Apa hal tergila yang terjadi di hidup Jessica kecuali saat suaminya berselingkuh selama tiga tahun dengan istri Noel, sahabatnya sendiri. Sementara itu di saat dia menyandang status janda cantik berkarir cemerlang, ada beberapa kandidat yang bersedia menggantikan posisi mantan suaminya:
1. Liam, sahabat sekaligus pernah menjadi pacarnya saat kuliah selama dua tahun. Greenflag parah! Jessica belum ngomong aja dia udah paham saking pekanya!
2. Noel, sahabat yang jadi korban sama seperti Jessica. Istrinya diembat suami Jessica loh!! plusnya dia punya anak cantik dan menggemaskan bernama Olivia. Jessica ngefans berat sama nih bocil~♡
3. Ferro, pengusaha kaya raya, tajir melintir, suka sama Jessica dari pandangan pertama. Rela apa aja demi membuat senang Jessica, tentunya dengan uang, uang dan uaaaang ^^
4. Delon, cinta pertama Jessica di saat SMP. Dulu Jessica saat masih aura gerhana diputusin saat lagi bucin-bucinnya. Sekarang tuh cowok balik lagi setelah Jessica punya aura subuh!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Cinta Monyet
Jessica baru saja ingin pulang. Buru-buru dia dihampiri oleh Liam dengan ekspresi sedikit panik.
“Jess!” panggil Liam.
Jessica yang memegang tasnya langsung menoleh. “Liam? Kenapa?”
Liam sudah ada di hadapannya. “Ada sedikit masalah. Bisa bantu aku?” pintanya dengan wajah memelas.
“Hm?” Jessica mengernyit bingung.
“Klien aku kali ini agak sulit. Dia lumayan menyebalkan kalau dilayani oleh pengacara cowok.”
“Lalu? Apa hubungannya denganku?”
“Please, kamu bantu aku buat bicara sama dia.”
“Ah, kamu gila?! Itu kan klienmu,” tolak Jessica.
“Please,” pinta Liam sekali lagi.
Jessica melengos sinis. “Masa iya kamu tega ngasih aku sama cowok rese? Dia om-om gendut yang genit ya? Kok maunya cuma sama cewek?”
Liam menggeleng cepat. “Nggak, Jess. Dia muda. Usianya nggak jauh dari kita sepertinya.”
Jessica menyipitkan matanya. Cowok rese yang akan menjadi klien Liam ini pastilah orang yang merepotkan.
“Bantu aku ya, Jess. Nanti akan kutraktir makan sashimi,” kata Liam berusaha bernegosiasi.
Jessica tampak menimbang-nimbang sebentar. Ini bukan soal ditraktir atau apa. Masalahnya menghadapi cowok genit itu adalah pekerjaan yang melelahkan.
“Gimana, Jess?” tanya Liam dengan penuh harap.
“Hhh, ya sudah.” Jessica mengalah. Dia sendiri tidak tega kalau Liam harus kerepotan seperti ini.
***
Sekarang Jessica dan Liam sudah duduk di ruang meeting bersama seorang laki-laki yang baru saja menjadi klien Liam.
“Halo, Pak. Perkenalkan nama saya Jessica Leovarnost,” ucap Jessica memperkenalkan dirinya pada seorang lelaki yang berdiri tepat di hadapannya.
“Fero Ranjaya,” jawab lelaki itu membalas jabatan tangan Jessica.
Jessica memerhatikan sesaat lelaki yang berdiri tepat di depan matanya ini. Tingginya sekitar 185 cm. Tubuh tegap dan atletis yang mencerminkan kekuatan dan ketangkasannya. Wajahnya tampan dengan rahang yang tegas, pipi tirus, dan hidung yang mancung. Matanya berwarna biru gelap, dalam dan misterius.
“Bu Jessica ini adalah manager di firma kami,” kata Liam dengan ramah.
Fero mengangguk paham tanpa memutus pandangannya dari wajah cantik Jessica. Terlebih senyum perempuan itu mampu menghipnotis Fero agar tidak mengalihkan pandangan sama sekali.
“Silakan duduk, Pak Fero.” Jessica mempersilakan.
Fero duduk di kursinya dengan nyaman. Jessica terus mengawasi bahasa tubuh Fero yang begitu tenang. Bahkan tidak sedikit pun terlihat genit seperti om-om yang ada dalam pikiran Jessica sebelumnya.
“Pak Liam sudah melimpahkan permasalahan Pak Fero pada saya. Jadi—” Jessica terhenti ketika Fero mengangkat tangan tanda meminta dirinya untuk diam.
“Iya, Pak?” tanya Jessica heran.
“Kamu ada waktu malam ini?” tanya Fero tiba-tiba.
“Ha–?” Jessica bingung lalu menoleh ke Liam yang hanya menghela napas panjang. Benar ternyata, dibalik ketenangan Fero sepertinya dia memang cowok genit!!
***
Malamnya, Jessica sudah siap untuk bertemu dengan Delon. Ia mematut diri di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sempurna. Ia mengenakan gaun santai berwarna pastel yang memeluk tubuhnya dengan pas, sepasang sepatu sandal yang nyaman, dan seuntai kalung sederhana yang melengkapi penampilannya. Rambutnya yang coklat lembut tergerai alami, dan sedikit lip gloss memberikan kilau pada bibirnya.
“Perfect, Jess. Buat Delon semakin terpukau denganmu,” monolognya dengan senyum cantik.
Drrrtt … HP Jessica di atas nakas bergetar. Dengan cepat dia mengambilnya dan menerima telpon dari Delon.
“Halo,” sapa Jessica seraya tersenyum sendiri.
“Jess … kamu mau aku jemput?” tawar Delon.
“Oh, gak usah. Nanti aku bawa mobil,” tolak Jessica sopan.
“Yakin?”
“Hm. Yakin. Kamu dimana?”
“Sebentar lagi aku jalan. Kamu?”
“Aku sudah siap. Ini mau otw,” jawab Jessica.
“Ya sudah, hati-hati nyetirnya. Jangan ngebut,” pesan Delon.
Jessica tertawa kecil. “Iya-iya. Kamu juga. See you, Lon.”
Panggilan terputus.
Sekali lagi Jessica merapikan rambutnya kemudian memasang tasnya ke bahu dan keluar kamar dengan penuh semangat.
***
Saat tiba di kafe, Jessica bisa melihat Delon sudah duduk di meja dekat jendela, tersenyum padanya. Ia segera merasakan getaran kegembiraan yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dengan hati-hati, Jessica berjalan mendekat.
"Hai, sudah lama menunggu?" tanya Jessica sambil menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Delon.
"Enggak kok, aku baru saja sampai," jawab Delon dengan senyum yang membuat jantung Jessica berdegup lebih cepat. "Kamu terlihat cantik hari ini,” lanjutnya memuji.
"Terima kasih," balas Jessica sambil menyelipkan rambut ke samping telinga. Ia merasa pipinya sedikit memerah.
“Kita pesan dulu ya,” kata Delon sambil memberikan buku menu ke Jessica.
Mereka memesan kopi dan mulai berbincang. Pembicaraan mengalir lancar, membahas berbagai topik mulai dari pekerjaan, hobi, hingga impian masa depan. Jessica merasa nyaman berbicara dengan Delon. Ada sesuatu dalam cara Delon mendengarkan dan menjawab yang membuatnya merasa dihargai.
"Jadi, kamu sudah lama bekerja di firma hukum?” tanya Delon.
“Mungkin sudah lima tahun kalau gak salah. Aku lupa kapan tepatnya.”
Delon mengangguk paham.
“Kamu sendiri?” tanya Jessica.
“Baru tiga tahun terakhir. Sebelumnya masih ikut Om di perusahaannya.”
Jessica terdiam sesaat. Dia mencerna maksud Delon. “Kalau gitu sekarang kamu—?” matanya membulat tak percaya.
Delon mengekeh pelan dan paham maksud Jessica. Ia mengangguk tanda mengiyakan. “Iya, Jess. Aku bangun perusahaan sendiri.”
“What the–?!” Jessica semakin kaget. “Jadi kemarin itu kamu beli minuman di super market untuk karyawanmu?”
Dekin tertawa kecil. “Mereka itu teman-temanku.”
“Kamu yang gaji mereka kan?”
“Iya … tapi, tanpa mereka perusahaanku gak akan bisa berdiri sampai sekarang,” jelas Delon dengan suara lembut.
Speechless. Jessica tidak tahu harus berkata apa. Memangnya boleh ada atasan se-humble ini?
“Kenapa, Jess? Kaget banget gitu,” tawa Delon.
Jessica akhirnya ikut tertawa. “Nggak nyangka. Kaget aku. Kenapa gak bilang sebelumnya?”
“Bilang apa?”
“Kalau kamu bukan karyawan tapi owner.”
Delon terbahak mendengar itu. Dia tidak menjawab dan memilih untuk melanjutkan menikmati dessert.
“Delon,” panggil Jessica lagi.
“Iya, Jess?”
“Kamu ingat kan alasan kamu mutusin aku?” tanya Jessica dengan nada sedikit menyindir.
“Iya,” jawab Delon tanpa ragu.
“Karena apa?”
“Karena … aku gak mau membebani kamu,” jawab Delon lagi dengan suara tenang.
“Membebani?” heran Jessica.
Delon mengangguk. Ekspresinya tanpa dosa. “Aku dengan teman-teman sekelas mengejek kamu. Katanya kamu cuma dimanfaatkanku. Aku suka minta kerjakan tugas sekolah ke kamu. Waktu itu kamu nangis kan? Aku kasihan sama kamu makanya mending putus,” cerita Delon dengan lancar.
Jessica mengerjap tiga kali. Dia ingat kalau waktu itu menangis di kelas karena hampir semua siswi mengejeknya kalau dia hanya dimanfaatkan Delon.
“Kamu … dengar itu?” tanya Jessica yang ingatannya masih sangat jelas.
“Tentu.”
“Jadi … alasannya karena itu?”
Delon mengangguk yakin. “Memangnya ada alasan lain?”
“Bukan karena waktu itu aku jelek, item dan dekil?” tanya Jessica dengan nada rendah.
Seketika Delon terbahak mendengar itu. Ia bahkan berusaha sekuat tenaga agar tawanya tidak pecah dan keras.
“Delooon!” Jessica benar-benar malu sekarang.
“Hahaha. Maaf, Jess. Aku nggak nyangka kalau kamu berpikiran seperti itu.”
Meski begitu Jessica juga lega karena ternyata selama ini tebakannya salah. Delon tidak sejahat itu padanya. Dia saja yang over insecure.
“Ya sudah, gak usah dibahas lagi deh,” kata Jessica masih menahan malu.
“Lagipula … kalau aku mandang fisik kamu, buat apa aku ajakin pacaran. Kamu ingat kan nolak aku sampai empat kali? Dan setelah ajakanku yang kelima, baru kamu mau,” kenang Delon.
“Ya itu kan karna aku gak percaya. Masa iya cowok ganteng di sekolah naksir aku? Kan gak masuk akal,” kilah Jessica.
“Tapi, akhirnya diterima juga. Aku senang banget waktu itu.”
“Oh iya, aku mau tanya deh!” Jessica mulai menunjukkan rasa penasarannya.
“Apa tuh?”
“Kenapa kamu suka sama aku waktu itu?”
“Kenapa ya? Yang jelas awal aku suka sama kamu karena setiap kamu beli roti sama Bi Icah waktu sekolah, kamu beli satu dan bayarnya lima,” cerita Delon seraya tersenyum.
Seketika Jessica merasa sangat malu karena Delon bahkan tahu hal itu. Padahal selama ini tidak ada yang tahu karena dia tak cerita dan tak ada yang memperhatikan sikapnya waktu itu.
“Kamu baik hati, Jess,” ucap Delon dengan tulus.
Jessica terkesima mendengar pujian itu. Rahasia kecil yang dia lakukan saat SMP ternyata dia simpan bersama Delon.
“Ternyata itu alasanmu … bukan karena mau memanfaatkanku,” bisik Jessica pada dirinya sendiri. Kemudian dia tersenyum sendu.
“Kamu gak marah sama aku kan, Jess?” tanya Delon.
Jessica menggeleng. Justru dia langsung mengucapkan, “Terima kasih karena sudah menjaga rahasiaku dengan sangat baik.”
“Sama-sama, Jessica,” jawab Delon dengan suara lembut.
Obrolan kembali mengalir dan berganti topik yang lain. Tanpa terasa sudah tiga jam mereka bercerita tentang kehidupan tanpa membahas soal pasangan sama sekali. Karena menurutnya itu terlalu sensitif.
“Kalau begitu aku duluan, ya.” Jessica dan Delon sudah di parkiran.
“Iya. Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampai, tolong kabari aku,” pinta Delon.
Jessica hanya mengangguk lalu pergi menuju mobilnya, begitu juga dengan Delon yang langsung masuk mobil.
Jessica terus tersenyum karena malam ini begitu menyenangkan menurutnya.
Saat ia sudah dekat dengan mobilnya, tiba-tiba seseorang memanggil namanya dari arah lain.
“Jessica!”
Jessica segera membalikkan badan. Ia membeku ketika tahu siapa yang memanggilnya.
“Alesha,” ucapnya pelan disertai suasana hati yang mendadak muram.
***