Airin dan Assandi adalah pasangan suami istri yang saling dijodohkan oleh kedua orang tuanya dari kecil. Namun Assandi sangat tidak suka dengan perjodohan ini. Dia merasa ini adalah paksaan untuk hidupnya, bahkan bisa bersikap dingin dan Kasar kepada Airin. Namun Airin tetap sabar dan setia mendampingi Assandi karena dia sudah berjanji kepada orang tuanya untuk menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Akankah Airin sanggup bertahan selamanya? Ataukah Assandi akan luluh bersama Airin? Atau malah rumah tangga mereka akan retak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DewiNurma28, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi
Airin mengemasi barang-barangnya kedalam koper. Sebenarnya dia tidak ingin memakai koper itu.
Karena saat dirinya masuk ke rumah ini hanya membawa satu ransel besar berisi beberapa pakaiannya.
Tapi Leo kakeknya, memaksa dirinya untuk memakai koper yang sudah dia beli untuknya.
Airin sangat senang diperlakukan istimewa dengan kakeknya. Berbanding terbalik jika dia berada di rumah mertuanya.
Semua orang yang ada disana tidak ada yang perduli dengannya. Bahkan suaminya sendiri juga ikut-ikutan tidak memperdulikannya.
Airin menghela napas pelan, dia sedih jika mengingat itu semua.
Bughh...
Suara benda jatuh di kasurnya, dia menatap benda itu. Sebuah foto pernikahannya dengan Assandi.
Disana terlihat hanya wajah dirinya dan kakeknya yang berbahagia. Bahkan Assandi suaminya tidak ada ekspresi bahagia di wajahnya.
Keluarga mertuanya juga menunjukkan wajah yang tidak menyenangkan.
Airin merenung sedih jika membayangkan momen saat itu. Bahkan dirinya sebelum masuk ke keluarga ini sudah merasakan ketidakbahagiaan.
Setelah masuk ternyata dia juga mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan.
Hanya Leo sang kakek yang bisa menerima dirinya apa adanya. Bahkan melindungi dia disaat masa sulit seperti sakit kemarin.
Tangan Airin mengusap pelan foto itu. Dia memasukkannya ke dalam tas untuk dibawa pergi.
Tok...
Tok...
Tok...
Airin berjalan membukakan pintu. Dia melihat senyum diwajah Leo yang sumringah.
"Ada apa kek?"
"Kakek mau memberikan ini."
Leo menyodorkan dua buku tabungan dan kartu ATM untuknya.
"Tidak usah kek, saya masih ada tabungan pemberian kakek."
"Jangan begitu, kamu akan lama disana. Pasti membutuhkan biaya hidup yang besar."
Airin menghela napas pelan, "Kakek, saya disana untuk belajar. Bukan untuk belanja besar."
"Jangan membantah, kamu terima saja. Kakek tidak ingin ditolak ataupun dibantah."
Airin menunduk takut, karena wajah Leo sudah berubah menjadi serius.
"Baiklah kek."
Airin menerima tabungan itu dengan pasrah. Mungkin dia akan menyimpannya dan tidak akan menghabiskannya.
Karena ini adalah bentuk perhatian Leo kepada dirinya. Sehingga dia akan menjaga pemberiannya ini dengan baik.
"Terima kasih kek." Sambungnya.
Leo mengangguk, "Kamu akan berangkat diantar Assandi kan?"
Airin menatap bingung, dia tidak ada pikiran sama sekali untuk pergi diantar suaminya itu.
Bahkan sekarang dia tidak tahu dimana keberadaan Assandi.
"Airin berangkat sendiri saja kek, tidak enak mengganggu Mas Sandi terus."
"Heh, dia kan suami kamu. Wajar saja kalau kamu merepotkan dia."
Airin tersenyum kecut, nyatanya suaminya itu tidak kelihatan batang hidungnya dari tadi.
"Biar kakek telepon dia."
"Jangan kek, tidak usah."
"Kenapa sih kamu?"
"Kek, tolong turuti saya. Jangan menganggu Mas Sandi. Saya bisa berangkat sendiri. Kakek jangan terus memaksanya seperti ini." Tegas Airin.
Karena dia tidak ingin kakeknya semakin membebani Assandi hanya karena dirinya.
Airin ingin pergi dengan perasaan tenang dan nyaman. Agar dia bisa melakukan aktivitasnya disana dengan baik.
"Baiklah, kakek akan menurutimu kali ini."
Airin tersenyum senang, "Terima kasih kek."
Dia memeluk erat tubuh kakeknya. Mungkin ini akan menjadi kenangan untuknya sebelum berangkat ke negara orang.
"Kalau begitu saya pamit dulu kek. Jaga kondisi kakek disini ya, jangan terlalu kecapean."
"Iya, kakek akan mengingatnya."
Leo tersenyum senang bisa memiliki cucu perempuan seperti Airin yang sangat perhatian kepadanya.
Sedangkan cucu perempuan kandungnya tidak pernah sekalipun memperhatikan dirinya.
Jika bertemu pasti akan selalu menodong dengan meminta uang yang beralasan untuk keperluan sekolah.
Padahal Leo bisa mengetahui jika uang yang selama ini dia berikan hanya untuk shoping dan ke salon bersama teman-temannya.
"Sudah kamu berangkat sana, hati-hati dijalan. Jangan lupa kabari kakek jika sudah sampai di karantina."
Airin mengangguk mantap, dia menarik kopernya keluar rumah. Disana sudah ada taksi online pesanannya.
Tangannya melambai ke arah Leo sebelum memasuki mobil.
Hatinya terenyuh menatap kakeknya memasang wajah sedih melihat kepergiannya.
Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah keputusan yang bulat baginya. Karena dia juga bisa melupakan Assandi secara perlahan.
Kini taksi yang dia naiki sudah berjalan meninggalkan halaman rumah Leo.
Airin menatap sedih pagar rumah mewah itu. Tangannya menyentuh cincin pernikahannya dengan Assandi.
Air matanya terjun bebas ketika melihat cincin itu. Hatinya terasa tertusuk benda tajam jika mengingat pengakuan dari Assandi kemarin.
Terima kasih mas, sudah mau menjadi suami sah ku selama tiga tahun ini. Cincin ini akan tetap aku simpan sebagai kenangan kita. - Batinnya.
Tanpa dia sadari, di belakang ada sebuah mobil yang mengikutinya diam-diam. Mobil itu adalah milik Assandi.
Dia mengikuti Airin dari belakang untuk memastikan. Apakah benar perempuan itu akan pergi jauh meninggalkannya.
"Kenapa dia serius akan pergi? Kenapa tidak bertahan saja?" Gumamnya sambil meremas kemudi mobilnya.
Assandi merasa bersalah telah berbicara seperti kemarin. Dia bahkan tidak sengaja mengucapkan pengakuan itu.
Karena sebenarnya dia ingin menguji Airin bisa bertahan bersamanya atau tidak.
"Hissshh, sialan. Kenapa aku harus berbicara begitu sih kemarin." Gumamnya lagi.
Kali ini dia memukul setirnya berulang kali. Dia merasa kecewa dengan mulutnya yang jahat.
"Aku harus bagaimana ini?"
Assandi melajukan mobilnya semakin cepat. Karena taksi yang ditumpangi oleh Airin melaju dengan kecepatan tinggi.
Sebab jalanan sore ini terlihat lenggang karena awan hitam sudah menyelimuti langit.
Sekarang mereka sudah memasuki area parkir bandara internasional.
Assandi mengeryit bingung karena dia melihat taksi yang ditumpangi Airin berbelok memasuki kawasan bandara.
"Loh, bukannya kata dia ke karantina dulu ya."
Assandi dengan cepat melepaskan sabuk pengamannya. Dia meraih ponsel dan dompetnya untuk mengikuti Airin.
Perempuan itu sudah memasuki bandara dengan menarik kopernya.
Disana Airin menunjukkan tiket yang sudah dia pesan secara online. Setelah itu petugas mengarahkannya untuk segera memasuki pesawat.
Karena jam penerbangannya akan segera berangkat tiga puluh menit lagi.
Airin bergegas cepat menuju ke jalur utama pintu masuk pesawat.
Dia tidak menyadari jika Assandi kebingungan mencari dirinya di area tunggu.
Laki-laki itu tidak tahu jika penerbangan Airin sebentar lagi akan berangkat.
Assandi menoleh kesana kemari seperti orang bingung. Petugas security yang melihat menghampirinya.
"Maaf pak, ada yang bisa kami bantu?"
Assandi menoleh menatap salah satu petugas security itu.
"Saya mencari istri saya pak."
"Istri bapak ciri-cirinya seperti apa?"
"Dia tingginya sebahu saya, wajahnya cantik dan putih. Rambutnya sepinggang berwarna hitam kecoklatan."
"Bagaimana bapak bisa terpisah? Apakah sudah mencoba menghubunginya melalui ponsel?"
Assandi seketika diam, dia baru sadar jika bisa menghubungi Airin dengan ponselnya.
Tapi, rasa gengsi yang sangat besar di dalam dirinya. Membuat dia tidak bisa melakukannya terlebih dahulu.
Karena dia tidak mau Airin menganggapnya plin plan dengan ucapannya.
"Bagaimana pak? Apakah sudah mencoba menghubunginya?"
"Ah iya, akan saya coba dulu."
Petugas security itu menatap Assandi bingung. Kemudian dia mengangguk mempersilahkan Assandi untuk menghubungi istrinya.
Tut...
Tut...
Tut...
Tidak ada jawaban dari Airin. Assandi mencobanya sekali lagi.
Drrrt...
Drrttt...
Airin merogoh saku jaketnya setelah merasakan getaran dari ponselnya.
Dia bisa melihat nama Assandi tertera di layar ponselnya.
"Mas Sandi." Gumamnya.
Dia ingin mengangkat panggilan itu, tetapi pramugari sudah memberi peringatan agar semua barang elektronik yang mereka bawa harap dimatikan.
Karena pesawat yang dia tumpangi akan segera berangkat dalam lima menit.
Airin mengurungkan niatnya untuk menjawab panggilan dari Assandi. Dia kemudian mematikan ponselnya begitu saja.
Sedangkan Assandi masih berusaha menghubunginya berulangkali.
"Ayo Rin angkat."
Tangannya masih sibuk memencet ponselnya.
"Kenapa malah mati ya ponselnya."
Assandi sudah menghubunginya hingga dua puluh kali. Tetapi tidak ada jawaban dari istrinya.
"Bagaimana pak?" Tanya petugas security itu.
Assandi menggeleng lemah, "Tidak bisa pak, mungkin dia sudah pergi meninggalkan saya."
Assandi berbalik meninggalkan bandara dengan wajah murung. Membuat petugas security itu kebingungan.
"Hahh, mungkin mereka sedang bertengkar." Ucap Petugas security.
Assandi berjalan dengan lemas menuju mobilnya. Dia tidak bisa bertemu dengan Airin untuk terkahir kalinya.
Mungkin ini adalah karma atas perbuatannya yang sudah banyak menyakiti istrinya. Sehingga dia tidak bisa memeluk tubuh perempuan itu sebelum pergi jauh meninggalkannya.
Kisah cinta yang cuek tetapi sebenarnya dia sangat perhatian.
Alurnya juga mudah dipahami, semua kata dan kalimat di cerita ini ringan untuk dibaca.
Keren pokoknya.
The Best 👍