Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK7
"Kenapa harus Liam, Jess?" suara Max bergetar. Ditatap nya bola mata Jessie yang baru saja mengalihkan pandangannya.
"Karena aku mencintainya," jawab Jessie enggan bertatapan.
Max tertawa pelan, suara tawa yang terdengar seolah mencemooh. "Silahkan, jika kau memang sebegitu cintanya sama pembunuh itu. Aku tak peduli," balas Max. "Tapi, sebelum itu, aku mau menanyakan sesuatu."
Jessie menoleh, "apa?" wajahnya tampak kesal.
"Di malam Anna terbunuh, di mana kau sebenarnya berada?"
Deg!
Pertanyaan Max sukses membuat jantung Jessie berdetak kencang. Jessie hampir mati berdiri. Namun, ia masih sanggup menjaga ekspresi.
"Astaga, Max!" teriak Jessie keras. "Sampai kapan kamu akan menuduh semua orang atas kematian adikmu?! — Sebaiknya kamu pergi ke Psikiater."
Jessie menghentakkan kaki kemudian pergi dari sana, meninggalkan Max dengan tatapan sengitnya, serta Clara dengan tatapan menelisik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
1 bulan kemudian.
Liam duduk di ruang tamu rumahnya yang mewah. Jessie sedang sibuk di dapur, menyiapkan makan malam. Dari luar, mereka tampak seperti pasangan yang sempurna. Tapi, di belakang layar, mereka kerap kali bertengkar. Jessie seringkali terbakar api cemburu dan berujung memicu pertengkaran sengit. Malam ini, ia tengah berusaha menghangatkan hubungan nya kembali.
“Sayang, kamu mau minum apa?” tanya Jessie dari dapur.
Liam menjawab tanpa menoleh. “Apa aja. Surprise me.”
Jessie mengangguk, tapi hatinya gelisah. Apalagi, belakangan ini Liam sering pulang larut malam tanpa alasan yang jelas. Dan setiap kali Jessie bertanya, jawabannya selalu sama: pekerjaan. Tapi Jessie tahu itu bukan alasan sebenarnya. Pikiran buruknya semakin berkelana.
Dia membawa segelas anggur ke ruang tamu dan duduk di sebelah Liam. “Kamu kelihatan capek. Ada masalah di kantor?”
Liam menatapnya sejenak sebelum tersenyum singkat. “Nggak ada apa-apa, Sayang. Cuma banyak kerjaan aja.”
Jessie mencoba tersenyum, tapi hatinya masih gelisah. Dia sangat mencintai Liam, tapi ada sesuatu dalam diri Liam yang membuat ia tak merasa hangat. Ia selalu merasa hanya mencintai seorang diri dan ... seperti ada sisi dari Liam yang tidak pernah ia kenal.
“Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku, kan?” tanya Jessie pelan.
Liam mengangguk. “Tentu saja. Kamu istri aku. Aku nggak akan nyembunyiin apa-apa dari kamu.”
Namun kata-kata itu terdengar hampa di telinga Jessie. Dia ingin percaya, tapi hatinya berkata lain.
Jessie melingkarkan tangannya di leher Liam, bergelayut manja dengan desah napas yang menggoda. Malam yang begitu dingin, sungguh membuat dia ingin mereguk kenikmatan. Namun, sikap Liam membuat tenggorokan nya serasa kering.
Pertengkaran hebat yang terjadi satu minggu lalu ketika Liam berteriak memanggil nama Anna kala sudah mencapai puncak kenikmatan, membuat hubungan mereka menjadi dingin dan hambar.
Sudah satu minggu mereka tak lagi bercinta. Semenjak pertengkaran itu, Liam semakin sulit disentuh. Namun, malam ini, Jessie tak menyerah, tangannya sudah meraba di dalam celana Liam.
"Anna, aku sedang nggak ingin," ujar Liam. Tangannya berusaha mencekal.
"Anna? —Anna? Sampai kapan kamu akan terus-terusan memanggilku Anna, Liam?!" teriak Jessie keras.
Kedua mata Liam terpejam, lagi-lagi ia salah menyebut nama. Liam menghela napas kasar. "Aku minta maaf, Jess."
"Minta maaf? Dengan menghela napas kasar seperti itu? Tidak ada ketulusan dalam permintaan maafmu, Liam!" Jessie kembali berteriak.
"Astaga, Jessie! Jangan berlebihan seperti ini ...," gumam Liam lirih.
"Berlebihan? Marah di saat suami salah memanggil istri dengan nama mantan, kamu sebut berlebihan? Kamu keterlaluan, Liam!" Jessie mengusap kasar luruh air matanya. "Apa karena Anna pernah menghasilkan anak untukmu? Sampai-sampai terlalu sulit bagi kamu untuk melupakan wanita itu? Iya?!"
"Sudahlah, Jessie, jangan mulai lagi! Kamu sendiri yang sering membanding-bandingkan dirimu dengan Anna ...!" Liam mengusap kasar wajahnya kemudian berdiri.
"Kamu mau ke mana? Kita belum selesai bicara, Liam!" Jessie mengekor di belakang sang suami.
Dugh!
Kening Jessie menabrak punggung Liam ketika pria itu mendadak berhenti melangkah.
"Bicara? Bukankah kita lebih terlihat seperti berperang ketimbang berbicara?"
Setelah berkata demikian, Liam kembali melangkah. Menyambar kunci mobilnya di atas nakas dan keluar dari rumahnya.
"Liam—Liam ...!" teriak Jessie murka.
---
Sudah hampir pukul 10 malam, tetapi, Liam belum juga kembali. Jessie duduk sendirian di kamar sembari menggigit ujung kuku.
"Ke mana kamu Liam?!" gumamnya kesal.
Jessie beranjak dari ranjang, berdiri di samping tirai ketika mendengar deru mobil yang dikiranya Liam. Namun, begitu mengintip, lagi-lagi ia menggerutu.
"Nggak—nggak bisa begini, aku harus cari dia!"
Dengan busana tidur setipis tissue di bagi dua, Jennie menyambar kunci mobilnya dan melangkah keluar rumah.
Ia bergegas menuju kendaraan roda empat hitam metalik favoritnya. Mobil pun melaju kencang, membelah gelapnya malam.
Hampir satu jam Jessie mengelilingi kota, sampai akhirnya, ia berhenti di depan sebuah bar kecil di sudut kota. Ketika menjelajah ke dalam ruangan, Jessie terpaku. Liam berada di sana, tengah menenggak minuman keras.
Kedua tangan Jessie mengepal erat, rahangnya mengetat, amarahnya berkobar. Bukan karena suaminya tengah mabuk-mabukan di luar. Melainkan, sejarah bar itu. Bar yang menjadi tempat tongkrongan Liam dan Anna ketika sebelum melepaskan rindu.
Jessie berbalik badan, kembali masuk ke dalam mobil dengan ekspresi wajah mengerikan. Wajah yang seolah berkata ia sanggup menghabisi siapapun.
"Anna, bahkan setelah mati pun, kau tetap menjadi penghalang."
---
DRAP!
DRAP!
DRAP!
HAH! HAH! HAH!
Dengan napas tersengal, seseorang berlari menyusuri gelapnya malam. Sosok yang terlihat kacau itu berbalik badan, memastikan dirinya sudah benar-benar aman.
Kelopak matanya tampak memar, sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Ia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, menghela napas lega saat merasa sedikit aman. Sosok bertopeng yang mengejarnya, tak lagi menampakkan diri.
"A—ku selamat!" Ia kembali berbalik badan, hendak melanjutkan langkahnya. Namun, tubuh itu mematung ditempat, sosok bertopeng itu berdiri tepat di hadapannya. Jantungnya berpacu cepat.
Ketika kesadarannya kembali menguasai, ia berbalik badan, ingin lekas berlari dan menyelamatkan diri. Namun, sosok bertopeng itu jauh lebih cepat. Dan dalam sekejap mata ....
SLASHHH!
Punggungnya robek dan mengeluarkan darah ....
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅