Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Hari berlalu dengan cepat. Aline baru saja keluar dari asrama. Di depan gerbang, Ren dengan jaket kulit dan Harley hitamnya sudah menunggu. Aline tersenyum, pria itu melambaikan tangannya.
"Yo! Apa kabar?"
"Kabarku baik, seperti yang kau lihat sekarang."
Ren mangut-mangut.
"Tanganmu sudah tidak apa-apa?" Tanya Aline.
"Lah, justru seharusnya aku yang bertanya padamu. Kau pergi ke kampus hari ini, apa kesehatanmu sudah benar-benar pulih? Tanganmu bagaimana?" jawab Ren.
Aline menggulung kemeja putihnya, memperlihatkan luka sayatan yang membekas di pergelangan tangannya hingga ke siku. "Sudah kering, kan? Aku baik-baik saja."
"Gadis bodoh. Untung saja goresan yang kau buat tidak sampai di bagian ini." Ren menunjuk urat nadi Aline. Aline langsung mengaduh karena Ren tiba-tiba mencubit hidung Aline dengan kencang.
"Sudah, jangan cengeng. Ayo, cepat naik. Mulai hari ini hingga ke depannya saya akan menjadi ojek pribadimu."
"Hah? Ojek pribadi?"
"Apa sih? Kenapa harus kaget? Saya kan sudah mendapat izin dari keluarga kamu."
Ren menarik tangan kiri Aline, lalu memasangkan helm dan menyuruh Aline memakai jaket kulit yang sama dengannya.
"Sudah siap? Jangan lupa pegangan sama saya."
"Iya, cerewet."
Ren tersenyum gemas. Sejak kecil Ren memang selalu bersikap begitu. Aline tidak masalah jika ia berada di dekat pria ini. Ren adalah satu-satunya teman pria yang selalu mengerti Aline sejak dahulu, jadi saat Aline bertemu lagi dengannya, Aline merasa begitu bersyukur. Rasanya ia sudah menemukan teman berharga yang telah lama hilang.
"Kampus kamu di Fatmawati, kan?"
"Iya."
Ren kembali fokus mengendarai motornya. Tepat pukul tujuh lebih lima menit, Aline sudah sampai di gerbang kampus.
"Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku, oke?"
"Iya, bawel. Kamu sudah bilang itu berapa kali, loh."
Ren memandang wajah Aline. Melihat Aline kesulitan melepaskan pengait helmnya, ia tertawa dan langsung membantu gadis itu membuka pengait helm dan jaketnya. Sewaktu mereka asyik mengobrol kecil, Raga keluar dari kafetaria. Raga membungkukkan badannya saat berpapasan dengan mereka. Aline yang melihat pria jangkung itu segera pamit. Ren mengangkat bahunya. Ia hanya tersenyum-senyum melihat Aline berlari menyusul Raga yang berjalan ke auditorium.
"Andai saja kamu tahu, Line." gumam Ren sambil menarik napas dalam-dalam.
...•••...
"Wah, wah... ada yang diantar cowok cakep, nih." goda Elin begitu Aline masuk ke kelas Bahasa Prancis.
Aline terdiam.
"Loh, kenapa muka kamu ditekuk begitu? Cowok itu bikin kamu marah?"
Aline hanya menggeleng.
"Mau konsultasi soal cowok? Sini, curhat sama aku saja."
Aline menggeleng lagi.
Elin melempar pandangan pada James. James menggeleng-gelengkan kepala, seolah berkata kalau ia tidak mau ikut campur urusan wanita. Elin memiringkan bibirnya. Tak lama Uli datang dari pintu belakang.
"Kenapa kamu, Lin?" Uli membanting tasnya ke meja begitu saja. Namun Aline masih tidak mau menjawab apa-apa.
"Aline kenapa?" Uli berbisik pada Elin.
Elin mengangkat bahu. "Aku nggak tahu apa yang terjadi sama Aline. Aline habis diantar cowok ganteng, bukannya senang malah galau begini."
"Cowok ganteng? Cieee, pasti habis diantar Kak Raga, kan?"
"Huss..." James seolah menyuruh Uli untuk tutup mulut.
Aline menarik napas dalam-dalam, lalu memiringkan kepalanya dan menatap Uli lamat-lamat. Tatapan matanya seakan dipenuhi amarah, bibirnya mengerucut satu senti.
"A, ada apa? Apa aku salah bicara? Maaf ya, Lin." Uli menggigit bibir bawahnya, ia terlihat cemas dan takut.
Aline mendecakkan lidahnya. Kedua tangannya menyilang di depan dada.
"Kak Raga aneh banget hari ini." Akhirnya Aline bersuara.
"Aneh, kenapa maksudnya?" tanya Uli. Mereka bertiga lantas menyeret kursi dan duduk mengelilingi Aline. Aline mengembuskan napas kasar, terlihat jelas dari raut wajahnya kalau Aline memang kesal.
"Kak Raga memberikan semua koleksinya untuk aku."
"Ya, terus? Apa masalahnya?”
"Aku nggak mau berhutang sama dia, Ul. Lagi pula, baju-baju yang dijadikan koleksi pertama Kak Raga itu kan mahal sekali. Aku nggak mau dibilang memanfaatkan Kak Raga. Jadi tadi pas aku ketemu Kak Raga di lorong, aku tanya sama dia, berapa harga yang harus aku bayar untuk baju-baju itu. Tapi Kak Raga malah marah sama aku."
"Astaga!" Elin menepuk jidatnya. "Jelas saja Kak Raga marah. Kak Raga memberikan semua koleksinya untuk kamu karena dia—"
"Hei!" Uli tiba-tiba membekap mulut Elin.
"Uli, apa yang kau lakukan?"
"Maaf, Lin. Habisnya kalau tidak seperti ini, pasti Elin bakal ngomong aneh-aneh. Jangan dihiraukan ya, omongan Elin kadang memang suka bikin kita jadi kepikiran."
Uli lalu menarik tangan Elin ke pojok ruangan. "Kamu mau bicara apa sama Aline? Kamu mau mengatakan semua yang aku ceritakan semalam, huh?"
"Iya, ya, sori. Mulutku ini kadang-kadang memang suka khilaf."
"Makanya kontrol tuh mulut kamu! Kalau kamu nggak bisa jaga rahasia ink, aku bakal jahit bibirmu. Kebetulan Kak Levi ngajarin aku pakai mesin jahit tadi malam. Mau kamu mulutnya aku jahit?"
Elin mendengus kesal.
Uli kembali ke tempat Aline.
"Kalian ngomongin apa, sih?"
"Nggak ada. Biasalah, ini tentang rahasia aku. Aku sengaja ancam Elin soalnya dia kalau ngomong suka asal ceplos."
"Dih, bukannya kamu yang suka ceplas-ceplos."
"Itu kan dulu."
"Hei. Sudah, cukup. Kalian ini bisa diam tidak? Tiap hari kerjaannya ribut saja terus. Bikin pusing. Lihat tuh, Lin, bayangkan setiap hari aku harus menghadapi kehidupan seperti ini. Menyebalkan."
"Sabar saja, James." Aline menepuk pundak James.
"Ngomong-ngomong, apa kamu sudah mempelajari video yang saya kirim tadi malam?"
Aline mengangguk. "Aku masih kurang paham sama materi pelajaran di kelas pattern drafting, sih."
"Oh, pattern drafting. Pattern drafting itu kelas buat bikin pola, termasuk belajar hitung-hitungan pola dan ukuran. Nanti setelah kelas bahasa selesai, kita ke perpus saja, yuk. Saya bisa bantu kamu menjelaskan materi itu. Tentu saja, kalau kamu tidak keberatan."
"Aku sangat berterima kasih atas kebaikan kamu, James. Aku mau."
"Oke."
Tidak lama setelah mereka berbincang terdengar suara bel berdering, kelas bahasa segera dimulai. Sir Julian yang menjadi guru bahasa di kelas ini menjelaskan tentang istilah-istilah mode dalam bahasa Prancis. Secara perlahan, para mahasiswa baru itu juga diajarkan beberapa contoh kalimat saat berinteraksi menggunakan bahasa asing tersebut.
Sebagai mahasiswa pindahan, James tentu saja unggul di kelas ini. Ia menantang Aline untuk melampaui nilai speaking-nya.
Aline memberikan jawabannya ketika kelas bahasa sudah berakhir.
"Jadi bagaimana?"
"Yah, jujur saja, aku tidak pernah bisa menghapal kalimat sejak kecil. Tapi kalau kamu benar-benar ingin menantangku, boleh saja. Aku akan berusaha keluar dari zona nyaman yang selama ini mengekangku."
"Lah, itu... Berani sekali kamu menantang Aline. Hati-hati loh, kalau kamu kalah jangan nangis, ya." Uli menyeringai.
"Siapa takut, secara bahasa Prancis itu bahasa sehari-hariku."
"Jangan meremehkan semangat dari orang yang baru terlahir kembali, sayang. Dia bisa saja merebut posisimu. Bagaimanapun kamu harus tetap waspada sama Aline, ya. Dia bukan tandingan kamu, mengerti?" Elin mengingatkan.
Empat sekawan itu sekarang berjalan menuju perpustakaan—sesuai janji—James mengajarkan Aline tentang pelajaran yang belum sepenuhnya dimengerti oleh Aline. Ketika mereka sedang asyik membahas figure drawing, Miss Jane tiba-tiba mendatangi Aline. Wanita blasteran Indo-Belanda itu memanggil Aline untuk datang ke ruangan Mrs. Laura.
"Baiklah, aku akan segera ke sana. Terima kasih, Miss."
Miss Jane mengangguk kemudian kembali ke pos pelayanan mahasiswa.
"Kamu mau kami antar, Al?"
"Tidak perlu. Nggak akan lama kayaknya. Kita nanti ketemu di kelas menjahit saja, ya." Aline membereskan buku-buku, memasukkannya kembali ke dalam tas selempang, ia merapikan tempat duduknya dan bergegas pergi.
"Duluan, ya."
Sambil tersenyum Aline keluar dari ruang tenang itu.
"Aduh, gawat nih! Aku harus cepat beri tahu Kak Ode sama Kak Levi tentang ini. Teman-teman, kalian ikut aku, ya."
"Ke mana?"
"Udah, nggak usah banyak tanya. Ikut saja!" Uli buru-buru berlari ke gedung utama.