“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14 : Tak Sesuai Ekspetasi
Malam ini, bisa dipastikan Ilham tak lagi tidur sendiri. Karena walau rombongan keluarga dari pondok pesantren Ilham mengabdi sudah kembali ke Jawa Timur setelah acara pesta dan resepsi tidak jadi digelar di sana akibat kasus yang menimpa Ilham, Aisyah sang istri sengaja ditinggal. Namun nantinya saat mereka kembali ke pesantren, mereka akan tetap mengadakan resepsi besar-besaran.
Satu hal yang baru Ilham ketahui mengenai istri yang ia gadang-gadang suci itu. Karena ternyata, meski pandai mengaji dan hafal setiap ayat suci, Aisyah bukanlah wanita yang pandai mengurus pekerjaan rumah. Apalagi untuk urusan dapur, Aisyah sama sekali tidak bisa melakukannya. Mungkin karena wanita yang usianya dua tahun lebih tua dari Ilham itu sudah terbiasa apa-apa diladeni. Kendati demikian, Aisyah berdalih akan mulai belajar memasak untuk Ilham yang wanita itu panggil Mas.
“Setiap orang enggak perlu serba bisa karena alasan Alloh menciptakan keaneka ragaman dalam kehidupan ini, agar kita saling melengkapi. Iya, kan, Mas?” ucap Aisyah yang masih bertahan dengan cadar sekaligus pakaian syar'i warna hitamnya. Ia tersenyum, berusaha menyemangati sang suami yang tengah memasak nasi goreng di sebelahnya.
Ilham balas tersenyum. “Semoga ke depannya, enggak begini terus. Masa iya, urusan pekerjaan rumah termasuk masak dan cuci, jadi urusanku hanya karena kamu urus kelas lebih banyak, sih, Aish,” batin Ilham yang merasa kecewa karena wanita suci kebanggaannya malah tak sesuai ekspetasi. Namun, kemudian ia sengaja memeluk sekaligus mengecup kening sang istri penuh sayang. “Tapi enggak apa-apalah. Karena berkat kamu, aku jadi punya posisi di pesantren. Bahkan setelah ini, kita sudah langsung dikasih rumah pribadi,” batin Ilham masih sibuk berbicara dalam hati.
Namun tanpa pengantin baru itu sadari, ibu Siti yang datang ke dapur, langsung menatap tidak suka kepada Aisyah. “Wanita dari kalangan berada, paham agama, dan usianya juga lebih dewasa, masa urusan pekerjaan rumah apalagi masak, enggak bisa?” batinnya. Walau pemikirannya memang masih kuno karena menganggap istri wajib bisa mengurus pekerjaan rumah khususnya masak, bagi ibu Siti, keadaan sang menantu memang kebangetan alias keterlaluan. Karena baginya, jika melihat dari sosok Aisyah yang sudah matang, harusnya Aisyah berusaha menjadi istri sekaligus menantu sempurna cekatan serba bisa layaknya Arimbi.
“Nah ini, ... gerabah numpuk, gelas bekas wedang dan piring bekas sajian ada di mana-mana. Lantai penuh uwuh dan sampai licin efek minyak bekas masak-masak bekas banyak orang juga,” batin ibu Siti lagi.
Kenyataan di sana yang sempat akan masak-masak untuk acara syukuran sekaligus resepsi besar-besaran, tapi mendadak ditinggalkan tetangga yang rewang, memang membuat rumah sangat berantakan. Bagi ibu Siti, harusnya kalau Aisyah mikir, wanita itu sudah mulai membereskan semuanya, bukan hanya sibuk menjadi mandor Ilham atau malah sibuk bermesraan.
“Arimbi yang tiap hari sibuk saja, selalu inisiatif sendiri membereskan semuanya tanpa diminta. Lah Aisyah, yang sampai aku ajak sambil teriak-teriak cuman diem pegangan ke Ilham? Dikiranya mau dibelih sama aku apa giman!” batin ibu Siti kesal lantaran Aisyah tak sesuai ekspetasi. Hingga yang ada, ia terpaksa membereskan rumah dibantu sang suami. Ilham menegurnya untuk tidak terlalu keras ke Aisyah, sebelum putranya itu memboyong Aisyah ke kamar dan sampai larut tak kunjung keluar.
“Itu mereka lagi ngapain, sih, Pak? Ini kerjaan masih banyak loh. Bilik belakang rumah belum ditutup, takut ada maling karena sekarang kan lagi musim maling dan ini pun enggak ada orang lain karena enggak ada yang rewang juga!” kesal ibu Siti sambil menyusun setiap gerabah ke amben di dapur, agar cepat kering.
“Biasalah Bu, ... pengantin baru. Tuh, Aisyah lagi ngaji,” ucap sang suami.
“Pengantin baru, ya pengantin baru, Pak! Ngaji ya ngaji, tapi wajib paham situasi. Dikiranya cukup dingajiin, nih rumah langsung beres?” keluh ibu Siti. “Di luar sana juga banyak yang paham agama, Pak. Di luar sana banyak wanita yang pinter ngaji. Tapi enggak kayak Aisyah. Istri sama anak Nabi saja enggak kayak Aisyah. Emang dasar Aisyah pemalas sih kayaknya!” Kali ini ia sengaja berkecak pinggang.
Ibu Siti nyaris maju dan bermaksud menggedor pintu kamar Ilham yang keberadaannya ada di sebelah ruang keluarga. Ruangan yang mejanya masih dipenuhi asbak penampung puntung rokok. Kulit kacang yang terserak baik di lantai, meja, dan juga risban. Juga aneka serpihan makanan dan bercampur dengan daun pembungkus tape.
“Udah malam, Bu. Jangan ribut!” tegur sang suami. “Sudah, nanti Bapak yang beresin semuanya, pelan-pelan. Kalau Ibu capek, mending sekarang Ibu istirahat. Mending sekarang ibu tidur di kamar daripada Ibu jadi singa dadakan dan marah-marah ke menantu! Malu! Sidang hari ini saja bikin hidup kita jadi tontonan macam sinetron! Masa iya, mau ditambahi lagi?”
***
Malam semakin larut, tetapi di sebelahnya, Aisyah masih mengaji, menyanding Alquran yang tengah Ilham simak. Namun perlahan, sebelah tangan Ilham meraih sebelah tangan Aisyah yang terbungkus sarung tangan hitam, senada dengan pakaian syar'i yang istrinya itu kenakan.
Aisyah yang seolah paham maksud sekaligus kode keras dari sang suami, berangsur menyudahi ngajinya. Ia menutup Alquran-nya, kemudian menyisihkannya dengan hati-hati ke meja kayu bertaplak biru di sebelah amben kebersamaan mereka. Meja kayu yang juga masih dihiasi satu piring dan sendok berikut gelas bekas mereka makan. Dan kini, ia tersenyum menatap Ilham penuh cinta. Apalagi, pria itu terus melakukannya kepadanya. Sungguhan pemandangan sekaligus kebersamaan indah, manis bagaikan madu khas pengantin baru.
“Aisyah ... terima kasih. Terima kasih banyak karena sudah memilihku menjadi suami kamu. Terima kasih banyak karena kamu tetap percaya. Terima kasih banyak karena kamu tetap bersamaku di saat aku terpuruk karena kejadian hari ini. Maaf jika aku jauh dari sempurna bahkan mungkin jauh dari ekspetasi kamu,” lirih Ilham. Tatapannya memang terus tertuju kepada kedua mata Aisyah yang memang sangat indah. Kedua mata lebar berbola mata hitam sekaligus jernih. Namun bibirnya sudah mengabsen tangan kiri Aisyah yang ia genggam, penuh cinta dan sangat mesra.
“Masya Alloh, Mas!” syukur Aisyah yang kemudian bersandar manja ke bahu Ilham.
Ilham tersipu, merasa sangat bahagia karena pria itu juga sampai lupa dengan beban hidupnya, khususnya rasa malu akibat kebohongan yang selama ini ia tutup-tutupi, terbongkar, hingga resepsi pernikahan yang awalnya akan ia jadikan sebagai ajang pamer kepada orang kampung khususnya Arimbi, malah gagal. Tangan kirinya yang tidak menggenggam tangan kiri Aisyah, berangsur mendekap mesra pinggang Aisyah. Sungguh, ini kali pertama ia melakukannya, dan rasanya sangat bahagia.
“Setiap orang punya masa lalu, termasuk Mas maupun aku. Asal kita tidak jatuh ke lubang sama. Asal kita mau belajar dan menjadi lebih baik lagi. Dan aku, ... aku menerima masa lalu Mas karena Mas pun sudah menerimaku sepenuhnya.” Aisyah balas menatap tatapan Ilham penuh kemanjaan.
Ilham kian tersipu, tak sabar menuntaskan kebutuhan batinnya karena ia juga laki-laki dewasa yang memiliki hasrat apalagi kepada istrinya sendiri. “Boleh, Mas ... mulai?”
Sorot mata Aisyah menjadi memudar dan diwarnai kegelisahan. “Tapi Mas jangan terkejut, ya?”
“Terkejut?” lirih Ilham refleks dan ia sampai mengernyit, menatap tak paham pada wanita yang sudah membuatnya tak sabar. Namun kenyataan Aisyah yang baru saja mengangguk malah membuat Ilham takut, di balik cadar Aisyah juga tak sesuai ekspetasinya. Layaknya Aisyah yang tak pandai mengurus pekerjaan rumah apalagi urusan memasak.
bnr2 org g waras
ngapain nikahin org lain kl dah punya istri
apalagi 2 hari lg resepsi
org tuanya tu gmna ngebiarin anaknya nikah dua kali
g masuk d akalku
cara mikirnya gmna sih