Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 2
Wedang jahe dalam cangkir blirik tak lagi mengeluarkan uap panas, seorang wanita tua memberikannya pada sang menantu yang duduk di sofa dengan tubuh gemetar. Sementara cucu kesayangan memilih bermain ponsel dengan kabel charger yang masih menggantung.
Hampir satu jam lamanya sejak kedatangan menantu dan cucunya itu, mereka diantar oleh kyai Usman, pemilik pesantren di desanya. Sang kyai bilang cucu dan menantunya baru saja diganggu makhluk halus. Menyarankan agar dua wanita itu segera mengambil air wudhu, supaya mahluk itu tak lagi mengikuti.
“Sungguh Bu, baru kali ini Sukma mengalami hal mengerikan ini. Dulu, saat sering kesini bersama mas Bagas tidak pernah tuh ada yang aneh-aneh,” kata Sukma pada ibu mertuanya.
“Sudah, minum saja wedangnya biar tenang. Mungkin mereka mengganggu karena kalian datang di jamnya mereka muncul.”
“Maksud Ibu?”
“Maghrib itu jamnya makhluk halus muncul, kita ini hidup berdampingan dengan mereka. Kalau siang waktu manusia aktif, kalau malam ya gantian mereka yang aktif. Nah maghrib itu pergantian waktunya. Makanya kalau orang dulu pamali keluar waktu surup.” Nenek Ratih berjalan mendekati Dira, memberikan cangkir serupa untuk cucunya itu. “Minum dulu Nduk, mumpung masih hangat.”
Sebenarnya Nadira enggan, ia tak begitu suka wedang jahe. Tapi, melihat ibunya memberi kode dengan kedipan mata, ia tahu harus menerima pemberian neneknya.
“Untung ada kyai Usman, kalau tidak entah sampai kapan kami terjebak dalam dunia mereka,” ucap Sukma lagi.
Wijaya tersenyum, lelaki itu membenarkan ucapan mbak sepupunya itu. “Allah masih sayang Mbak Sukma, padahal kyai Usman itu jarang keluar ndalem. Kok kebetulan hari ini beliau lewat depan rumah kita. Katanya baru kundur undangan.”
“Besok ibu antar kalian sowan ya, kita harus berterima kasih. Sekarang kalian istirahat saja dulu, biar ibu siapkan makan malam.”
“Sukma bantu saja ya Bu, biar cepat selesai.”
“Ya sudah, oh iya Jaya… tolong belilah kerupuk di warung mak Samintul. Ba’da isya begini biasanya sudah buka kan?”
“Sudah Bude, kalau begitu berangkat dulu ya.” Wijaya meraih jaket yang terletak di atas kursi, mengenakan pakaian hangat itu lantas pergi meninggalkan rumah.
“Nduk, kamu istirahat saja di kamar. Itu kamarmu sudah nenek bersihkan tadi, nanti kalau masakannya sudah siap, nenek panggil.” Nenek Ratih mengusap pelan rambut panjang sang cucu, Dira pun mengangguk mengerti. Berjalan menuju kamar yang ditunjuk neneknya.
Kamar yang begitu sederhana, hanya ada dipan bambu yang berderak ketika ditindih, dan kasur kapuk yang telah usang. Juga lemari kayu dengan lobang disana sini, Dira berdecak kesal, hidupnya berubah seratus persen. Dari yang dulu serba mewah kini menjadi seperti ini, tanpa sadar air matanya menetes.
Menyesali kepergian sang ayah yang begitu cepat, penyakit sialan yang selalu disembunyikan oleh lelaki sok kuat itu ternyata adalah bom waktu yang menunggu saat meledak.
“Ayah, kenapa tega tinggalkan Dira. Bukankah ayah bilang ingin melihatku menikah kelak dan menimang cucu?” Dira mengusap air mata yang menggantung di ujung netra, kala sayup-sayup mendengar suara gamelan mengalun mistis dari arah luar kamar. Disusul oleh suara halus nan merdu seorang wanita, yang menyenandungkan sebuah tembang jawa.
Gadis itu berdiri menyibak tirai, jendela kaca di depannya menyuguhkan pemandangan rumah kosong dua lantai yang dilihatnya tadi sore. Hanya saja lampu kamar di lantai dua menyala, bayangan seorang wanita berambut panjang menari indah mengikuti irama.
Kidung jawa disampaikan penyanyi dengan begitu merdu, Dira bisa merasakan emosi sang penyanyi menyayat hati, seolah isi lagu adalah perasaan yang sebenarnya.
“Bukankah tadi ibu bilang rumah ini kosong? nah itu apa?” gumamnya lirih. Dira terpesona akan indahnya tarian wanita di rumah itu. Tubuh ramping juga rambut panjang, hidung mancung dan tangan lentik bisa dipastikan jika wanita itu pasti sangat cantik.
“Nadira, hey.. Nduk… astaghfirullah, eling Nak.” Nenek Ratih menepuk pundaknya berkali-kali.
“Aw, sakit… Nenek? ada apa?”
“Kamu lihat apa kok bengong begitu? nenek panggil berkali-kali nggak jawab ya nenek pukul aja, ojo ngelamun… ini juga, ngapain buka kelambu malam-malam begini. Lihat apa kamu di luar?”
“Ah, itu Nek.” Dira menunjuk rumah sebelah, tapi ia tertegun sebab lampu di kamar itu telah padam. Tak ada lagi gadis menari bahkan kidung Jawa beserta gamelan tak lagi terdengar, “loh kapan selesainya?”
“Apanya?” nenek mulai resah, wajah keriputnya menjadi tegang.
“Tadi lampu di lantai dua menyala, ada gadis menari dan menyanyi lagu-lagu Jawa gitu, Nek.”
“Hus, apa yang kamu katakan. Ngelindur kamu ya? rumah itu sudah kosong bertahun-tahun lamanya. Sudah, hentikan pembahasan ini dan segera susul nenek ke ruang makan!” titahnya seraya menutup kembali kelambu kamar.
Dira menggaruk kepala yang tak gatal, ia yakin mendengar bunyi gamelan dan suara wanita bernyanyi, bahkan tarian indah wanita itu masih terekam jelas dalam ingatan. “Ah, apa benar yang dikatakan nenek? hiii… serem sekali sih.” Nadira segera berlari keluar kamar.
***
Usai makan malam bersama, Sukma sengaja masuk kamar lebih dulu. Ia sibuk bernostalgia dengan semua kenangan manis bersama mendiang Bagas. Saat mereka masih pengantin baru dulu, kamar inilah yang menjadi saksi bisu kebahagiaan keduanya. Sukma mengusap bulir bening pada pipi, menatap potret Bagas yang terpajang di dinding.
Tak sedikitpun ibu mertuanya merubah tatanan kamar putranya, hanya membersihkan saja hingga tak ada sedikitpun debu menempel. Seolah-olah kamar itu memang berpenghuni selama ini.
Cukup larut dalam ingatan membuatnya terperanjat kala mendengar suara ketukan pada jendela kamar. Malam sudah larut, penghuni rumah telah terlelap kecuali dirinya. Namun, siapa yang iseng mengerjainya malam-malam begini?
Sukma membatu, ada perasaan was-was dalam hati. Apalagi saat menyadari bahwa ketukan jendela memiliki ritme aneh, tiga kali-tiga kali.
Tok tok tok, tok tok tok…
Siapa usil malam-malam begini, apa itu Wijaya? batin hatinya.
Tok tok tok, tok tok tok
“Wijaya?”
Tak ada sahutan dari balik jendela, tapi suara ketukan terus berlanjut. Sukma meletakkan kembali potret sang suami, lantas bergegas mengambil selimut dalam koper. Rasa panik membuat tangannya tak henti bergetar, bahkan berkeringat. Tak jarang pula tergelincir saat berusaha membuka resleting kopernya.
Krak krak krak
Kali ini suara burung gagak, hewan yang dianggap sebagai pembawa kabar kematian itu berputar mengelilingi rumah. Sukma naik ke atas ranjang, detak jantungnya berpacu berkali-kali lipat, ia meringkuk dibalik selimut tebal yang ditarik hampir menutup kepala, sementara keringat dingin membanjiri tubuhnya.
Brak brak brak…
Srek Srek Srek...
Seolah tak ingin berhenti, suara aneh selanjutnya berasal dari luar pintu kamar. Seperti seseorang sengaja memukul pintu menggunakan sapu penebah kasur, Sukma merasa yang terjadi malam ini sudah tak masuk akal, ia memilih abai, memejamkan mata sambil terus merapal doa. Berusaha tidur hingga suara itu menghilang dengan sendirinya.
.
Tbc