Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12: Cure From a Pure Heart
Malam hari setelah keberangkatan Bima, Nora duduk di bangku tepat di atas markas basement. Kepalanya tengadah ke langit, menghadap bulan purnama yang bersinar tanpa awan menghalangi. Ia dikelilingi bintang-bintang, seolah menyaksikan obrolan sunyi di atasnya. Di tangannya, ada tanaman alang-alang yang ia tatap penuh kekhawatiran. Perlahan, ia berkata dengan suara bergetar, “Tuhan, apakah kali ini Kau akan mengambil cahaya kami lagi?” Rasa sesak perlahan menyelimuti, detak jantungnya berdebar, dan sebutir air mata jatuh membasahi tanah yang mulai lembab karena malam.
14 tahun yang lalu
Seorang anak perempuan kecil berambut lurus sedang berjalan-jalan di kebun. Kebun itu dipenuhi beragam tanaman, ada bunga-bunga yang cantik, buah-buahan, sayuran, hingga tanaman obat. Namun, tak seperti anak-anak lain yang biasanya memilih bunga karena keindahannya, gadis kecil ini justru tertarik pada tanaman obat yang penampilannya biasa, bahkan terkadang tampak buruk dan pahit.
Keesokan paginya di sekolah dasar, semua anak membawa barang paling berharga mereka sebagai tugas sekolah yang diberikan gurunya minggu lalu. Satu per satu anak maju untuk bercerita. Ada yang membawa mainan mobil-mobilan, bercerita tentang ayahnya yang membelikannya; ada yang membawa pistol mainan karena bercita-cita menjadi tentara; ada yang membawa perhiasan karena menganggapnya cantik, dan yang lain membawa bunga karena keindahannya. Tiap anak mendapat tepuk tangan meriah dari teman-temannya.
Akhirnya, guru memanggil nama terakhir, “Nora, sekarang giliran kamu.”
Dengan perlahan, Nora maju sambil membawa sesuatu yang terbungkus kain berwarna merah muda. Benda itu ia bawa dengan kedua tangannya, penuh kehati-hatian, seolah-olah adalah harta karun yang rapuh. Di depan kelas, ia membuka bungkusan kainnya, menunjukkan barang yang ia bawa: sepotong tanaman jahe.
Seketika, kelas gemuruh dengan suara tawa. Beberapa anak meledeknya, “Haha, Nora bawa jahe! Masuk angin ya?”
Guru menenangkan kelas, “Tenang, anak-anak. Nora, bisakah kamu ceritakan kepada teman-teman kenapa ini berharga bagimu?”
Nora mengangguk, meskipun wajahnya terlihat sedih. Dengan suara pelan, ia mulai bercerita.
“Aku tinggal di pedesaan gunung bersama Ayah dan Ibu. Ayah bekerja sebagai petani; kadang ia membawa cangkul, kadang sabit. Ibu setiap hari memasak, dan dia juga pandai merajut. Kadang-kadang Ibu membuat motif bordir bunga di baju untukku, dan itu sangat indah.
Satu hari, Ibu tiba-tiba jatuh sakit. Berjalan saja sulit baginya. Ayah membawanya ke kota, sementara aku diminta menunggu di rumah. Saat malam tiba dan mereka pulang, aku segera bertanya apakah Ibu sudah sembuh. Ibu tersenyum, bilang kalau dia baik-baik saja. Aku senang mendengarnya.
Sejak itu, setiap malam, Ibu sering bercerita padaku. Dia suka minta dibuatkan minuman jahe—katanya jahe membuatnya lebih semangat untuk bercerita. Jadi, aku mulai mencari tanaman jahe setiap hari bersama Ayah, supaya bisa selalu membuatkan minuman jahe untuk Ibu. Tapi lama-kelamaan, suara Ibu semakin pelan. Kadang-kadang bicara saja seperti terengah-engah. Tapi dia selalu bilang kalau dia baik-baik saja.”
Mata Nora mulai berkaca-kaca, suaranya bergetar ketika melanjutkan ceritanya. “Pada suatu malam, suara Ibu sudah sangat pelan. Dia memintaku untuk mendekatkan telinga ke mulutnya, lalu Ibu mulai bercerita tentang seorang anak yang penuh keterbatasan, tapi dia bisa melampaui segalanya. Anak itu tumbuh jadi seorang raja dan pahlawan, jadi penyelamat yang bercahaya.
Waktu itu, aku masih mendengarkan cerita Ibu dengan tenang, tapi kemudian, suara Ibu tiba-tiba hilang. Ayah yang duduk di samping Ibu hanya menggenggam tangannya, sementara Ibu diam… aku terus memanggil-manggilnya, berharap Ibu menjawab. Tapi dia tetap diam saja, hingga Ayah bilang kalau sekarang Ibu sudah tidur dan tidak sakit lagi.”
Nora menarik napas dalam-dalam, melanjutkan, “Aku menangis, berharap jahe ini bisa membuat Ibu bercerita lagi. Aku membawa jahe sebanyak mungkin, memintanya minum… sampai akhirnya Ayah menghentikanku dan berkata kalau Ibu sekarang sudah tidur dengan damai, jadi tidak perlu khawatir lagi.”
Ia memandang tanaman jahe itu dengan penuh kelembutan dan menambahkan dengan suara lembut, “Itulah kenapa jahe ini sangat berharga bagiku. Karena selama Ibu masih ada, minuman jahe ini membuatnya bercerita, membuatnya tetap hidup dalam cerita-cerita itu.”
Seluruh kelas terdiam mendengar cerita Nora, dan banyak dari mereka tampak terharu. Bahkan gurunya menahan napas, terkesima dengan ketulusan hati Nora.
Sepulang dari sekolah, Nora tidak langsung pulang ke rumah. Ia sering duduk sendirian di lereng bukit yang menghadap ke matahari sore, menikmati kehangatan terakhir dari sinar matahari yang mulai terbenam. Langit berwarna oranye lembut, dan angin sore yang hangat mengusap wajahnya. Tempat ini menenangkan hatinya, membantu mengurangi rasa kehilangan yang selalu ada sejak ibunya meninggal enam tahun lalu. Walaupun waktu telah berlalu, kesedihan itu tetap tinggal, menyelimuti dirinya dalam keheningan.
Merasa cukup untuk menenangkan diri, Nora bangkit dan mulai berjalan kembali ke desa. Saat ia mendekati rumah, dia melihat sekumpulan orang yang berkumpul di jalan, berbisik-bisik dan tampak tegang. Keheranan menghampirinya.
"Paman, apa yang terjadi? Kenapa semua orang berkumpul di sini?" tanyanya pada salah satu pria tua yang berdiri di depan kerumunan.
Pria itu melirik Nora dan menjawab, "Tadi ada pencuri, Nora. Kami sudah menangkapnya dan menghajarnya."
Nora terkejut. "Menghajarnya? Lalu sekarang pencuri itu di mana?"
"Dia dibawa ke rumah oleh ayahmu. Ayahmu memang aneh," pria itu tertawa kecil dan melanjutkan, "Alih-alih menyerahkannya, dia malah membawanya pulang."
Kata-kata pria itu semakin membuat Nora penasaran dan khawatir. Ia langsung berlari pulang, membuka pintu rumah dengan keras, lalu mencari ayahnya. Dan benar saja, di dalam rumah, ayahnya sedang duduk di lantai, merawat seorang anak laki-laki yang babak belur. Wajah anak itu penuh luka dan lebam, bibirnya pecah, dan tubuhnya kurus kering. Tapi yang lebih mengejutkan, ayah Nora sendiri pun tampak terluka.
Sontak, Nora berteriak, "Ayah, siapa dia?"
Ayahnya menoleh perlahan, lalu tersenyum lembut. "Dia anak yang tadi dipukuli warga."
"Tapi, kenapa Ayah menolongnya? Kenapa Ayah melindunginya? Bukankah dia pencuri?"
Ayahnya hanya menatap Nora dengan pandangan lembut, lalu dengan suara penuh kesabaran ia menjawab, "Nora, dia ini juga manusia, sama seperti kita."
"Tapi dia mencuri, kan? Kenapa Ayah tidak menyerahkannya saja?"
Ayahnya menggeleng pelan, lalu membelai kepala anak laki-laki yang terluka itu. "Nora, tadi orang-orang begitu marah. Jika Ayah biarkan mereka, anak ini bisa saja mati. Lihatlah, tubuhnya sangat kurus, bibirnya pecah, dan wajahnya penuh luka. Sepertinya dia mengalami kesulitan yang kita tidak tahu."
Nora terdiam mendengar penjelasan ayahnya, merasa sedikit ragu tetapi juga penasaran.
Dengan lembut, ayahnya melanjutkan, "Kita tidak tahu apa yang dia alami, Nora. Hidup memang sulit. Kadang-kadang orang melakukan hal buruk karena merasa tidak punya pilihan. Tetapi bukan hak kita sebagai manusia untuk mengadilinya, apalagi sampai merenggut nyawanya. Sebagai manusia, kita bisa memberinya kesempatan kedua. Mungkin dengan bantuan kita, dia akan menemukan jalan yang lebih baik."
Nora memandangi anak laki-laki itu yang kini duduk dengan tubuh gemetar, seperti anak kecil yang tersesat di tengah badai. Dalam diam, dia mulai memahami apa yang ayahnya maksudkan.
Setelah keheningan yang lama, Nora berkata pelan, "Ayah... apakah semua orang pantas mendapatkan kesempatan kedua?"
Ayahnya mengangguk, menatap Nora dengan kasih sayang yang tulus. "Ya, nak. Semua orang berhak mendapat kesempatan untuk menjadi lebih baik. Kebaikan adalah kekuatan yang lebih besar daripada amarah dan kebencian."
Nora mengangguk pelan, merenungkan kata-kata ayahnya. Dalam hati, ia merasa bahwa momen ini akan selalu ia ingat. Bahwa belas kasih dan pengampunan adalah warisan terbaik dari seorang ayah.
Keesokan Paginya
Pagi itu, anak laki-laki itu membuka matanya perlahan, mendapati dirinya terbaring di sebuah ruangan kecil dengan pencahayaan lembut. Seluruh tubuhnya terasa sakit, memar-memar dan lebam dari kejadian kemarin masih terasa menyiksa. Dengan susah payah, dia mencoba duduk, lalu pandangannya tertuju pada seorang gadis yang masuk ke ruangan, membawa secangkir teh hangat.
“Tenang saja, kau masih terluka. Istirahatlah dulu,” ujar Nora dengan suara lembut, menyodorkan cangkir teh padanya.
Dia menerima cangkir itu, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, “Di mana ini? Dan... siapa kamu?”
Nora menghela napas sejenak, lalu menjawab, “Ini rumah ayahku. Kemarin, kau dipukuli oleh orang-orang di desa. Ayah membawamu ke sini.”
Anak laki-laki itu menunduk, mencerna kata-katanya, lalu mengangguk pelan. “Oh… Terima kasih. Terima kasih karena sudah menyelamatkanku.”
Nora tampak ragu, tetapi akhirnya memberanikan diri bertanya, “Sebelum kau berterima kasih, boleh aku tahu sesuatu? Kenapa kamu mencuri?”
Anak laki-laki itu menghela napas dalam-dalam, menundukkan kepala dengan perasaan malu. “Aku… belum makan selama tiga hari. Aku sudah mencoba meminta, tapi mereka tak mau memberikannya. Aku merasa akan pingsan, jadi aku… aku mencuri sepotong daging.”
Nora terdiam, menatapnya dengan campuran iba dan pengertian. Setelah beberapa saat, dia tersenyum lembut, mencoba meyakinkannya. “Jangan khawatir, di sini kau aman. Kami tidak akan menghakimimu.”
Anak laki-laki itu terdiam, lalu dengan wajah sedikit memerah, menunduk lagi dan berkata, “Terima kasih… Aku selamat karena kalian.”
Tiba-tiba, suara keroncongan dari perutnya memecah keheningan, membuat Nora tersenyum kecil. “Sepertinya kamu benar-benar lapar.” Dia menatapnya lebih ramah. “Oh iya, aku Nora—Leonora Salsabila. Siapa namamu?”
Anak laki-laki itu akhirnya tersenyum, sedikit lega. “Aku... Aku Satria Bima Kusuma, tapi semua orang memanggilku Bima.”
Nora mengangguk, tersenyum lebar. “Senang berkenalan denganmu, Bima. Nama yang gagah dan kuat.”
“Terima kasih, Nora,” jawabnya, masih dengan suara pelan.
Nora melirik ke arah pintu. “Baiklah, Bima. Aku sudah menyiapkan makanan di dapur. Kau bisa makan dan beristirahat sebanyak yang kau butuhkan. Aku harus pergi ke sekolah, dan ayah sedang ada di kebun. Sampai nanti, ya!” katanya, melambaikan tangan sebelum keluar dari ruangan.
Bima menatap pintu yang tertutup, lalu menghirup teh hangat yang disediakan. Dalam hatinya, ada rasa syukur yang dalam, seolah kehidupan yang baru saja hampir berakhir itu kini mendapat kesempatan kedua.
Setelah itu, Bima beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju dapur untuk menikmati makanan yang telah Nora masak. Ia makan dengan lahap, merasakan kehangatan di setiap suapnya. Saat mengunyah, perasaan haru menyelimuti hatinya, dan tak terasa air matanya jatuh membasahi piring. Dalam hatinya, ia berkata, "Tuhan, terima kasih banyak... Aku bersyukur, Kau telah memberikanku kesempatan kedua. Kali ini akan kuperjuangkan dengan sepenuh hati dan raga."
Selesai makan, Bima mencari air untuk membasuh wajah dan membersihkan tubuhnya. Setelah itu, ia keluar dari rumah dengan niat mencari ayah Nora, bertekad untuk membantu agar tidak hanya menjadi beban. Di sepanjang jalan, ia merasa beberapa warga desa memperhatikannya dengan tatapan tidak ramah. Ia hanya menunduk, berusaha tidak mempedulikan pandangan mereka dan melanjutkan langkahnya.
Setelah beberapa waktu berjalan, Bima menyadari bahwa ia lupa menanyakan lokasi kebun tempat ayah Nora bekerja. Ia terus berputar-putar mengelilingi desa, bahkan berjalan cukup jauh tanpa hasil. Setelah berjam-jam, akhirnya ia menemukan seorang pria beristirahat di kebun yang terletak di luar desa, di sebelah selatan.
Dengan penuh semangat, Bima mendekatinya, memanggil, “Paman!”
Pria itu menoleh dan tampak terkejut. “Oh, kamu! Kenapa kamu ke sini? Bukankah kamu belum sembuh?”
Bima tersenyum sembari menjawab, “Tidak, Paman. Aku sudah cukup sehat sekarang. Adakah yang bisa aku bantu, Paman?”
Pria itu, ayah Nora, memandangnya dengan rasa simpati dan sedikit heran, menyadari kelelahan yang masih terpancar dari wajah Bima. “Oh, tidak perlu, Nak. Paman masih cukup kuat, kok.”
Namun, Bima segera membalas, “Tidak, Paman, tolong biarkan aku membantu. Paman sudah menyelamatkanku; aku akan merasa sangat bersalah jika dibiarkan bermalas-malasan di sini.”
Pria itu tertawa kecil dan mengangguk. “Oh, begitu ya... Baiklah. Sebelumnya, siapa namamu, Nak?”
“Namaku Bima, Paman,” jawabnya dengan penuh semangat.
“Bima, nama yang kuat ya! Hahaha,” katanya sambil tersenyum ramah. “Namaku Pandhu. Baiklah, Bima, kalau kamu memang ingin membantu, coba cangkul lahan ini. Kalau lelah, istirahatlah. Nanti lanjutkan lagi.”
“Baik, Paman Pandhu!” Bima menjawab dengan semangat. Ia mengambil cangkul dan mulai mencangkul lahan tersebut dengan penuh tekad.
Bima mencangkul lahan paman Pandhu dengan napas terengah-engah, wajahnya penuh dengan tekad meski tubuhnya lelah. Di bawah terik matahari yang semakin panas, keringatnya bercucuran, mengalir turun dan jatuh ke tanah. Meski otot-ototnya sudah terasa berat, ia terus bekerja, memaksakan diri. Baginya, menjadi berguna untuk mereka adalah satu-satunya cara untuk membalas kebaikan yang ia terima.
Namun, lambat laun tubuhnya mulai melemah. Pandangannya berbayang, dan cangkul di tangannya mulai terasa terlalu berat untuk diangkat. Sampai akhirnya, tubuhnya tak lagi bisa menahan kelelahan yang menumpuk. “Buk!” Tubuhnya ambruk ke tanah, dan pandangannya perlahan gelap.
Sesaat sebelum kesadarannya hilang, samar-samar terdengar suara panik Paman Pandhu, yang berteriak sembari berlari ke arahnya. "Bima! Nak, bangun!"
Paman Pandhu berlari mendekatinya, langsung berlutut dan mengangkat kepala Bima dengan cemas. Dengan hati-hati, dia memeriksa napas dan denyut nadi Bima, memastikan anak itu masih hidup. Setelah merasakan denyut nadi yang lemah namun stabil, Paman Pandhu menghela napas lega.
Meski tubuh Bima berat, Paman Pandhu mengangkatnya dengan hati-hati, membawanya melalui jalan setapak berbatu kembali ke rumah. Setibanya di rumah, Paman Pandhu merebahkan Bima di tikar di ruang depan. Dia menepuk pipi Bima dengan lembut, mencoba membangunkannya.
Tak lama, Nora yang baru pulang sekolah masuk ke rumah dan melihat ayahnya berlutut di samping Bima. Matanya melebar penuh kecemasan. “Ayah, apa yang terjadi?” tanyanya sambil mendekat.
Paman Pandhu tersenyum kecil, berusaha menenangkan putrinya. "Dia terlalu memaksakan diri, Nak. Dia ingin membantu Ayah, tapi tubuhnya belum sepenuhnya pulih."
Nora duduk di samping Bima, menatap wajahnya yang masih pucat. "Kasihan sekali... dia benar-benar berusaha keras."
Paman Pandhu mengangguk, lalu berkata, "Nak, ambilkan air. Kita perlu membantunya kembali sadar."
Nora bergegas mengambil air, sementara Paman Pandhu terus memeriksa kondisi Bima, memastikan bahwa anak itu aman.
Malam itu, ketika Bima perlahan membuka matanya, ia melihat sosok Nora yang duduk di sampingnya. Melihat Bima sudah tersadar, Nora tersenyum lega dan langsung memberikan segelas air. “Minumlah dulu, Bima,” katanya lembut, lalu memanggil ayahnya, “Ayah, Bima sudah bangun!”
Paman Pandhu segera datang, wajahnya tampak khawatir namun penuh kelegaan. “Nak, apa kau baik-baik saja?” tanyanya sambil memeriksa kondisi Bima.
Bima menunduk sedikit malu. “Aku baik-baik saja, paman... Maafkan aku, Nora, paman... Sepertinya aku malah menjadi beban kalian,” katanya, penuh penyesalan.
Paman Pandhu tertawa kecil, menepuk bahu Bima dengan lembut. “Hahaha, tidak apa-apa, Bima. Kau sudah berusaha membantu. Tapi lain kali, dengarkan tubuhmu juga, ya?”
“Baik, paman,” jawab Bima, tersenyum lemah namun penuh ketulusan.
Nora yang duduk di samping, memandang Bima dengan kagum dan simpati, terharu melihat kegigihan anak laki-laki di depannya ini. Setelah beberapa saat hening, Nora akhirnya bertanya dengan hati-hati, “Bima, di mana orang tuamu sekarang?”
Pertanyaan itu membuat suasana menjadi tenang seketika, dan ekspresi Bima berubah, menampilkan kesedihan yang dalam. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita, “Aku... sudah tidak punya orang tua lagi, Nora.”
Pandhu dan Nora menatap Bima dengan wajah terkejut namun penuh perhatian. Bima melanjutkan, “Sejak usiaku 11 tahun, Ayah dan Ibu bercerai, tapi mereka masih tinggal satu rumah. Ayahku orang yang keras, sementara Ibu sangat lembut. Hampir setiap hari mereka bertengkar... karena kami tidak punya cukup uang untuk makan. Setiap kali Ayah hendak memukulku, Ibu akan segera memelukku, melindungiku dengan tubuhnya. Aku ingin sekali melindungi Ibu juga, tapi waktu itu aku masih terlalu kecil untuk melakukan apa pun.”
Bima menatap kosong, mengingat kejadian pahit itu. “Suatu hari, Ayah memukul Ibu dengan sangat kasar, dan aku tidak tahan lagi. Aku mencoba melawan, aku memukulnya dengan tongkat kayu yang kutemukan di sudut rumah. Ayah semakin marah... Ia merebut tongkat itu dariku dan memukulku lebih keras. Tapi Ibu, Ibu tidak tinggal diam. Ia menahan tubuh Ayah, lalu... ia menusuk Ayah dengan pisau dapur.”
Paman Pandhu dan Nora terkejut, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Mereka tetap mendengarkan dengan penuh kesabaran dan simpati.
“Ayah meninggal seketika,” lanjut Bima dengan suara serak. “Dan Ibu... Ibu terluka parah. Di pelukan terakhirnya, ia berbisik padaku... agar aku tetap menjadi orang yang bertanggung jawab, menjadi pria yang menjaga, dan menemukan tujuan hidupku. Ibu meninggal dalam pelukanku... dan aku hanya bisa menangis tanpa bisa melakukan apa pun.”
Bima menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. “Setelah itu, aku hidup berpindah-pindah dari desa ke desa, melakukan pekerjaan kasar apa pun yang bisa kulakukan untuk bertahan. Hingga akhirnya aku tiba di desa ini. Lalu... aku bertemu kalian, Nora dan paman. Rasanya seperti diberi kesempatan kedua, sebuah harapan yang baru.”
Paman Pandhu dan Nora menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, hati mereka tersentuh mendengar kisah hidupnya yang penuh luka. Dengan suara lembut, Nora berkata, “Kau aman sekarang, Bima. Kami akan membantumu sebisanya.”
“Benar sekali,” sambung Paman Pandhu. “Kau boleh tinggal bersama kami. Dengan kita bertiga, makanan kita akan cukup untuk semua. Jangan khawatir soal itu.”
Air mata haru mengalir di pipi Bima, ia terisak pelan. “Terima kasih... terima kasih... Terima kasih banyak…”
Nora tersenyum, lalu bertanya, “Bima, berapa usiamu sekarang?”
Bima menjawab dengan suara lirih, “Aku sekarang 13 tahun.”
Paman Pandhu tertawa kecil. “Wah, kau setahun lebih tua dari Nora. Dia masih 12 tahun. Hei, Bima, jika kau mau, kau juga bisa ikut bersekolah di sini.”
Bima tampak terkejut mendengar tawaran itu. “Tapi, paman... Bukankah itu akan membebani paman?”
Pandhu tersenyum hangat. “Tidak, Bima. Sekolah di sini tidak mahal. Lagipula, kalau kau ikut membantuku di kebun, kita bisa menghasilkan lebih banyak. Jadi jangan khawatir.”
Dengan terharu, Bima memegang tangan Paman Pandhu, berbisik penuh rasa syukur, “Terima kasih banyak, paman... Terima kasih.”