Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20. Masuk Rumah Sakit
Siang ini tidak Alvaro tidak ada jadwal meeting atau temu klien, jadi Ayzel bisa ke pusat konsul lebih awal.
“Pak Alvaro sebaiknya pulang untuk istirahat,” saran ayzel pada Alvaro saat dia hendak berangkat ke pusat konsul.
“Sebentar lagi Ze,” Alvaro masih menyandarkan kepalaya pada kursi.
“Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Ayzel yang hanya di jawab anggukan kepala dari Alvaro.
Alvaro mengikuti saran Ayzel untuk pulang dan istirahat, kepalanya sangat pusing. Sesampainya diapartemen dia langsung merebahkan dirinya di ranjang tanpa berganti baju lebih dulu.
“Pak Alvaro sudah pulang?” sementara Ayzel yang sudah ada di klinik pusat konsul mengirimkan pesan pada atasannya. Dia khawatir karena sampai terakhir mereka bertemu, Alvaro masih terlihat pucat.
“Sudah,” Alvaro hanya membalas singkat.
Ayzel meneruskan pekerjaannya, hari ini dia kembali ada sesi dengan klien Z21nya. Pertemuan kali ini akan dia gunakan untuk mengidentifikasi sumber kecemasan yang dialami Z21. Ayzel menggunakan metode open-ended question (menggali faktor pemicu dengan pertanyaan terbuka untuk memberi ruang pada klien). Dia berusaha membuat kliennya merasa aman dan nyaman lebih dulu, agar dapat terbuka dengan Ayzel.
Dua sesi pertemuan konsul dengan klien sudah selasai, Ayzel dan Naira juga sudah melakukan diskusi bersama dengan pengawas mereka. Ayzel bergegas pulang setelah semua sesi diskusi selesai, dia punya janji pada Humey untuk jalan bersama.
“Berhenti di sana ya pak,” ucap Ayzel pada supir taksi. Dia memilih menggunakan taksi agar sampai lebih cepat diapartemen.
Ayzel sempat mampir dulu untuk membeli desert, dia tahu suasana hati Humey memang sedang tidak baik. Hampir setiap hari Ayzel akan mampir membeli desert untuk Humey dengan menu yang berbeda-beda.
“Ceklek” Ayzel membuka pintu, setelah melepas sepatu dan berganti dengan sandal rumah dia bergegas mencari keberadaan adik sepupunya.
“Humey. Kamu sakit?” tanya Ayzel yang melihat adiknya bersembunyi di bawah selimut.
“Eumm ... sepertinya aku demam kak,” ucapnya pada Ayzel.
Ayzel mendekat dan menyentuh kening Humey, memang terasa lebih hangat dari pada keningnya. Ayzel mencari thermometer di laci, meminta Humey untuk menaruhnya di bawah ketiak.
“37 derajat,” khawatir Ayzel yang melihat suhu badan Humey. Dia bergegas mencari obat penurun deman di kotak P3K nya, Ayzel juga menempelkan plester penurun demam pada kening Humey.
“Minum dulu. Kalau dalam 4 jam masih belum turun kita ke dokter,” Ayzel memberikan obat penurun demam pada Humey. Di biarkannya Humey istirahat, sementara Ayzel membuatkan bubur.
Tidak berselang lama ponsel Ayzel berbunyi, Kim Roan melakukan panggilan pada Ayzel.
“Hallo Ayzel. Bisa keapartemen Alvaro sekarang?” suara Kim Roan terlihat panik saat menelpon.
“Kenapa pak Kim?”
“Alvaro demam. Saya sampai Istanbul masih besok, Alvaro hanya sendirian diapartemen. saya khawatir dengannya,” Ayzel tahu pak Kim sedang serius saat ini. Tapi dia tidak mungkin meninggalkan Humey yang juga sedang sakit.
“Apa tidak ada orang lain selain saya? Masalahnya Humey juga sedang demam, tidak mungkin saya meninggalkan dia sendiri diapartemen” Ayzel benar-benar bingung.
“Tidak ada. Satu-satunya yang Alvaro kenal di sini hanya saya dan kamu, saya mohon Ayzel. Alvaro sudah tidak menjawab telepon saya,” Ayzel menimbang-nimbang.
“Baiklah. Kirimkan alamatnya pada saya,” ucap Ayzel yang setelahnya menutup panggilan telepon.
Ayzel mencerna situasi yang terjadi saat ini, sampai akhirnya dia menghubungi seseorang.
“Naira bisa minta tolong?” Ayzel menghubungi sahabatnya untuk meminta bantuan.
“Ada apa?” Naira sedang makan malam diapartemennya ketika Ayzel menelpon.
“Tolong keapartemenku. Aku minta tolong jaga Humey sebentar, dia demam. Aku harus keapartemen pak Alvaro, dia juga demam dan tidak ada orang di sana” ucapnya sambil menghela napas.
“Ok ... aku ke sana sekarang,” mereka mengakhiri panggilan telepon.
Ayzel sudah mengganti bajunya lagi, dia melihat kondisi Humey lebih dulu sebelum pergi.
“Humey. Aku harus ke tempat pak Alvaro, dia butuh bantuan. Kamu di jaga Naira dulu, ya?” Ayzel mengusap lembut puncak kepala Humey.
“Euumm,” Humey mengangguk dengan mata yang masih terpejam.
Tak berapa lama Naira datang. “Hati-hati Ay. Biar aku yang jagain Humey,” Naira mengantar Ayzel sampai depan pintu apartemennya.
Taksi online yang di pesan Ayzel sudah menunggu di bawah, Ayzel memberitahu supir untuk mengantarnya kealamat yang tadi di kirim oleh pak Kim.
“Semoga saja pak Alvaro hanya demam biasa,” gumam Ayzel.
Setelah perjalanan kurang lebih dua puluh menit, Ayzel sampai di sebuah apartemen mewah. Bisa dipastikan biaya sewa di sana bisa empat kali lipat dari sewa apartemennya. Ayzel turun setelah sebelumnya membayar taksi, sekarang dia bingung bagaimana bisa ke lantai 10 karena bukan penghuni apartemen.
“Pak Kim. Saya sudah di loby apartemen pak Alvaro,” pesan singkat dia kirim ke asisten utama Alvaro.
“Tunggu di sana sebentar. Nanti ada yang kasih kamu kartu akses masuk, kamu masuk saja langsung keapartemen Alvaro” pak Kim memberikan pasword apartemen Alvaro. Jaga-jaga kalau Alvaro tidak segera membuka pintu.
“Ok,” jawabnya dan tak berapa lama seorang penjaga paruh baya datang menghampiri Ayzel dan menyerahkan kartu akses apartemen.
Ayzel langsung masuk lift menuju lantai 10 tempat apartemen Alvaro. Ayzel keluar dari lift dan mencari no apartemen 608, dia langsung memasukkan pasword yang di berikan pak Kim. Kim Roan bilang Alvaro tidak mengangkat teleponnya, dia takut terjadi sesuatu. Alvaro tidak pernah meninggalkan poselnya kecuali saat sedang ibadah, mandi dan ketoilet.
“Pak Alvaro ... pak Alvaro,” Ayzel bingung harus mencari bosnya kearah mana dulu, apartemen Alvaro terlalu luas.
“Pak Alvaro ... pak Avaro,” setelah beberapa kali barulah Alvaro keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih pucat dari tadi siang.
“Berisik sekali,” ucap Alvaro merasa terganggu. Sebenarnya dia tidak bermaksud melontarkan perkataan seperti itu, selain tidak tahu kalau Ayzel yang datang juga karena kepalanya terasa berat karena pusing.
“Sepertinya pak Alvaro baik-baik saja. Kalau begitu saya pamit,” Ayzel sedikit kesal dengan ucapan Alvaro. Bukan apa-apa, dia bahkan meninggalkan Humey yang juga sedang sakit karena permintaan Kim Roan yang khawatir terjadi sesuatu pada Alvaro.
“Ze ... sorry,” kesadarannya sedikit pulih saat mendengar jelas suara yang tadi memanggilnya adalah Ayzel.
Alvaro tadi sudah sempat mengganti kemeja kerjanya yang basah karena keringat dingin, dia sudah berganti dengan baju rumah. Meskipun wajahnya terlihat pucat, Alvaro tetap terlihat tampan. Lagi-lagi Ayzel tidak membantah itu, benar jika rekan-rekannya selalu memuja bosnya tersebut.
“Pak Alvaro istirahat saja. Kotak P3Knya ada di mana?” tanya Ayzel.
“Ada di lemari atas dekat dapur,” Alvaro menunjuk dapurnya.
“Tidur di kamar atau saya pulang,” titah Ayzel tegas saat melihat Alvaro hendak berjalan kearahnya.
“Saya mau tiduran di sana Ze. Tempat tidur saya basah karena kringat dingin,” Alvaro menunjuk sofa besar.
Setelah memastikan Alvaro tiduran di sofa, barulah Ayzel mencari kotak P3K di dapur.
“Bagaimana aku mengambilnya kalau setinggi ini,” keluh Ayzel yang tidak dapat menjangkau lemari paling atas tempat P3K.
Ayzel sudah menaikkan satu kakinya keatas kursi untuk mengambil kotak P3K, tiba-tiba Alvaro sudah berdiri di belakangnya. Sontak hal tersebut membuat Ayzel terkejut.
“Bukan salah lemarinya yang tinggi. Itu karena kamu,” Alvaro tidak melanjutkan ucapannya karena Ayzel yang terkejut dan terpeleset.
“Pak Alvaroooo!!!” Ayzel terpleset dari kursi, Alvaro reflek memegangi tangan Ayzel agar tidak jatuh. Secara tidak sengaja tangan mereka saling bersentuhan, Ayzel merasakan tangan Alvaro yang sangat panas.
“Pak Alvaro balik ke sofa. Tidur!!!” Ayzel sedikit membentak Alvaro.
“Nyonya Alvaro jangan galak-galak. Calon suami lagi sakit,” bisik Alvaro dengan sebelah tangan yang sudah mengambil kotak P3Knya. Ayzel tidak menanggapi ucapan Alvaro, karena tahu saat ini dia sedang sakit.
“Kembali ke sana atau saya pulang?” ucapan Ayzel membuat Alvaro langsung segera merebahkan kembali tubuhnya di sofa setelah memberikan kotak P3K pada Ayzel.
Ayzel membuka kulkas Alvaro, mencari sesuatu untuk di makan. Bukan untuknya tapi untuk Alvaro. Dia harus makan dulu sebelum minum obat, namun di kulkas hanya ada roti dan makanan ringan dengan berbagai air minum kemasan.
“Pak Alvaro makan roti gak apa-apa ya? Setelah itu minum obatnya, saya buatkan bubur setelah ini.” Ayzel memberikan roti juga obat dan air mineral pada Alvaro.
“Terimakasih Ze,” ucapan Alvaro yang selalu di jawab Ayzel dengan seutas senyum penuh tatapan hangat. Hal tersebut yang selalu membuat hati Alvaro merasa hangat dan berdebar-debar.
Ayzel mencari-cari plester penurun demam di kotak obat, karena tidak menemukannya jadilah dia mengompres kening Alvaro dengan air biasa.
“Pak Alvaro?” panggil Ayzel memastikan Alvaro tetap terjaga meskipun matanya terpejam.
“Hmm ... saya tidak pingsan,” ucapnya lirih.
“Jika dalam tiga atau empat jam pak Alvaro masih merasa pusing dan demamnya masih tinggi, saya bawa anda ke rumah sakit” ucap Ayzel yang diikuti anggukan kepala dari Alvaro.
Ayel menyelimuti atasannya tersebut, setelah tadi dia bertanya letak selimut dan minta ijin pada Alvaro untuk mengambilnya.
“Pak Alvaro taruh dulu thermometernya,” Alvaro menaruhnya di bawah ketiak untuk yang ke dua kalinya. Alvaro memberikan pada Ayzel setelah thermometer berbunyi.
“Pak Alvaro kuat jalan? Kita kerumah sakit ya?” bersamaan dengan itu Naira menelpon Ayzel. Dia membantu Alvaro untuk duduk baru mengangak telepon dari Naira.
“Iya Nai gimana?”
“Ay demam Humey gak turun-turun. Humey menggigil,” untunglah Naira dan Ayzel adalah sama-sama calon psikolog. Mereka tahu bagaimana agar tidak panik.
“Kita ketemu di rumah sakit saja Nai. Pak Alvaro demamnya juga gak turun-turun,” mereka sepakat untuk bertemu di salah satu rumah sakit terdekat yang bisa mereka jangkau.
Naira membawa Humey dengan taksi, setelah sebelumya meminta bantuan pada petugas apartemen yang berjaga malam di loby untuk mencarikan taksi. Bersyukurnya Humey masih kuat berjalan, jadi Naira cukup memapahnya saja tanpa harus minta tolong orang lain.
“Pak bisa minta tolong?” Ayzel dengan terengah-engah lari keluar lift, dia minta tolong pada petugas jaga apartemen untuk membawa Alvaro masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya di luar loby apartemen.
Ayzel berterimakasih pada dua penjanga tersebut karena telah membantunya. Dia tidak mungkin membawa Alvaro turun sendirian, mengingat tinggi badan Alvaro 181 cm. Sementara Ayzel sekitar 160an cm.
“Pak Alvaro saya mohon jangan tidur,” Ayzel memanggil-mangil Alvaro agar dia tetap terjaga.
Baik Ayzel maupun Naira sampai di rumah sakit bersamaan, mereka bertemu di IGD rumah sakit. Humey dan Alvaro terbaring pada brankar yang bersebelahan, Ayzel sengaja meminta pada nakes untuk menaruh mereka bersebelahan agar lebih mudah untuknya menjaga Humey maupun Alvaro.
Tidak lama setelah itu Ayzel menyesal karena meminta nakes menaruh brankar mereka bersebelahan sebelum mendapat kamar.
“Kak Ze jangan tinggalin aku,” Humey meracau antara sadar dan tidak. Ayzel menggenggam tangannya agar adik sepupunya tersebut lebih tenang.
“Ze ... please tetap di sini,” Alvaro yang sedikit masih punya kesadaran menarik baju Ayzel untuk di pegangnya. Alvaro bahkan tak mau melepaskannya pegangannya dari lengan baju Ayzel.
“Nai tolong cari kontak pak Kim di ponselku,” Ayzel tidak bisa berkutik diantara Humey yang mengenggam tangan kiri Ayzel. Sedangan Alvaro yang menggenggam kuat lengan baju tangan kanannya.
“Aku harus bicara apa?” tanya Naira pada Ayzel.
“Bilang saja pak Alvaro masuk rumah sakit,” ucap Ayzel yang sekarang duduk di tengah2 brankar Alvaro dan Humey.
Naira sudah memberitahu Kim Roan tentang kondisi Alvaro, Kim Roan ternyata sudah dalam perjalanan sejak tadi siang Alvaro mengeluh sakit. Besok pagi harusnya dia sudah sampai Istanbul jika tidak ada gangguan cuaca.
“Terimakasih Nai. Maaf ya jadi merepotkanmu,”
“Gak masalah. Sudah selayaknya kita saling bantu di negeri orang,” Naira sambil terkekeh melihat Ayzel saat ini. Dia iseng memotret Ayzel yang seperti itu, di kirimkannya foto tadi pada asisten Alvaro dengan ponsel Ayzel yang masih dia pegang.
“Anda dan pak Alvaro harus memperlakukan sahabat saya satu ini dengan baik,” Naira menambahkan satu pesan singkat setelah mengirim foto Ayzel yang tak berkutik karena Alvaro dan Humey.
“Siap nona Naira,” jawab Kim Roan.
Alvaro sesekali berusaha membuka matanya, dia melihat Ayzel meregangkan kepalanya ke kanan da ke kiri.
“Tidur atau lepaskan lengan baju saya,” titah Ayzel yang mendapati Alvaro meliriknya.
“Tidak mau,” Alvaro justru berpindah memegang tangan dan menggengam tangan Ayzel seperti Humey menggenggamnya.
“Bisa di lepasin gak genggamannya? Kita bukan,” Ayzel menghentikan ucapannya setelah melihat Alvaro yang sudah kembali tidur.
Baik Humey maupun Alvaro sudah mulai terlelap setelah mendapatkan cairan infus dan obat yang di injek melalui cairan infus.
“Hebat kan Nai? Aku punya dua toddler besar saat ini,” ucap Ayzel yang membuat dirinya dan Naira terkekeh pelan.