Anindya Alyssa seorang wanita manis yang memiliki warna kulit putih bersih, bekerja sebagai waiters di salah satu hotel yang cukup terkenal di kotanya. Hidup sebatang kara membuat harapannya untuk menjadi sekretaris profesional pupus begitu saja karena keterbatasan biaya untuk pendidikan nya.
Namun takdir seakan mempermainkan nya, pekerjaan sebagai waitres lenyap begitu saja akibat kejadian satu malam yang bukan hanya menghancurkan pekerjaan, tetapi juga masa depannya.
Arsenio Lucifer seorang pria tampan yang merupakan ceo sekaligus pemilik dari perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur. Terkenal akan hasil produksi yang selalu berada di urutan teratas di pasaran, membuat sosok Lucifer disegani dalam dunia bisnis. Selain kehebatan perusahaan nya, ia juga terkenal akan ketampanan dan juga sifat gonta-ganti pasangan setiap hari bahkan setiap 6 jam sekali.
Namun kejadian satu malam membuat sifatnya yang biasa disebut 'cassanova' berubah seketika. Penolakan malam itu justru membuat hati seorang Lucifer takluk dalam pesona seorang waiters biasa.
Lalu bagaimana kisah Assa dan Lucifer?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Arsen menatap pemandangan dari ruangannya yang berada di lantai 15 itu. Jika dilihat dari sana, mobil yang berlalu lalang disana terlihat begitu kecil.
Dengan sebelah tangan berada di saku celana dan tangan lainnya menopang berat badannya pada kaca besar disana.
"Sejak kapan kau mengenal Zay, Assa?" tanya Arsen tanpa menatap Anindya.
"Pak Zay adalah teman sekaligus penolong saya, dia yang memberikan pekerjaan sebagai waitress di restoran, namun karena seorang pria bejat saya kehilangan pekerjaan itu." Jelas Anindya sedikit menyindir Arsen.
Arsen meringis pelan, ia tahu bahwa wanita itu tengah menyindir dirinya. Arsen membalik badan hingga kini berhadapan dengan Anindya dengan jarak cukup jauh.
"Jangan terlalu dekat dengannya, Assa." Tegas Arsen dengan tatapan beralih ke tempat lain.
"Kenapa, Pak? Apa anda juga akan melarang saya berteman?" tanya Anindya mengangkat wajahnya.
"Saya sedang tidak ingin berdebat denganmu." Jawab Arsen dengan formal kemudian langsung keluar dari ruangannya, meninggalkan Anindya yang masih terdiam.
Anindya menghela nafas, ia segera duduk di meja kerjanya dan mulai mengerjakan tugas-tugasnya tanpa mau banyak memikirkan soal sikap Arsen.
Anindya tengah asik mengetik sesuatu, tiba-tiba rasa mual kembali menyerang nya. Anin keluar dari ruangan Arsen lalu berlari ke toilet.
Anin memuntahkan cairan bening, kepalanya terasa sedikit sakit. Anin memijat pelipisnya lalu bersandar di tembok toilet.
"Kenapa aku mual-mual begini, gejala yang bisa dialami ibu--" Ucapan Anindya terhenti saat pikirannya menangkap sesuatu.
"Tidak, aku tidak mungkin hamil." Gumam Anindya memegangi perutnya.
Anindya mengusap sudut bibirnya, ia segera keluar dari toilet lalu langsung pergi ke unit kesehatan kantor, ia akan meminta bantuan dokter untuk memeriksa kondisinya.
Namun saat sampai di sana, terlihat ruangan itu dikunci. Mungkin saja dokternya belum datang, Anin tak bisa menunggu lagi, pikirannya mulai kacau. Anin masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai dasar, ia harus segera memeriksa kondisinya sekarang.
"Nggak, aku pasti nggak hamil." Batin Anindya dengan wajah mulai dipenuhi keringat.
Sesampainya di gf, Anin segera keluar dan menyetop taksi yang kebetulan baru selesai mengantar salah satu karyawan.
"Rumah sakit terdekat, Pak." Ucap Anindya pada sopir taksi tersebut.
"Baik, Nyonya." Balas si sopir taksi kemudian langsung tancap gas meninggalkan area kantor.
***
Anindya dialihkan ke bagian kandungan, jantungnya semakin berdetak tak menentu saat suster merujuknya ke bagian poli kandungan.
Anindya menggigit bibirnya saat dokter tengah memeriksa keadaan nya.
"Selamat Nyonya Anindya, anda positif hamil dan saat ini usia kandungannya memasuki Minggu ke 6." Ucap dokter seketika membuat Anin ingin mati saja.
"S-saya hamil, Dok." Lirih Anin menunduk menatap perutnya yang rata dan mengusapnya secara teratur.
"Benar, Nyonya. Mohon dijaga kandungan nya dan jangan bekerja yang berat-berat ya," tutur dokter lalu memberikan resep vitamin pada Anindya.
"Iya, Dok. Makasih, saya permisi." Pamit Anindya kemudian segera keluar dari ruangan dokter.
Anindya berjalan dengan gontai melewati lorong demi lorong, kenapa kehidupannya harus seperti ini. Sebatang kara, disiksa paman bibinya dan sekarang menjadi tawanan pria kejam seperti Arsen yang tak memiliki hati bahkan saat ini ia sedang mengandung anak pria itu.
Anindya duduk di kursi panjang yang tersedia di sepanjang lorong rumah sakit, ia menundukkan kepalanya lalu menangis. Tangis pedih yang dirasakan oleh Anindya atas penderitaan dalam kehidupannya.
"Hiks … aku harus apa, Tuhan." Lirih Anindya mengusap kasar air matanya.
Anin tak tahu harus memberitahu Arsen atau tidak tentang kehamilannya, ia teringat akan ucapan Arsen tentang siapa dan dimana posisinya. Arsen tak akan mau mengakui anak dalam kandungannya saat ini.
"Mama janji akan membesarkan kamu dengan penuh kasih sayang, Nak." Ucap Anindya mengusap perutnya.
Anin sadar bahwa anak dalam kandungannya tidak bersalah, disini kesalahannya terletak pada dirinya dan Arsen. Anak ini berhak hidup, ia tak akan bisa menghancurkan anaknya sendiri.
Anindya beranjak dari duduknya, ia harus segera kembali ke kantor sebelum pria itu mengancamnya lagi.
Tepat sekali saat Anin sampai di kantor, jam makan siang pun tiba. Ia teringat pada Zay yang mengajaknya untuk makan siang bersama di kantin.
"Zay pasti sudah menungguku di kantin, lebih baik aku langsung kesana." Gumam Anindya langsung menuju kantin.
Sesampainya di kantin, mata Anin menatap Zay yang terlihat berusaha menghubungi seseorang dan ya telepon miliknya berdering.
Anin tersenyum, ia segera mendekati Zay lalu menepuk bahu pria itu pelan. "Selamat siang, Zay. Maaf telah membuatmu menunggu," ucap Anindya.
"Anin, tidak masalah. Duduklah," balas Zay mempersilahkan Anindya duduk.
Anindya dan Zay makan dengan tenang meski beberapa kali perut Anindya kembali ingin memuntahkan isi perutnya, namun hal itu berusaha ditahannya.
Sementara itu Arsen sedang duduk diruang nya dengan tangan terkepal. Ia sengaja meninggalkan Anin untuk meredam amarahnya, namun saat ia kembali wanita itu malah tidak ada di ruangannya.
"Nona Anindya sedang makan siang dengan Zay, kepala bagian HRD." Ucap Asisten Lee menjelaskan.
"Sial, wanita itu benar-benar sudah mulai berani!!!!" geram Arsen menggebrak meja nya dengan keras.
WAHHH ADA APA NIH SELANJUTNYA????
To be continued