Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 14
“Coba lihat, apa ini sudah benar?” Alena menyodorkan hasil kerjaannya pada Arjuna, meminta lelaki itu meneliti setiap detail hasil pekerjaan rumahnya.
Sudah hampir dua jam mereka hanya belajar dan berlatih soal, tak ada percakapan diantara keduanya. Bukan tanpa alasan hal ini terjadi, apalagi Alena yang seharusnya menjadi pihak paling bahagia karena kehadiran Arjuna. Tapi gadis itu tak bisa berbuat banyak, sang ayah memantau mereka dari jauh.
Sementara itu Arjuna panas dingin mendapat tatapan menyeramkan dari ayah gadis itu, ditambah ia yang mulai lelah memikirkan ide mengambil flashdisk yang kini telah Alena masukkan kembali dalam kotak pensil.
'Arjun, maaf ya ayahku terlalu over protective urusan akademik putrinya.'
Tulis Alena di sebuah kertas, Arjuna tak membalas tulisan ini, ia hanya mengangguk samar. Kembali fokus pada soal-soal matematika di buku Alena sembari terus memutar otak menggali ide untuk merampungkan tugasnya.
Dering ponsel membuyarkan konsentrasi keduanya, disusul suara percakapan ayah Alena dengan seseorang di ponsel genggam lelaki itu, beliau berlalu pergi sepertinya berbincang dengan rekan bisnis penting hingga nada bicaranya berubah lembut dan sopan. Arjuna bagai burung terbebas dari sangkar, kepergian ayah temannya itu membuatnya dapat bernafas lega.
Namun, itu tak lama karena ketegangan kembali tercipta dalam ruangan mewah itu. Kali ini atmosfer gelap dan sesak itu berasal dari mama tiri Alena, wanita cantik bergincu merah menyala itu datang mendekat dengan pongahnya, kepala sedikit mendongak menampilkan leher yang jenjang, berhias kalung liontin permata.
Tangan memegang kipas lipat bergaya cina dengan perpaduan warna merah dan hitam, gaun yang dipakainya sore ini terlihat simpel tapi mewah, serta sepatu wanita hak tinggi yang mengeluarkan bunyi khas begitu beliau datang.
“Alena, kamu tak lupa tugasmu kan?”
Alena menggeleng dan wanita itu menyeringai senang. Melirik Arjuna yang buru-buru menunduk, lelaki itu semakin tak betah saja berharap bisa segera menyelesaikan semua tugasnya dan pergi dari rumah mewah tapi aneh itu.
“Arjun, aku tinggal sebentar ya,” pamit Alena sebelum benar-benar pergi, gadis itu tak menoleh lagi, berjalan cepat masuk ke dalam kamar, diikuti ibu tiri di belakangnya.
Arjuna merasa ada yang aneh, ia mendengar suara pukulan dari arah kamar Alena. Meski khawatir Arjuna tak mau ambil pusing, ia menggunakan kesempatan ini untuk meraih flashdisk di kotak pensil Alena, menyambungkannya ke ponsel lewat OTG. Arjuna mencari-cari file video milik Hana.
Tapi ia kesulitan menemukan file tersebut sebab dalam flashdisk terdapat banyak file tanpa nama. Ia tak mungkin membuka satu persatu file itu karena pasti akan memakan waktu lama, jika membawanya pulang maka Alena akan segera mengetahuinya, Arjuna menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Haruskah kuhapus semua? bagaimana kalau nanti ada yang penting?” gumamnya.
Suara pukulan belum juga berhenti, entah itu pukulan atau apa, yang jelas suara tawa ibu tiri Alena menggema di ruangan. Arjuna merasa keluarga Alena tidak normal seperti keluarga lain, ia mulai menebak-nebak kemungkinan apa yang menimpa kehidupan gadis itu, sembari tangan terus bekerja dan mata melirik kanan kiri memastikan tak ada seseorang yang datang mendekatinya.
Arjuna melihat seorang wanita paruh baya berpakaian seragam pelayan muncul dari tangga lantai dasar, di tangan wanita itu ada nampan berisi buah-buahan segar, Arjuna akui keluarga ini tak pelit urusan menjamu tamu, tapi kejanggalan yang terjadi membuatnya tak betah. Arjuna memutuskan segera menyelesaikan tugasnya, melepas flashdisk dan mengembalikannya lagi ke tempat semula.
“Ini buahnya Tuan, silahkan dinikmati,” kata pelayan itu begitu meletakkan sepiring penuh apel, anggur dan jeruk.
“Ah, itu Bi… apa Alena masih lama ya? saya mau pulang saja, karena ini sudah terlalu sore.”
Pelayan itu tampak gelisah, sesekali melirik ke arah kamar nonanya dan kembali menatap Arjuna.
“Ya sudah kalau Bibi nggak bisa jawab, kalau gitu titip salam saja ya Bi sama Alena, bilang saya pulang dulu.”
“Ta-tapi Tuan, nanti non Al bisa marah sama Bibi,” katanya.
“Bilang saja saya terburu-buru, tolong ya Bi. Kalau gitu saya pergi dulu, assalamualaikum.” Arjuna bergegas menuruni tiap anak tangga menuju pintu utama, sebisa mungkin ia menghindari ayah Alena yang masih berbincang lewat ponsel.
Sementara itu di tempat berbeda, Fisa dan Nuria tengah bersantai di kamar Hana. Tiga gadis itu berbincang hangat setelah sebelumnya belajar bersama, tak butuh waktu lama bagi ketiganya untuk menjadi akrab, dan kini mereka asyik membahas produk-produk kecantikan apa yang sedang viral saat ini.
“Tapi jujur nih Fis, kamu jadi makin cantik sekarang, ya kan Kak?” Nuria mengajukan pertanyaan pada Hana, gadis pucat itu tersenyum mengiyakan. Fisa tampak malu-malu, ia memang bahagia bisa memiliki teman dan berkesempatan menginap di rumah temannya, tapi setiap kali teringat tanda kematian Hana rasanya ingin menangis saja.
“Hana, kenapa kita baru kenal sekarang ya? kenapa nggak dari dulu, ternyata kamu orangnya baik dan asyik,” sesal Fisa.
“Dulu sekarang itu sama saja Fisa, yang terpenting saat ini dan seterusnya kalian adalah sahabatku,” jawab Hana tersenyum sumringah. Hati Fisa hancur mendengar kalimat ini, sementara saat ia melirik cermin kaca di kamar Hana terpampang jelas tanda kematian gadis itu hampir menyentuh pusar.
Nuria mengajak kedua temannya berpelukan, lantas melakukan swafoto bersama sebagai kenang-kenangan. Diam-diam Fisa melirik ponselnya, belum ada tanda-tanda Pandu menghubunginya. bahkan Arjuna pun tak ada kabar, membuatnya resah sejak tadi.
Nuria menyadari kegelisahan temannya itu, ia berinisiatif mengirimkan pesan pada Haikal, tapi lelaki itu juga tak kunjung menjawab. Tak ingin Hana mencurigai sikap aneh Fisa, Nuria mencairkan suasana dengan pertanyaan-pertanyaan ringan dan cerita-cerita lucu yang dimilikinya, hal itu berhasil membuat Hana tertawa.
“Sebentar ya, aku terima telepon dulu,” kata Fisa beranjak keluar kamar. Hana dan Nuria mengangguk setuju, membiarkan gadis itu pergi.
Fisa melirik ponsel, panggilan dari Arjuna membuat ponselnya terus bergetar. Beruntung orang tua Hana sibuk bekerja, sehingga di rumah besar kuno itu hanya ada mereka bertiga.
“Hallo, Arjun, bagaimana?”
Hallo Naf, alhamdulillah semua sudah beres aku sudah temukan video itu dan menghapusnya.
Fisa menghela nafas lega, pada akhirnya senjata yang selama ini Alena gunakan mengancam Hana lenyap sudah, ia merasa harus segera memberitahu Hana kabar baik ini.
Naf, gimana kabar Pandu dan Haikal? apa mereka sudah menghubungimu?
“Tidak, maksudku belum Arjun. Aku sudah hubungi mereka tapi tidak ada jawaban dan kirim pesan juga belum dibaca, mungkin masih diperjalanan.”
Baiklah, malam ini nikmati waktu kalian. Jangan berpikir terlalu jauh, hidup mati manusia murni di tangan sang kuasa. Ingat Naf, sholat tepat waktu ya.
“Iya, Arjun. Kalau gitu aku matikan dulu ya sudah isya, biar aku ajak Nuria dan Hana sholat isya berjamaah.”
Pintar, gitu dong.
Fisa tersenyum mendengar pujian ini, ia berpamitan dan mengucap salam sebelum benar-benar mematikan ponselnya. Gadis itu sempat melirik rumah sederhana milik keluarga Hana, sunyi dan senyap meliputi sekitar. Tapi jeritan Nuria mengejutkannya, tiba-tiba saja gadis itu histeris memanggil namanya.
“Fisa! Hana Fis!”
...