Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Hadiah terakhir.
Lelah menumpahkan beban dimakam sang ibu. Maya berpindah dimakam sang ayah, tepat disamping, makam ibunya. Ia memberikan salam dan menyentuh batu nisan. Air matanya, semakin deras tak terbendung, begitu juga suara tangisnya, yang semakin menyayat hati.
"Ayah. Hiks, hiks, hiks. Aku gagal, ayah. Maafkan aku, yang tidak bisa menjaga diri. Tolong, maafkan aku."
Maya sangat menyesal sekarang. Cinta membuatnya bodoh dan buta. Menyerahkan kehormatan yang seharusnya untuk suaminya kelak. Kini benih kecil tumbuh dalam rahimnya, tanpa seorang suami. Ia juga tidak menyelesaikan pendidikannya, yang tinggal satu langkah lagi. Menyisakan penyesalan, seumur hidup.
"Ayah, apakah aku bisa? Ini terlalu berat dan aku sendirian. Hiks, hiks, hiks." Maya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menangis sepuas-puasnya, tanpa takut didengar oleh orang lain. Ia ingin menumpahkan semua kesedihan didepan orang tuanya. Selama berhari-hari, ia hanya bisa menangis tanpa bersuara dan itu membuatnya semakin sesak.
"Aku tidak tahu, kenapa terjadi? Aku sudah memohon padanya, tapi sama sekali tidak percaya padaku. Aku harus bagaimana, Ayah? Aku hamil dan dia membuangku. Aku tidak tahu harus bagaimana? Ayah, hiks, hiks, hiks. Kenapa kau hanya membawa ibu? Kenapa tidak membawaku juga? Aku takut, hiks, hiks, hiks."
Tanpa terasa, matahari mulai teduh. Panasnya sudah berkurang. Maya masih menangis didepan makam, sambil mengeluarkan semua lara dalam benaknya.
"Ayah. Aku harus pergi dan memulai hidup baru. Aku janji akan kembali dan membawa cucu kalian." Maya menyentuh batu nisan sang ayah, seolah sedang berpamitan. Ia. kemudia mengangkat kedua tangan seraya berdoa.
"Aku akan selalu mendoakan kalian berdua. Ibu, ayah, Maaf karena sudah mengecewakan kalian berdua." Maya mengambil segenggam kelopak bunga dan menemukan sesuatu dibawah tumpukan bunga. Sebuah amplop putih, yang cukup tebal.
"Apa ini?" Membuka dengan perlahan dan isinya membuat kedua mata Maya membulat. Sejumlah uang dan secarik kertas yang dicoret tinta hitam.
...Maaf, Maya. Percayalah, aku tidak melakukannya!...
Hanya itu dan Maya tidak mengerti, apa maksud tulisan ini. Siapa yang sudah menyimpannya? Apa seseorang yang mengetahui, bahwa ia akan datang kesini. Maya mengabaikan segala tanya, dalam pikirannya. Ia harus segera pulang, karena matahari sebentar lagi akan tenggelam.
Setelah berpamitan pada orang tuanya, Maya bangkit. Ia menoleh beberapa kali pada makam ayah dan ibu. Dari jauh dan dari dalam hati, ia terus berpamitan dan meminta maaf.
Maya tidak langsung pulang, melainkan mampir lagi menemui pemilik kos.
"Assalamu'alaikum, Pak."
"Walaikumsalam," jawab pria paruh baya yang sedang menyiram tanaman dihalaman rumahnya. "Kamu Maya, kan?"
"Iya, Pak. Saya ada perlu."
"Ya, sudah duduk sana." tunjuk si bapak, pada kursi teras rumahnya. Lalu, meletakkan selang air.
"Pak, sewa kos saya masih tersisa dua tahun. Apa boleh saya memintanya kembali?" ujar Maya, dengan canggung.
"Kenapa? Kamu mau pindah?"
"Iya, Pak. Saya mau pulang kampung. Kalau boleh, sekalian barang-barang dalam kamar saya, jika Bapak berminat, saya mau jual."
"Barang apa?"
"Kulkas, lemari, tempat tidur, alat masak dan meja belajar. Semuanya masih bagus, Pak!"
"Ya, sudah. Nanti, saya minta anak saya untuk mengeceknya. Uangnya, saya transfer saja, ya. Saya tidak punya uang cash."
"Baik, Pak. Terima kasih," jawab Maya, lalu berpamitan pulang.
Dalam kamar, Maya berdiam diri diatas tempat tidur, yang tidak di seprai. Tatapannya kosong dengan mata sembab dan wajah yang bengkak. Ia sengaja tidak menyalakan lampu, agar tetangga kosnya, tidak menyadari keberadaannya. Hanya lampu kamar mandi, yang menjadi penerangnya.
"Aku harus kemana? Aku sudah tidak memiliki apa-apa disini," cicitnya.
Ia mengambil tasnya, karena teringat akan amplop yang ia temukan. Maya kembali membaca tulisan diatas kertas itu. Mengulangi, kalimat terakhir beberapa kali.
"Aku tidak melakukannya," baca Maya berulang kali.
Melakukan apa? Maya menghela napas, lalu mengeluarkan uang dalam amplop. Cukup banyak, mungkin ia bisa bertahan dalam setengah tahun.
Pulang tadi, ia sudah membeli card baru untuk ponselnya. Ia bisa menscrol dunia maya, untuk mencari tempat yang akan ia tuju, esok hari. Tempat yang jauh dari sini dan memungkinkan ia bisa bekerja.
Tok tok tok.
"Kak May?" Suara panggilan dari luar diiringi ketukan pintu.
Maya tidak. menjawab, seolah ia tidak berada dalam kamarnya. Bukannya sombong, tapi lebih baik seperti ini. Orang-orang yang berada diluar, bukan sedang ingin memperhatikannya, melainkan sedang mencari pembenaran. Dan pada, akhirnya akan menjadi perbincangan yang selalu berujung menyudutkannya.
"Mungkin, dia sudah pergi. Karena, pagi tadi ia bilang akan mengangkat semua barangnya."
Kini sudah jelas, siapa yang sedang berada didepan pintu kamarnya. Junior yang ia temui pagi tadi dan sepertinya, gadis itu tidak sendiri.
Maya masih membisu dalam kamar, dengan layar ponsel yang menyala. Ia tidak peduli, dengan orang-orang didepan kamarnya. Sampai akhirnya, kembali hening.
Untuk terakhir kalinya, Maya menatap foto Zamar dalam ponselnya. Ia sudah memantapkan hati, untuk melupakannya. Ia tidak ingin terluka dan menoleh kebelakang lagi. Tapi, segala memori, apakah akan mudah menghapusnya?
🍋🍋🍋
Baru pukul lima pagi dan Maya sudah terlihat rapi. Koper dan tasnya, sudah berada didepan pintu. Gardus yang berisi bantal dan seprai, ia letakkan kembali.
Maya menarik koper dan tasnya, berjalan keluar dari gang. Sesekali, ia berhenti dan menatap sekitarnya. Lalu, menyeka air matanya yang sudah jatuh. Ia ingin mengingat tempat ini, sebelum ia pergi.
Diatas motor, dengan tiupan angin yang sangat dingin. Maya menangis tanpa bersuara.
Selamat tinggal, Zamar. Takdir kita, mungkin hanya sampai disini.
Matahari sudah tidak malu-malu, untuk menampakkan diri. Cahaya pagi, yang tampak hangat, namun masih terasa dingin, karena hembusan udara pagi. Maya sudah duduk menunggu diterminal bis, yang masih sepi.
Ayah, ibu. Maaf.
Kristal bening itu, sudah memenuhi pipi Maya. Gadis itu, sesegukan dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya, mengelus perutnya yang masih rata.
"Aku mohon, tolong jangan pernah tanyakan siapa ayahmu? Karena ibu, tidak punya jawaban."
Terus menangis dengan pilu, bahkan Maya sudah kesusahan bernapas. Karena, hidung dan mulutnya, dipenuhi cairan.
"Ibu, akan berusaha yang terbaik. Tolong, bantu ibu melupakan ayahmu! Tolong, jangan pernah menanyakannya, karena dia tidak menginginkan kita berdua."
Bis tujuan Maya, sudah terparkir. Sebagian penumpang, sudah naik untuk mengambil kursi. Maya duduk dekat jendela, dengan air mata yang belum berhenti mengalir. Entah mengapa, ia merasa semakin sakit, saat akan pergi. Ada rasa tidak rela dan dendam, dalam hati.
Untuk terakhir kalinya, Maya menghubungi Zamar dengan nomor kontak diluar kepala.
"Siapa?" Suara serak khas bangun tidur terdengar. Maya serasa ingin menangis dengan sekencang-kencangnya.
"Aku pergi, Za. Ingatlah, apa yang pernah kamu katakan padaku! Jangan pernah menyesalinya."
Tut. Maya sudah mematikan sambungan telepon, secara sepihak. Ia juga menangis dengan histeris dengan memukul dadanya, agar bisa bernapas. Tidak peduli, dengan tatapan orang-orang yang merasa iba.
Mungkin, ia harus mengganti card ponsel baru, saat berada ditempat tujuan.
🍋 Bersambung.
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️