci kaki, cuci tangan. Terus kita ikut makan," suruhnya pada Faraaz yang dipangku Adiba.
Yah, nantilah Abi "
"Sekarang!"
Walau malas-malasan akhirnya masuk ke dalam dengan menyeret tas sekolahnya.
"Mas Satria tahu aja kami lagi lapar," kata Yana nyengir, melihat Satria yang sedang mengeluarkan beberapa bungkus bakso dari kantong.
"Ya, seenggaknya kalau mau pulang itu makan dulu," sahut Satria menggeser mangkok yang sudah terisi bungkus bakso ke masing-masing gadis yang menjadi tamunya."Ntar kalau udah habis boleh pulang."
"Abi udah " seru Faraz keluar dari dalam.
"Pintar, sini duduk!"
"Enggak ah, Faraaz mau duduk bareng calon umi," tolaknya duduk di samping Adiba.
Satria menggeleng pelan sembari menahan senyum "iya boleh, tapi jangan ganggu calon umi makan ya."
"Ya bi."
Satria meletakan jatah bakso Faraaz yang sudah berpindah di dalam mangkok ke depan bocah itu.
"Umi doa dulu," protes Faraz lihat Adiba dan Yana sudah menyendok bakso dan kuahnya yang hampir masuk ke dalam mulut.
"Eh iya lupa, maaf ya, Faraz"
Yana dan Adiba nyinyir malu. Mereka lantas menengadahkan tangan dan berdoa bersama, barulah menyantap bakso yang masih mengepul uapnya.
"Hmm,, hanas."
Satria menggeleng melihat calon istrinya dan Faraaz. Sungguh-sungguh mirip. Sama-sama terlihat masih bocah jika seperti ini. Setelah makan bakso dan bercengkrama sebentar, Adiba dan Yana pun lantas berpamitan.
"Yah kok udah mau pulang calon umi?" Keluh Faraz.
"Iya maaf ya calon umi harus pulang, banyak yang harus dikerjain, juga Mbah Uti nyari." Adiba mengusap kepala Faraz."Lain kali Faraaz main ya. Biar uti juga senang," sambung Adiba lagi.
Adiba berganti pada Satria, menengadahkan tangannya.
"Apa?" Tanya Satria bingung .
Adiba pun menjawab, "duit nggak punya uang buat beli bensin," katanya dengan wajah memelas.
Satria tersenyum lagi, lalu mengambil dompetnya dari dalam saku celana, mengeluarkan satu lembar uang biru dan menyerahkannya pada Adiba, "Segini cukup kan?"
"Alhamdulillah, cukup." Adiba nyengir menampakan gigi, seraya menyambar uang itu.
"Alhamdulillah nggak jadi berkurang uangku," celetuk Yana menengadahkan tangan dan mengusap wajahnya.
Satria menggeleng dan tersenyum geli lagi, "Ya udah, hati-hati di jalan. Maaf ya, mas nggak bisa antar. Salam buat bunda sama ayah."
****
"Enak ya, punya calon suami, nggak punya uang tinggal minta," celetuk Yana setelah mereka berada di atas motor dalam perjalanan pulang.
Dalam hati, Adiba pun mengiyakan. "Apa lain kali aku minta lagi ya sama mas Satria," batinnya.
Setelah mengantar Yana pulang Adiba pun menarik tuas gas motornya menuju rumah. Dalam perjalanan, tepatnya di jalan depan rumah, Diba melihat mobil Arga. Mantan kekasihnya itu pun sedang berdiri di samping mobil seperti sedang menunggunya.