Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua belas
Selama ini tiada hari yang terlewati dengan begitu mudah bagi Firda. Seolah kesialan demi kesialan telah terbiasa dan nyaman menimpa hidup seorang Firda Humaira. Hingga dirinya lupa bagaimana rasanya mendapatkan keberuntungan itu.
Pintu kamar terbuka. Pelakunya adalah Firda sendiri. Ia baru usai memakai pakaiannya dan kini telah memutar kenop pintu untuk keluar dari kamar ini.
Ternyata di depan pintu sudah ada Ella sang kepala pelayan yang menunggunya.
"Anda sudah selesai, Nona?" Ella mengajukan tanya dengan maksud hendak memastikan kesiapan sang Nona Muda-nya itu.
Hal itu membuat Firda sontak menghela napas lega. Dirinya tak henti-henti berucap syukur dalam hati. Pasalnya ia sempat merasa gundah karena memikirkan apakah dia bisa menemukan jalan menuju pintu utama untuk keluar dari mansion ini?
Sebab mansion ini terlampau megah dan besar untuk Firda yang terbiasa hidup di rumah sederhana milik paman dan bibinya. Selain itu, dirinya pun selama ini hanya tidur di tempat kumuh yang menyatu dengan gudang. Itu bahkan sama sekali tak layak lagi untuk disebut sederhana.
Inilah yang membuat Firda merasa khawatir dirinya akan tersesat. Namun, beruntunglah kepala pelayan dengan sigap menemaninya.
"Terima kasih, Ella," ujar Firda sambil tersenyum dengan sangat tulus.
Ella diam-diam memperhatikan sang Nona Muda-nya itu. Firda terlihat seperti gadis yang polos dan tidak mengerti sama sekali kejamnya dunia ini.
Sebenarnya fisik Firda tidaklah cantik. Secara fisik dia hanyalah gadis yang biasa saja dan malah terlihat seperti orang penyakitan. Hal itu nampak dari tubuhnya yang lemas dan wajahnya yang pucat.
Namun, Ella sadar bahwa bukan haknya untuk menilai wanita yang dibawa oleh Tuan Abraham ke mansion-nya ini. Mungkin Tuan Abraham sudah merasa sangat bosan dengan wanita-wanita cantik dan seksi yang selama ini selalu berusaha mendekati dan menggodanya. Dan mungkin pula Nona Firda punya sesuatu atau pun kelebihan yang tidak dimiliki oleh gadis-gadis di luaran sana.
Dia adalah gadis yang lugu dan polos. Siapa tahu memang perempuan seperti inilah yang diinginkan oleh Tuan Abraham. Dan mungkin pula Firda memiliki sesuatu yang spesial dalam dirinya, yaitu ketulusan ... yang tidak pernah Tuan Abraham dapati dalam diri wanita-wanita lain. Begitulah Ella berpikir dalam benaknya.
Ella pun lantas membalas senyuman ramah Firda. "Dengan senang hati, Nona. Ini sudah menjadi tugas saya. Anda terlalu bermurah hati," katanya sembari membuka lebar tangannya sebagai isyarat untuk mempersilahkan Firda berjalan lebih dulu.
Firda menggigit bibir bawahnya karena mendadak dilanda perasaan cemas. Namun, tak ayal dia tetap menurut dan mengambil langkah lebih dulu. "Tolong ... berjalan di sebelahku, Ella. Aku tidak tahu jalannya," pinta Firda dengan suara pelan dan begitu lirih.
Namun, untungnya Ella meskipun sudah berusia paruh baya tetapi ia masih memiliki indera pendengaran yang sangat baik. Tuan Abraham menunjuknya menjadi kepala pelayan jelas bukan tanpa alasan. Selain karena Ella telah mengabdi sangat lama kepada Abraham, tentu faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah karena Ella punya kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh para pelayan lainnya.
"Baik, Nona," sahutnya dengan cepat, lalu mengambil tempat tepat di sisi sang Nona Muda-nya itu.
Mereka harus menuruni tangga dan berjalan cukup jauh. Kaki Firda telah gemetar hebat karena benar-benar tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Malam bertemu malam lagi, dirinya masih belum menyentuh makanan dan minuman sama sekali.
Pandangan matanya pun kini telah berkunang-kunang. Namun, sekuat tenaga ia berusaha membuat dirinya tetap sadar.
"Ella, apakah aku boleh bertanya sesuatu kepadamu?" imbuh Firda tiba-tiba, berhasil membuat si empunya nama segera menoleh kepadanya. Sebenarnya Firda hendak memanggil Ella dengan panggilan yang lebih sopan karena Ella jauh lebih tua darinya. Bahkan mungkin Ella seumuran dengan ibunya, tapi wanita paruh baya yang menjabat sebagai kepala pelayan di mansion milik Tuan Abraham ini menolak hal itu.
Dia mengaku lebih nyaman dipanggil dengan nama "Ella".
"Tentu saja, Nona. Jika saya tahu, dengan senang hati saya akan berbagi kepada Anda," jawabnya begitu sopan.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di mansion ini, Firda merasa menjalani kehidupan normal. Tak ada lagi intimidasi yang dirinya rasakan. Kecaman, hujatan, kritikan kasar, hinaan, dan kekerasan fisik serta mental yang telah terlampau biasa dirinya alami dalam hidup yang seolah telah mengikatnya begitu erat, kini semua itu hilang entah ke mana.
Di sini ... di tempat yang begitu asing bagi Firda, dia justru mendapatkan perlakuan yang sangat baik. Padahal mereka bukanlah keluarganya. Semua penghuni mansion ini tidak memiliki hubungan darah apa pun dengannya.
Yang Firda tahu, bukankah seharusnya keluarga adalah tempat berpulang yang lebih nyaman dan mampu memberikan rasa aman? Namun, dirinya malah tak mendapati itu dari satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Maaf jika pertanyaanku terdengar lancang, Ella. Tapi ... di mana orang tua Tuan Abraham dan keluarganya yang lain? Aku belum melihat mereka sama sekali semenjak menginjakkan kaki di mansion ini," ucap Firda. Setelah selesai mengatakan itu, rasa gugup yang menguasai dirinya mendadak langsung meningkat pesat.
Buru-buru ia memberi klarifikasi, "K-Kalau pertanyaanku nggak pantas, ya sudah nggak perlu dijawab."
Firda menelan ludahnya susah payah. Keringat membasahi telapak tangannya. Sangat takut dan gugup jika pertanyaan yang dia ajukan salah atau justru dilarang keras untuk ditanyakan di mansion ini. Sebab selama ini paman dan bibinya mendidiknya untuk menjadi anak yang penurut, patuh, dan tidak banyak tanya.
Sepanjang usianya, kata-katanya tidak pernah didengar sama sekali. Yang ada ia justru dianggap berisik. Itulah yang membuat Firda tumbuh menjadi gadis yang penakut, pengecut, penurut, tidak punya pendirian, tidak berani maju dan belajar karena takut akan risiko, dan tidak memiliki setitik pun jiwa kritis.
Semua ini menjadi masuk akal karena selama ini Firda memang bertumbuh dalam asuhan yang kejam. Ia dipaksa patuh dan tidak diizinkan sama sekali untuk memberikan argumen bantahan. Karena jika tidak ... tali pinggang, alat-alat penggorengan, dan benda keras lainnya akan dihantamkan ke tubuh ringkihnya.
"Anda berhak bertanya apa pun, Nona." Kecemasan yang sempat menghantui Firda segera runtuh kala telinganya mendengar perkataan Ella barusan. "Orang tua dan saudara Tuan Abraham tidak tinggal di mansion ini. Mereka tinggal di tempat yang berbeda, jauh lebih besar dan megah karena di sanalah kediaman keluarga Handoko yang sebenarnya. Mansion ini milik Tuan Abraham pribadi."
Perkataan Ella semakin membuat Firda merasa rendah diri. Kini dia hanya bisa menatap jari jemarinya yang begitu kecil, membayangkan seberapa besar pengaruh dan kuasa pria yang kini telah membelinya. Semakin meyakinkan Firda bahwa setelah ini dirinya mungkin akan terikat selamanya dalam genggaman pria itu.