NovelToon NovelToon
Berondong Itu Adik Tiriku

Berondong Itu Adik Tiriku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / One Night Stand / Nikah Kontrak / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: NinLugas

Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.

Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.

Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tidur Bersama

Mata Veltika perlahan terbuka, pandangannya masih buram oleh sisa-sisa tidur. Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia menyadari kehangatan tubuh Denis di sampingnya. Wajahnya memerah, tetapi ia tidak segera menjauh. Mereka saling bertukar pandang dalam keheningan, menyadari bahwa pagi ini adalah awal dari sesuatu yang baru sebuah perasaan yang tak pernah mereka bayangkan akan hadir di antara mereka.

Pagi itu, Veltika terbangun dengan kepala sedikit pening. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang mulai masuk melalui tirai kamar. Udara pagi terasa dingin, tetapi tubuhnya hangat, terbungkus selimut tebal yang membalutnya hingga ke bahu. Perlahan, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh—seperti ada seseorang di sampingnya.

Dengan jantung berdebar, Veltika menoleh ke sisi ranjang. Napasnya tertahan saat melihat Denis terbaring di sampingnya. Tubuh pria itu tidak tertutupi apapun selain sisa-sisa cahaya pagi yang memantul di kulitnya. Dadanya yang bidang naik-turun perlahan seiring napasnya yang tenang, seolah tidak ada yang salah dengan pagi ini.

Veltika terdiam, pikirannya berputar cepat, mengingat kejadian semalam. Wajahnya memerah seketika saat kilasan ingatan samar mulai kembali—sentuhan Denis, bisikan lembutnya, dan bagaimana malam itu berakhir dengan keintiman yang tak pernah ia rencanakan.

"Ya Tuhan..." bisiknya pelan, kedua tangannya mencengkeram selimut yang menutupi tubuhnya. Ia menunduk, melihat dirinya sendiri, hanya terbungkus kain tipis itu. Jantungnya berdegup semakin kencang, antara terkejut dan bingung.

Seolah merasakan tatapan Veltika, Denis perlahan membuka matanya. Mata gelapnya bertemu dengan pandangan Veltika yang penuh kebingungan dan kecemasan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang nyaris nakal. "Pagi, Kak Vel," ucapnya pelan dengan nada serak khas orang yang baru bangun tidur.

Veltika segera mengalihkan pandangannya, menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, seolah itu bisa melindunginya dari situasi yang baru saja disadari. "Denis... kenapa... kita...?" suaranya tertahan, tak mampu menyelesaikan kalimatnya.

Denis duduk perlahan, rambutnya berantakan, tetapi wajahnya tetap tenang. "Semalam... kita hanya mengikuti apa yang kita rasakan, Kak. Jangan terlalu dipikirkan," tatapnya lembut, tetapi ada sesuatu di dalam matanya, yang membuat Veltika semakin sulit mengalihkan pandangannya.

Veltika menelan ludah, perasaannya bercampur aduk antara malu, marah pada dirinya sendiri, dan sesuatu yang tidak ingin dia akuinya. "Kita tidak seharusnya, Denis ini salah," ucapnya pelan Tegas, meski suara hatinya terasa bergetar.

***

Di kantor, Veltika merasa pikirannya tidak berada di tempat yang seharusnya. Biasanya, ia adalah sosok yang tegas dan penuh percaya diri, tetapi pagi ini segalanya terasa berbeda. Tangannya gemetar saat mencoba menata berkas-berkas proyek yang ada di mejanya, dan pandangannya terus melayang ke arah jendela, seolah mencari jawaban atas kebingungannya.

Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengingat detail dari malam sebelumnya. Namun, semakin ia mencoba, semakin buram ingatannya. Semua terasa seperti potongan-potongan gambar yang tak lengkap—cahaya lampu redup, suara tawa mereka berdua, dan kemudian... kegelapan. Yang jelas, ia terbangun di samping Denis tanpa mengenakan apapun kecuali selimut yang melilit tubuhnya.

Pikirannya kacau. Bagaimana aku bisa kehilangan kendali seperti itu? batinnya berbisik dengan penuh penyesalan. Veltika merasa malu, bukan hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga pada Denis. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah kejadian itu.

Beberapa rekan kerjanya menyapanya seperti biasa, tetapi Veltika hanya memberikan senyum tipis yang nyaris tidak terlihat. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di ruangan pribadinya, berharap tidak ada yang memperhatikan kegugupan yang ia rasakan. Setiap kali ponselnya bergetar, ia langsung panik, takut kalau itu adalah pesan atau telepon dari Denis.

"Veltika, kamu baik-baik saja?" tanya Dina, salah satu rekan kerjanya, yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Kamu kelihatan... beda hari ini. Ada yang terjadi?"

Veltika terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata. "Aku... tidak tidur nyenyak tadi malam. Mungkin hanya kelelahan." Jawabannya terdengar datar, namun cukup untuk membuat Dina mengangguk dan keluar dari ruangan.

Setelah Dina pergi, Veltika menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, di balik ketenangan palsu itu, pikirannya masih berkutat pada satu hal Denis.

Jam makan siang tiba, dan seperti biasa Dina mengetuk pintu ruang kerja Veltika. "Vel, ayo makan siang. Aku sudah pesan tempat di restoran favorit kita," ajaknya dengan nada ceria. Dina selalu menjadi orang yang bisa menghidupkan suasana, terutama saat Veltika sedang tenggelam dalam pikirannya.

Veltika, yang masih duduk di kursi dengan ekspresi kosong, tersentak sejenak sebelum menjawab, "Ah... iya, Din. Sebentar, aku bereskan ini dulu."

Beberapa menit kemudian, mereka berdua melangkah keluar dari gedung kantor menuju restoran yang tak jauh dari sana. Udara siang itu sejuk, meskipun ada sedikit angin yang membuat rambut panjang Veltika berantakan. Dina memandang sahabatnya itu dengan rasa ingin tahu.

"Vel, kamu kelihatan aneh hari ini. Bukan cuma karena kurang tidur, kan?" Dina menyelidik sambil berjalan di sampingnya.

Veltika hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang masih berputar di dalam benaknya. "Enggak kok, Din. Mungkin aku memang butuh istirahat lebih banyak."

Tak lama, mereka tiba di restoran kecil dengan nuansa elegan yang sering mereka kunjungi. Dina memesan pasta favoritnya, sementara Veltika hanya memesan salad dan teh hangat—tidak seperti biasanya.

"Apa yang terjadi sebenarnya, Vel?" Dina akhirnya bertanya saat mereka mulai makan. "Aku tahu kamu. Kalau cuma kurang tidur, kamu enggak bakal secanggung ini."

Veltika terdiam, menatap salad di piringnya tanpa nafsu makan. Ia tahu Dina tak akan berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawaban. Tapi bagaimana mungkin ia menceritakan apa yang terjadi semalam? Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa dirinya terbangun di samping Denis, adik tirinya, tanpa pakaian sehelai pun?

"Aku... hanya sedang banyak pikiran, Din," jawabnya akhirnya, dengan suara pelan. "Kehidupan di rumah belakangan ini agak... rumit."

Dina mengangkat alis. "Rumit? Maksudnya soal ayah kamu dan Caroline?"

Veltika mengangguk, meski tahu masalahnya jauh lebih dalam dari itu. "Iya, sesuatu seperti itu."

Dina menghela napas. "Kamu tahu aku selalu ada untuk kamu, kan? Kalau ada yang ingin kamu ceritakan, aku siap mendengarkan."

Veltika tersenyum tipis. "Aku tahu, Din. Terima kasih. Mungkin nanti aku akan cerita."

Mereka melanjutkan makan siang dalam diam, namun kepala Veltika tetap dipenuhi oleh Denis. Ketika Veltika dan Dina sedang menikmati makan siang mereka dalam suasana yang sedikit canggung, bel pintu restoran berbunyi, menandakan kedatangan tamu baru. Veltika tidak memperhatikannya pada awalnya, sampai Dina, yang duduk berhadapan dengannya, tiba-tiba menatap ke arah pintu dengan mata membulat.

"Vel... itu bukan Denis?" bisik Dina sambil melirik ke arah pintu masuk.

Veltika, yang semula hanya fokus pada piringnya, akhirnya mengangkat kepala dan menoleh. Hatinya tiba-tiba berdebar lebih kencang. Di sana, berdiri Denis dengan setelan kasual yang tetap terlihat rapi. Tapi bukan itu yang membuat Veltika tercekat. Di samping Denis, ada seorang wanita muda berambut panjang, mengenakan gaun elegan, yang menggandeng lengannya dengan begitu mesra.

Wanita itu tersenyum manis sambil berbicara dengan Denis, seolah mereka sangat dekat. Veltika bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya menegang, dan tangannya yang memegang garpu sedikit bergetar.

"Siapa dia?" tanya Dina, ikut penasaran. "Pacar Denis?"

Veltika tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada Denis yang kini berjalan melewati meja mereka, tanpa menyadari keberadaan Veltika di sudut ruangan. Saat melewati mereka, Denis tertawa kecil mendengar sesuatu yang dikatakan wanita di sampingnya, suara yang bagi Veltika terdengar menusuk.

Denis dan rombongannya duduk di meja tak jauh dari tempat Veltika dan Dina. Dari posisi itu, Veltika bisa dengan jelas melihat wanita muda itu menyentuh tangan Denis dengan santai, seolah-olah itu adalah hal yang biasa mereka lakukan.

"Aku yakin ada sesuatu di antara mereka," gumam Dina pelan, mencoba menebak situasi. "Kamu tahu siapa dia, Vel?"

Veltika menggeleng perlahan, berusaha menormalkan napasnya yang tiba-tiba terasa berat. "Aku… aku tidak tahu."

Dina mengerutkan kening. "Denis kelihatan dekat banget sama dia. Kamu enggak keberatan, kan?"

"Kenapa aku harus keberatan?" Veltika menjawab dengan suara yang berusaha tetap tenang. Tapi di dalam hatinya, ada perasaan aneh yang mulai mengusik. Perasaan yang tak seharusnya ia rasakan.

Veltika mencoba mengalihkan perhatiannya kembali ke makan siangnya, namun setiap kali ia mencoba, pandangannya secara tidak sadar kembali tertuju ke arah Denis dan wanita itu.

Denis, yang tampaknya akhirnya menyadari kehadiran Veltika, menoleh sekilas ke arah mejanya. Mata mereka bertemu sejenak, dan senyum tipis muncul di wajah Denis, namun ada sesuatu di balik tatapannya—seolah-olah ia tahu betapa terganggunya Veltika saat ini. Sementara itu, wanita di sampingnya masih menggenggam lengannya dengan posesif, tidak menyadari pertemuan singkat itu.

Veltika menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai membuncah di dadanya. Apakah Denis sengaja datang ke sini? Atau ini hanya kebetulan yang terlalu pahit untuk diterima?

1
Nikodemus Yudho Sulistyo
Menarik. pasti lebih banyak intrik nantinya. lanjut...🙏🏻🙏🏻
NinLugas: iya ni mau lanjut nulis lg, semngt juga kamu ka
Nikodemus Yudho Sulistyo: tapi menarik kok. semangatt...
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!