“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 02
Amala keluar dari dalam kamar, sambil menyandang tas tangan, benda yang tadi dia cari pun sudah ada di dalam tas nya, cincin pertunangan dengan Yasir Huda.
Amala mengenakan baju kurung, celana panjang serta hijab lebar menutupi bagian dada. Wajahnya terlihat segar, sebab ia membubuhkan bedak tipis agar tidak terlihat seperti orang habis menangis. Tak lupa mengoleskan madu murni di bibir sensualnya.
Amala memiliki kecantikan alami, turunan dari mendiang bapaknya. Postur tubuh ramping, wajah manis dengan lesung di kedua sudut bibirnya. Alis tebal dan bulu mata lentik, pipi sedikit tembam, dagunya berbelah tengah.
Namun, kecantikan Amala tersembunyi dibalik busana longgar dan hijab lebar. Sehingga di mata khalayak ramai, dirinya hanya dipandang biasa saja. Malah dimata kaum Adam, cenderung tidak menarik dikarenakan cara berpakaiannya serba tertutup. Tidak mau bersolek seperti wanita lain yang selalu berusaha tampil semenarik mungkin demi mengundang perhatian para Kumbang jantan.
“Sudah selesai berdandan nya? Apa yang kau poles, Mala? Wajahmu masih begitu-begitu saja,” tanya salah satu sahabat Amala.
“Terus, kau berharap yang bagaimana? Mirip biduan kampung kah? Yang pipinya seperti habis kenak tonjok saking tebalnya mereka memakai perona pipi.”
“Ya nggak segitunya juga. Oh ya … Mak Syam tadi berpesan, kau disuruh mengambil uang hasil jual buah pinang di tempat Bang Agam,” Dhien berucap sambil menahan senyum geli.
Badan Amala seketika lemas, wajahnya pun ikut memelas. Satu nama yang disebutkan oleh Dhien, berhasil membuatnya menjadi seperti ‘hidup segan, mati pun tak mau.’
Mak Syam, sudah pergi ke ladang, memeriksa tanaman cabai dan jahe yang tidak lama lagi siap panen.
“Tengoklah wajahmu itu Mala? Udah seperti Ayam makan karet,” Dhien tertawa puas.
“Dhien, boleh aku minta tolong?”
“Tidak.”
“Awas kau, ya!” Amala memicingkan mata, menatap sinis sahabatnya yang masih tertawa kecil. Dia pun mulai melangkah ke warung sembako yang berseberangan dengan rumahnya.
‘Ya Allah, semoga bukan Bang Agam yang menjaga warung,’ di setiap ayunan kakinya, dia berdoa, berharap tidak bertemu dengan sosok yang selalu berhasil membuat dirinya merasa terintimidasi hanya ditatap sepersekian detik.
Sampailah Amala, di warung milik salah satu orang paling kaya wilayah mereka. Bibirnya menyunggingkan senyum samar kala mendapati yang jaga warung bukan bang Agam, tetapi salah satu pekerjanya.
“Makcik, sapanya lembut, “Saya mau ambil uang hasil jual pinang kemarin,”
“Tunggu sebentar ya, Mala. Saya panggilkan dulu Nak Agam,” ujar wanita paruh baya yang langsung bergegas ke belakang warung.
Belum sempat Amala protes, sosok tadi sudah menghilang dibalik pintu penghubung warung dan ruang istirahat.
‘Sia-sia aku tersenyum, tetap saja harus berhadapan dengan dia. Ya Allah, tolong jaga lisan dan anggota tubuh ini agar tidak melakukan hal bodoh seperti yang sudah-sudah.’
Amala asik melamun, dia duduk di kursi kayu panjang, dalam hati terus menggerutu. Sampai tak mendengar ayunan langkah kaki.
“Ada perlu apa, Nur?”
Amala kenal betul suara bariton ini. Hanya dia seorang yang memanggil nama depannya, tidak seperti lainnya yang menyebut ‘Amala’.
“Hah …?”
Seperti gerakan slow motion, wajah yang tadi menunduk mulai mendongak, netranya langsung menatap bahu lebar berbalut kaos oblong, naik lagi pada jakun menonjol dan garis leher jenjang. Bukannya sadar diri malah semakin menjadi, Amala mengangkat lebih tinggi dagunya sampai pandangannya terpaku pada rimbunnya bulu-bulu halus di rahang tegas, hidung bagaikan perosotan, dan berakhir pada bola mata hitam pekat seperti langit malam tanpa bintang.
“Ehem … sudah selesai belum, Nur?”
“Belum, Bang. Eh ….”
Hampir saja Amala terjengkang, beruntung tangannya refleks berpegangan pada tepian meja. Gadis berumur 23 tahun itu terlihat salah tingkah menahan rasa malu luar biasa. Dia menunduk dalam tanpa berani menatap sang lawan bicara. Sikapnya tak ubahnya seperti seseorang yang ketahuan tengah mencuri.
Baru saja tadi dia berdoa, meminta Sang Khaliq agar menjaga lisan dan sensor geraknya. Namun baru hitungan menit, lihatlah apa yang sudah dia lakukan ini! Bertambah panjang saja daftar kekonyolannya bila berhadapan dengan laki-laki bernama lengkap Agam Siddiq.
“Itu, Bang. Anu_ Mamak bilang, saya disuruh mengambil uang hasil jual pinang kemarin,” cicitnya lirih dengan kosa kata terbata-bata.
“Mau di bayar uang atau ambil belanjaan?” tanya pria yang senantiasa menatap ke depan, tanpa berniat bersitatap.
“Kalau boleh belanjaan saja, Bang,” lirih Amala.
“Masuk dan ambil sendiri barang yang kau inginkan!” Agam langsung berlalu dari sana.
Lagi dan lagi Amala kalah cepat. Dia baru saja hendak protes, tetapi sosok pria dewasa yang masih betah melajang di umurnya 27 tahun itu sudah melangkah cepat menjauhinya.
Mau tak mau Amala mulai memasuki warung sembako berukuran luas, lebih besar daripada bangunan rumahnya. Tadi bang Agam tidak menyebutkan berapa rupiah hasil penjualan pinang. Jadi, jangan salahkan dia kalau mengambil belanjaan lebih dari harga jual.
Tak seberapa lama, tas jinjing yang terbuat dari karung beras sudah terisi penuh. Banyak yang Amala ambil, mulai dari gula, minyak goreng, dan bumbu dapur lainnya. Aksinya itupun tidak ada yang memantau, makcik penjaga warung entah di mana keberadaannya, seakan sengaja membiarkan dia mengambil apa saja.
“Kau habis dari mana, Amala?” goda Dhien, yang duduk di bangku kayu bawah pohon mangga depan rumah Amala.
“Merampok,” jawab Amala sekenanya, lalu masuk dalam rumah dan meletakkan belanjaan tadi di atas amben dapur.
“Ayo berangkat!” ajak Amala, setelah mengunci pintu rumah.
Dhien pun sigap, dia yang mengemudikan motor Astrea berwarna merah putih miliknya. Amala sendiri tidak bisa naik motor, dan tidak memiliki kendaraan roda dua itu. Dia hanya punya sepeda ontel.
Laju motor tua milik Dhien begitu lambat. Apalagi ditambah medan jalan berbukit dan belum beraspal. Sepanjang jalan diapit oleh perkebunan karet dan semak belukar tumbuhan pakis serta rumput liar.
Kampung mereka berada di pelosok, jauh dari kota kecamatan apalagi ibu kota provinsi. Alat komunikasi pun belum ada, para warga mengandalkan surat-menyurat sebagai sarana berbagi kabar kepada sanak saudara yang tinggal di luar daerah maupun provinsi. Untungnya arus listrik sudah masuk di wilayah pemukiman warga yang rata-rata bekerja sebagai penyadap karet dan petani.
Di tahun pertengahan 1990 an ini, alat komunikasi melalui udara masih sulit. Adapun telepon umum atau Wartel, letaknya hanya di kota-kota saja.
.
.
Selang 20 menit kemudian.
“Dhien, parkiran saja motor nya di rumah itu!” Amala menunjuk halaman rumah tetangga bi Atun, yang terlihat tidak berpenghuni. Mungkin pemilik rumah sedang bekerja di ladang.
Dhien pun menurut, dia memarkirkan motornya di bawah pohon coklat.
“Kita lewat belakang saja, Dhien,” ajak Amala, mereka berjalan melewati kebun coklat dan melompati parit kecil.
Begitu sampai di belakang rumah bi Atun, mereka dikejutkan oleh pekikan suara nyonya rumah.
“Dari dulu Ibuk memang lebih setuju kalau Yasir menikahi Nirma daripada Amala. Putri bungsu mendiang Abidin itu setara dengan anak kita, Pak!”
“Tapi, nggak gini juga caranya Buk! Apa kata orang? Mala sudah menjadi tunangan Yasir sejak 5 tahun lalu, tetapi tiba-tiba Nirma yang dipersunting!”
Deg.
Jantung Amala seperti di remas, tatapannya berkunang-kunang.
“Amala, hei! Mala …?”
.
.
Bersambung.
Harap bersabar membaca setiap Bab- nya ya, agar bisa menyelami alur ceritanya 🙏😊
Terima kasih banyak semuanya 🌹
bu bidan mati kutu