Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Buruk
Nino meletakkan jeruk hangat di meja kerja Karina. Wanita itu sedang fokus pada layar komputernya, ia harus menyelesaikan konsep desainnya karena harus diserahkan besok. Biasanya ia tidak membawa pekerjaan ke rumah, tetapi pekerjaannya benar-benar harus selesai malam ini juga.
"Aku udah siapin vitamin mata buat kamu." Nino meletakkan satu strip vitamin mata di sebelah jeruk hangatnya.
Karina menurunkan kacamata untuk melihat lebih jelas obat yang diletakkan di meja. Ia menengadah menatap Nino. Lalu, menyunggingkan senyum.
"Makasih, Mas."
Nino balas tersenyum, lalu mencium puncak kepala istrinya. Ia berjalan menuju ruang baca di sebelah ruang itu. Tak lama kemudian, pria itu kembali dengan sebuah buku. Nino duduk di sofa, belakang meja kerja Karina. Ia mengambil kacamata, memakainya, lalu mulai membaca.
Waktu terus berputar dan beranjak semakin malam. Karina sudah merasakan matanya perih. Ia juga sudah menguap beberapa kali. Karina menoleh ke belakang, Nino masih fokus pada bukunya.
"Mas, kalau kamu ngantuk, tidur duluan aja," ujar Karina.
Nino mengangkat wajah, mengalihkan perhatian dari buku pada istrinya. "Aku belum ngantuk, kok."
"Katanya besok harus ke Bandung pagi-pagi."
Nino melirik jam dinding, sudah jam dua belas malam.
"Masih ada waktu buat aku tidur."
"Aku sebentar lagi selesai, Mas." Karina dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak mau Nino harus menunggu lebih lama.
Satu jam kemudian, Karina menyelesaikan pekerjaannya. Ia merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.
Karina menatap vitamin yang masih tergeletak di meja. Menyobek kemasan obat itu, lalu meminumnya. Karina menoleh ke belakang dan menemukan suaminya sudah terlelap dengan posisi duduk.
Karina beranjak dari duduknya, menghampiri Nino, lalu duduk di sampingnya, ia mengambil buku yang berada di pangkuan pria itu. Karina membaca sampulnya, buku yang dibaca oleh suaminya selalu buku self-improvement atau buku-buku tentang bisnis dan manajemen.
Selama ini, Karina belum pernah masuk ke ruang baca, karena memang tidak ada buku yang diminatinya. Ia belum tahu sebanyak apa koleksi buku milik Nino, karena setiap kali membaca, Nino pasti membawa buku yang berbeda.
Karina menyimpan buku itu di meja, ia menatap sejenak wajah yang damai dalam tidurnya itu. Namun, semakin lama diperhatikan, ekspresi wajah Nino berubah gelisah. Tarikan napasnya semakin cepat dan terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.
Karina mengguncang lengan pria itu untuk membangunkannya. "Mas."
Nino masih belum terbangun, ia semakin terlihat ketakutan. Karina mencoba untuk membangunkan Nino lagi. "Mas Nino!"
Nino membuka mata seketika dengan napas yang terengah-engah. Ia menoleh pada Karina yang menatapnya khawatir. "Karin."
"Kamu kenapa, Mas? Kamu mimpi buruk?"
Tanpa menjawab pertanyaan Karina, Nino segera memeluk Karina sampai membuat wanita itu terkejut. Lalu, Karina membalas pelukan Nino untuk menenangkannya.
***
"Kamu yakin mau berangkat, Mas?" tanya Karina dengan perasaan khawatir.
Nino sudah bersiap-siap. Ia sedang memakai kemejanya sekarang.
"Aku gak bisa batalin perjalanan ke sana, Sayang." Nino berbalik untuk menatap Karina yang berdiri di belakangnya. "Kamu gak usah khawatir. Ini cuma perjalanan ke Bandung."
"Tapi kamu semaleman gak tidur, Mas. Gimana aku bisa tenang."
Sejak terbangun dari mimpi buruknya, Nino tidak bisa tertidur lagi, rasa kantuk seolah menguap begitu saja. Sampai Karina terbangun, pria itu masih terjaga.
Nino menghampiri Karina, lalu memeluknya. "Aku udah terbiasa, kok."
Karina menatap Nino dengan raut wajah cemas. "Tapi …."
"Aku janji pulang lebih cepat hari ini."
"Kalau kamu ke Bandung yang ada selalu pulang malem."
Nino terkekeh pelan. "Makanya, kamu gak gak usah khawatir."
Karina membuang napas pelan sambil mempererat pelukannya.
Di luar masih gelap, karena memang baru jam lima pagi. Karina mengantar Nino sampai teras, sejak tadi perasaannya tidak enak. Ia terus merapalkan jika tidak akan terjadi apa-apa pada Nino.
"Hari ini gak apa-apa kan kamu naik taksi?"
"Gak apa-apa, kok. Hati-hati di jalan ya, Mas. Kalau ngantuk, kamu lebih baik istirahat dulu sebentar."
"Iya, Sayang." Nino mencium kening, kedua pipi, hidung dan bibir Karina. Hal yang selalu dilakukannya saat akan berangkat bekerja. "Aku berangkat, ya."
Karina memaksakan senyum seraya mengangguk. Ia melambaikan tangan saat Nino melakukan hal yang sama sebelum melajukan mobilnya. Karina membuang napas berat, semoga saja memang tidak akan terjadi apa pun pada Nino. Karina berharap ini hanya kekhawatiran seorang istri yang memang alami terjadi jika suaminya akan bepergian cukup jauh.
Satu jam kemudian, Karina sudah bersiap untuk berangkat kerja. Ia melihat Mbak Tika yang sudah menyiapkan sarapan untuknya. Wanita itu datang tiga puluh menit yang lalu dengan membawa bahan makanan dalam kontainer yang siap masak.
Nino tidak suka memotong sayuran sendiri, sejak sebelum menikah hingga sekarang. Karina sekali pun bahkan tidak diperkenankan. Semua bahan makanan hingga bumbu sudah dipotong dan dibuatkan oleh Mbak Tika sebelum dibawa ke rumah mereka.
Nino memanggil wanita paruh baya itu lagi setelah menikah, jika mencari asisten lain, ia tidak ingin menjelaskan lagi apa yang harus dan tidak boleh dilakukan di rumah ini. Karena sebelum menikah dengan Karina, Nino sempat tinggal di Bandung satu tahun dan selama itu, Mbak Tika diberhentikan bekerja di rumahnya.
"Mbak."
"Iya, Non."
"Mbak tahu gak alasannya Mas Nino gak pernah bolehin bawa sayuran utuh ke rumah? Kan bisa dipotong di sini terus masukin ke kontainer." Karina selalu penasaran dengan hal ini, tetapi ia baru bisa bertanya sekarang. "Kenapa dipotongnya harus di rumah Mbak? Aku mikirinnya aja ribet gitu lho."
"Saya dulu di kasih tahu Ibu, Non. Saya juga diingetin gak boleh sediain benda tajam di sini. Saya pernah bawa pisau diam-diam ke sini, ternyata ketahuan sama Ibu, saya dimarahin."
"Hah?! Masa, sih?" Karina mengernyit keheranan. Ia segera beranjak dari duduknya dan memeriksa setiap laci di kitchen table-nya. Ia tidak menemukan pisau di mana pun, hanya ada satu buah gunting kecil dan pisau untuk mengoles selai yang tentu saja tumpul, tersimpan di pojok laci bagian bawah. Setelah enam bulan bersama, kenapa baru menyadari sekarang. Selama ini tidak memerhatikan karena Karina memang jarang sekali terjun ke dapur. Nino selalu melarangnya.
Itu sesuatu yang membuat Karina terheran-heran. Dan tentu saja, ia merasa ada kejanggalan. Mungkin, ia akan menanyakan tentang ini pada Nino nanti.
***
Sudah beberapa kali Karina mencoba menelepon Nino. Namun, tidak ada jawaban. Hal itu semakin membuat Karina khawatir. Biasanya saat jam istirahat, pria itu akan menelepon. Safira sampai terheran-heran melihat Karina yang kelimpungan.
"Lo kenapa sih, Na? Dari tadi gue lihat gelisah banget," tanya Safira.
"Suami gue susah dihubungi," jawab Karina sambil terus mencoba menelepon Nino.
"Gue kira kenapa. Lagi sibuk mungkin."
Karina membuang napas berat. "Dia pergi ke Bandung dalam keadaan gak tidur semaleman. Kalau dia ngantuk di jalan pas lagi nyetir, gimana? Gi-gimana kalau—"
"Sssttt … cukup, oke. Lo gak boleh racuni pikiran lo dengan hal-hal negatif kayak gitu. Yang ada lo makin khawatir dan gak karuan, Na."
Karina mencoba untuk menenangkan diri dengan menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan.
"Dia baik-baik aja, oke. Suami lo lagi sibuk sekarang."
"Oke." Karina mengangguk-angguk. "Mas Nino lagi sibuk. Mas Nino lagi sibuk." Karina terus mengulangi kata-kata itu beberapa kali. Safira sampai geleng-geleng kepala melihat sahabatnya yang baru kali ini terlihat segelisah itu.
Hari ini, Karina pulang lebih awal. Rasanya lega karena tidak ada pekerjaan yang harus dibawanya ke rumah. Ia mengecek ponsel, Nino masih tidak ada mengabari. Rasa khawatirnya kembali timbul. Kenapa sampai sekarang dia tidak mengabari juga. Apa dia tidak tahu jika di sini istrinya sudah kalang kabut.
Karina mengetikkan pesan dan sekarang pesannya hanya centang satu, tanda ponselnya tidak aktif. Kekhawatirannya semakin memuncak, pikirannya semakin melayang ke mana-mana. Dan ketika di telepon, suara operator yang menyambutnya.
Sekarang, ia sedang dalam perjalanan menuju rumah. Semoga saja pria itu sudah tiba di rumah. Pikiran itu membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, tidak ada mobil yang terparkir di halaman rumah saat Karina sampai. Tandanya Nino belum pulang. Kedua bahunya merosot bersamaan, lalu ia masuk dengan keadaan tidak semangat.
Karina menghempaskan tubuhnya di sofa. Detik berikutnya, ia melihat sesuatu di meja bawah TV. Kemudian, ia beranjak dan menemukan ponsel Nino di sana.
Karina mendesah pelan. "Pantesan gak ada kabar. Handphone-nya ketinggalan. Mas, Mas, bisa-bisanya lupa bawa handphone."
Pikiran Karina jadi sedikit lebih tenang, tetapi khawatir tetap ada. Ia berharap tidak terjadi apa-apa pada Nino. Karena ia tidak bisa menghubungi siapa pun untuk menanyakan kabarnya.
***
Nino merasakan pusing dan mengantuk saat perjalanan pulang dari Bandung. Ia tetap menjaga fokusnya, ia tidak bisa memelankan laju kendaraan karena sedang berada di jalan tol.
Nino juga tidak bisa menghubungi Karina, karena ponselnya tertinggal. Baru ingat saat sampai di Bandung. Wanita itu pasti khawatir dan saat sampai nanti pasti dirinya akan kena omel. Nino tersenyum saat membayangkan Karina mengomel karena keteledoran dirinya yang lupa membawa handphone.
Ia tidak pernah merasa kesal walau sebanyak apa pun Karina mengomel. Ia hanya akan meminta maaf jika dirinya salah dan akan membenarkan jika dirinya benar.
Beberapa saat kemudian, Nino merasa lega saat dirinya sampai di rumah. Walau harus memakan waktu lebih lama karena sempat istirahat terlebih dahulu. Janjinya pulang lebih awal tidak bisa ditepati olehnya. Ia baru tiba saat jam sepuluh malam.
Nino masuk ke rumah dan keadaan di dalamnya sudah sepi, tetapi begitu berjalan mendekat ke arah ruang keluarga. Ia mendengar sayup-sayup suara TV dan ternyata benda itu masih menyala. Karina sendiri tertidur di sofa.
Nino duduk berlutut di depan sofa. Memerhatikan wajah istrinya yang terlelap, ia pasti menunggunya pulang. Tangannya terangkat untuk membelai wajah Karina.
Karina membuka mata saat merasakan sesuatu di wajahnya. Pandangannya sedikit mengabur, karena rasa kantuk yang teramat sangat. Namun, ia yakin jika itu Nino.
"Mas, aku khawatir lho sama kamu. Kamu gak ada kabar seharian, ternyata gak bawa handphone. Kamu teledor banget, sih," omel Karina setengah sadar. Matanya sambil kembali terpejam saat berbicara.
Nino tersenyum. "Lagi tidur aja kamu masih bisa ngomel. Pindah ke kamar yuk tidurnya."
Karina melenguh—menolak ajakan Nino untuk pindah tempat tidur—ia malah beralih posisi membelakangi Nino. Ya, kalau sudah begini, ia sendiri yang akan memindahkannya ke kamar.
Malam semakin larut, Nino duduk bersandar di dipan dengan ditemani cahaya temaram dari lampu tidur. Matanya tidak bisa terpejam karena teringat mimpi buruk semalam. Ia takut mimpi itu akan menghantuinya lagi.
Nino membuang napas pelan. Ia tidak mengerti kenapa mimpi itu hadir kembali setelah sekian lama hilang. Ia merasakan kembali ketakutan dan rasa sakit itu. Ia khawatir hal itu akan merenggut ketenangannya dan hidup dalam ketakutan lagi seperti dulu.