Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Masih Pov Gavin
Hari-hari berlalu, dan semakin sering Gavin bekerja dengan Dasha, semakin sulit baginya untuk menutupi perasaannya. Setiap kali Dasha berbicara dalam rapat, meskipun ada ketidaksempurnaan dalam gagasannya, Gavin selalu menemukan dirinya mengagumi keberanian Dasha. Gadis itu tidak pernah berhenti mencoba, bahkan ketika anggota tim lain meremehkan pendapatnya.
Di balik meja kerjanya, Gavin sering memikirkan dirinya sendiri di masa lalu seorang pria muda yang ragu untuk mendekati seorang gadis sederhana yang ia kagumi dari jauh. Kini, situasinya bahkan lebih rumit. Ia bukan lagi mahasiswa biasa, dan Dasha bukan lagi mahasiswi pemalu yang duduk di sudut perpustakaan. Ia adalah atasannya, seseorang yang memiliki kuasa atas karir Dasha.
Namun, semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin ia terseret dalam perasaan yang sama.
Ada momen kecil yang terus melekat di benaknya seperti ketika ia memergoki Dasha tertawa kecil di pantry, bercanda dengan rekan-rekannya. Suara tawa itu seperti gema dari masa lalu, mengingatkannya pada sore-sore di kampus ketika ia melihat Dasha berbicara dengan teman-temannya, selalu membawa suasana ceria di sekitarnya.
Atau ketika Dasha dengan sabar menghadapi Nathan, menghibur putranya dengan cara yang begitu alami, seolah ia memang dilahirkan untuk menyayangi. Saat itu, Gavin merasa hatinya benar-benar runtuh. Ia tidak pernah membayangkan ada orang yang bisa memahami dan mendekati Nathan secepat itu.
Ia ingat percakapan singkat dengan Nathan malam itu di rumah.
"Ayah, Kak Dasha itu baik banget. Kenapa Kak Dasha enggak main ke rumah kita lagi?"
Gavin hanya tersenyum kecil, mengacak rambut putranya. "Kak Dasha sibuk kerja, Nak."
"Tapi aku suka Kak Dasha. Dia lucu. Ayah suka Kak Dasha juga, kan?"
Pertanyaan polos itu membuat Gavin terdiam sejenak. Anak kecil memang tidak tahu cara menyembunyikan perasaan mereka, berbeda dengan orang dewasa.
Namun, meskipun ia tahu perasaannya tidak bisa disangkal lagi, Gavin tetap dihantui oleh keraguan. Apa yang akan Dasha pikirkan jika ia tahu? Akankah ia menganggap Gavin hanya memanfaatkan posisinya? Bagaimana jika Dasha merasa tidak nyaman?
Keraguan itu semakin besar ketika bisikan-bisikan mulai terdengar di kantor. Beberapa rekan kerja mulai mempertanyakan kenapa Gavin begitu sering memuji ide-ide Dasha, bahkan ketika orang lain meremehkannya. Ada komentar sinis yang ia dengar secara tidak langsung, dan Gavin tahu Dasha juga mendengarnya.
Tetapi Gavin tidak peduli. Ia tidak akan membiarkan komentar orang lain memengaruhi cara ia memperlakukan Dasha. Baginya, Dasha pantas mendapatkan dukungan, bahkan jika itu berarti Gavin harus menghadapi pandangan skeptis dari orang-orang di sekitarnya.
Suatu malam, ketika kantor sudah sepi, Gavin masih berada di ruangannya, menyelesaikan laporan. Ia mendengar langkah kaki ringan mendekat, dan ketika ia mengangkat wajahnya, Dasha berdiri di pintu.
"Pak Gavin, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih," kata Dasha, suaranya terdengar tulus.
"Terima kasih untuk apa?" Gavin bertanya, meskipun ia sudah tahu apa yang dimaksud Dasha.
"Untuk selalu mendukung saya, bahkan ketika orang lain tidak melakukannya."
Gavin tersenyum kecil, merasa hangat mendengar kata-kata itu. "Dasha, kamu tidak perlu berterima kasih. Kamu pantas mendapatkan itu. Saya hanya membantu menunjukkan apa yang sudah ada dalam dirimu."
Malam itu, saat Dasha meninggalkan ruangan, Gavin merasa ada sesuatu yang berubah. Ia tidak tahu kapan atau bagaimana, tetapi ia tahu satu hal dengan pasti ia tidak bisa lagi menutupi perasaannya.
Jika ia tidak melakukan sesuatu, ia akan kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan selama bertahun-tahun. Bukan hanya sebagai Gavin sang CEO, tetapi juga sebagai Gavin yang pernah duduk di perpustakaan itu, memperhatikan gadis yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Pov End
.
.
.
.
.
Pagi itu, kantor Gavin tampak lebih sibuk dari biasanya. Semua orang hilir mudik mempersiapkan presentasi besar yang akan dihadiri oleh para investor. Di ruang kerjanya, Gavin sibuk memeriksa dokumen penting, sementara Dasha duduk di meja kecil di sudut ruangan, mengetik dengan cepat di laptopnya.
"Sudah selesai revisinya Dasha?" tanya Gavin tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitornya.
"Sudah hampir Pak" jawab Dasha, suaranya terdengar tenang meskipun tangannya bergerak cepat.
Mereka bekerja dalam diam selama beberapa menit, hanya terdengar suara ketikan dan lembaran kertas yang dibalik. Sesekali Gavin melirik ke arah Dasha, memperhatikan betapa seriusnya gadis itu. Rambutnya yang diikat rapi tampak sedikit berantakan karena sibuk seharian, tapi ia tetap terlihat mempesona dalam kesederhanaannya.
"Jangan terlalu tegang," kata Gavin tiba-tiba, membuat Dasha menoleh.
Dasha tersenyum tipis. "Saya baik-baik saja, Pak. Tapi ini cukup menantang."
Gavin berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati meja Dasha. Ia melihat layar laptop gadis itu, memastikan revisinya sesuai dengan instruksi. "Bagus. Tapi coba tambahkan sedikit data ini di sini," katanya sambil menunjuk bagian tertentu.
Dasha mengangguk dan mencatat instruksinya. "Terima kasih, Pak. Saya akan segera menyelesaikannya."
Namun, sebelum Gavin kembali ke mejanya, Dasha tiba-tiba bertanya, "Pak Gavin, Anda tidak lelah? Sejak pagi Anda hampir tidak berhenti bekerja."
Gavin tersenyum kecil. "Lelah itu bagian dari pekerjaan, Dasha. Tapi saya tahu ada tim yang bisa diandalkan, jadi itu cukup meringankan."
Dasha merasa pipinya memanas mendengar pujian itu, meskipun Gavin mengatakannya dengan nada yang datar.
Saat makan siang tiba, Dasha masih sibuk dengan tugasnya. Ia terlalu fokus sampai tidak sadar Gavin sudah berdiri di sebelahnya.
"Kenapa tidak makan siang?" tanya Gavin.
Dasha terkejut, menatap Gavin dengan bingung. "Oh, saya hampir selesai. Nanti saja, Pak."
Gavin menggelengkan kepala. "Kamu tidak bisa bekerja dengan baik kalau tidak makan. Ayo, ikut saya."
Sebelum Dasha bisa menolak, Gavin sudah berjalan menuju pintu. Dengan sedikit ragu, Dasha mengikuti langkahnya.
Mereka pergi ke pantry kantor yang sudah sepi karena sebagian besar karyawan makan di luar. Gavin membuka kotak makanannya yang sederhana hanya sandwich dan buah lalu menawarkannya pada Dasha.
"Makanlah. Saya tidak bisa membiarkan anggota tim saya kelaparan."
"Tapi ini makanan Bapak," protes Dasha, merasa tidak enak.
"Saya bisa memesan yang lain nanti," jawab Gavin singkat. "Sekarang, makan saja."
Dasha akhirnya menyerah dan mengambil sandwich itu, merasa sedikit canggung. "Terima kasih, Pak."
Gavin hanya mengangguk sambil membuka botol air mineral. Mereka makan dalam diam, tetapi suasananya terasa santai.
Kembali ke ruangan, suasana mulai lebih tenang setelah mereka menyelesaikan sebagian besar tugas. Namun, mendekati sore, masalah tiba-tiba muncul. Presentasi yang sudah disiapkan Dasha ternyata mengalami error saat dibuka di komputer ruang rapat.
"Astaga, file nya corrupt," kata Dasha panik, mencoba membuka file cadangan.
Gavin segera berdiri dari kursinya dan menghampiri Dasha. "Tenang. Kita punya waktu lima belas menit sebelum investor datang. Apa kamu punya versi lain?"
Dasha menggeleng. "Hanya ini, Pak. Tapi saya bisa mencoba memperbaikinya."
Melihat ketegangan di wajah Dasha, Gavin meraih laptop itu dan duduk di kursinya. "Biarkan saya coba."
Dasha berdiri di belakangnya, merasa bersalah karena kesalahan itu terjadi di bawah tanggung jawabnya. Tetapi Gavin tetap tenang, jarinya bergerak cepat di keyboard. Dalam lima menit, ia berhasil membuka file cadangan dengan perangkat lunak khusus.
"Sudah selesai," katanya sambil menyerahkan laptop itu kembali ke Dasha. "Tapi lain kali, pastikan kamu menyimpan file di beberapa tempat berbeda."
Dasha mengangguk dengan lega. "Terima kasih, Pak. Saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana kalau tadi file-nya tidak bisa diperbaiki."
"Tenang saja. Kamu melakukan pekerjaan yang bagus, Dasha. Hal-hal seperti ini wajar terjadi."
Presentasi berlangsung lancar, berkat persiapan matang yang dilakukan Dasha dan tim. Setelah rapat selesai, Gavin mengumpulkan seluruh tim di ruangannya untuk memberikan apresiasi.
"Kerja keras kalian hari ini luar biasa," katanya, menatap seluruh anggota tim, tetapi pandangannya berhenti sedikit lebih lama pada Dasha. "Saya bangga punya tim seperti kalian."
Dasha merasa sedikit gugup ketika tatapan Gavin bertemu dengannya. Namun, di balik itu, ia merasa dihargai dan didukung oleh atasannya yang selalu tahu cara membuatnya merasa berarti.
Hari itu, meskipun melelahkan, meninggalkan kesan mendalam bagi Gavin dan Dasha dua orang yang perlahan semakin mengenal satu sama lain melalui setiap tantangan yang mereka hadapi bersama.