seorang wanita tangguh, yang dikenal sebagai "Quenn," pemimpin sebuah organisasi mafia besar. Setelah kehilangan orang yang sangat ia cintai akibat pengkhianatan dalam kelompoknya, Quenn bersumpah untuk membalas dendam. Dia meluncurkan serangan tanpa ampun terhadap mereka yang bertanggung jawab, berhadapan dengan dunia kejahatan yang penuh dengan pengkhianatan, konflik antar-geng, dan pertempuran sengit.
Dengan kecerdikan, kekuatan, dan keterampilan tempur yang tak tertandingi, Quenn berusaha menggulingkan musuh-musuhnya satu per satu, sambil mempertanyakan batasan moral dan loyalitas dalam hidupnya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan intrik dan ketegangan, tetapi ia bertekad untuk membawa kehormatan dan keadilan bagi orang yang telah ia hilangkan. Namun, dalam perjalanan tersebut, Quenn harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia yang ia kenal bisa berubah, dan balas dendam terkadang memiliki harga yang lebih mahal dari yang ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Kemenangan yang Terlalu Mahal
Suasana di lapangan itu berubah dalam sekejap, dari kegembiraan atas kemenangan sementara menjadi kecemasan yang tak terelakkan. Ledakan terakhir yang mengakhiri kehidupan Boris hanya memperburuk keadaan. Meski Quenn, Vincent, dan Rina berhasil mengalahkan pasukan Dmitri yang tersisa, mereka tidak bisa menghindari kenyataan pahit bahwa mereka sedang dikepung oleh sisa-sisa pasukan yang lebih besar dan lebih terlatih. Keuntungan mereka sebelumnya kini terbalik. Mereka terjebak dalam jaringan yang semakin rapat.
Quenn berdiri terengah-engah, darah menetes dari luka-luka yang dideritanya. Ia merasa tubuhnya sudah tidak mampu lagi bertahan. Meskipun kemenangan terasa di ujung tangan, rasa sakit dan kehilangan semakin membebani pikirannya. Vincent, yang berada di sampingnya, memeriksa kondisi tubuhnya dengan cemas.
"Quenn, kita harus pergi!" teriaknya. "Kita nggak bisa bertahan lebih lama lagi di sini!"
Namun, saat itu Quenn hanya bisa mengangguk lemah. Ia tahu Vincent benar. Pasukan Dmitri yang tersisa kini datang dengan kekuatan yang jauh lebih besar, lebih terkoordinasi, dan lebih berbahaya daripada yang mereka perkirakan. Rina, yang berada di sisi lain, sudah memasang wajah serius. “Mereka sudah hampir di sini. Ini bukan hanya tentang kita bertahan, tapi kita harus keluar hidup-hidup dari sini.”
Tapi Quenn tahu, lebih dari sekadar keluar hidup-hidup. Ini adalah soal melawan takdir yang sudah melawan mereka.
---
Dari sudut lapangan, suara mesin kendaraan semakin mendekat. Kendaraan lapis baja, truk-truk penuh pasukan, dan helikopter berputar-putar di atas mereka. Pasukan Dmitri, meski telah kehilangan pemimpinnya, tetap melanjutkan perburuan.
“Vincent, kita harus kabur sekarang!” teriak Rina, menatap ke arah barisan musuh yang semakin rapat.
Dengan darah yang mengalir dari luka-luka mereka, ketiganya bergerak menuju titik evakuasi yang sudah mereka persiapkan. Namun, baru beberapa langkah, sebuah tembakan keras menggema dan menghantam tanah tepat di depan mereka, membuat tanah bergetar dan menyebabkan mereka terjatuh.
"Ini jebakan!" teriak Quenn. "Gerak cepat!"
Mereka berlari lagi, namun jumlah musuh semakin banyak, dan koordinasi pasukan Dmitri sudah terlalu rapat. Mereka terpojok di sisi lapangan, dan meskipun mereka berusaha melawan, jumlah musuh yang terlalu besar memaksa mereka untuk mundur.
Quenn merasa tubuhnya semakin lemah. Pendarahan dari luka di pundaknya sudah tak bisa dihentikan. Dia mendengar suara tembakan dari belakang dan tubuhnya terasa semakin berat. Setiap gerakan yang dia lakukan seolah menambah rasa sakit yang mendera.
“Quenn, kita harus cepat!” suara Vincent terdengar seperti datang dari kejauhan, dan saat Quenn menoleh, dia melihat Vincent terluka parah, berlumuran darah, berusaha untuk bertahan.
Di sisi lain, Rina terjatuh saat mencoba menutup jarak dengan mereka. Suara teriakan Rina membuat Quenn menoleh, dan dalam sekejap, sebuah peluru melesat ke arah Rina.
“Rina!” teriak Quenn, namun terlalu terlambat. Peluru itu menembus dada Rina, dan tubuhnya terjerembab ke tanah, darah mengalir deras.
Vincent dan Quenn berlari menuju Rina, tetapi semakin banyak musuh yang menghampiri mereka. Quenn memandang Rina dengan mata penuh keteguhan, namun hatinya merasakan kehancuran yang tak terungkapkan. Mereka telah kehilangan terlalu banyak orang untuk sampai sejauh ini.
---
“Vincent, kita harus pergi! Ini bukan pertarungan yang bisa kita menangkan!” suara Quenn terputus, napasnya semakin berat.
Vincent tampak bingung. "Aku tidak bisa meninggalkan Rina begitu saja, Quenn! Dia... dia sahabat kita!"
Quenn menatapnya dengan tatapan tajam. "Kita tidak bisa selamat jika kita tetap di sini, Vincent. Rina sudah pergi, dan sekarang kita harus bertahan. Kalau kita mati di sini, siapa yang akan menghentikan mereka?"
Vincent terdiam sejenak, menatap tubuh Rina yang tergeletak di tanah. Kemudian, dengan terpaksa, ia mengangguk. "Baiklah, kita kabur!"
Mereka berlari dengan terburu-buru, meskipun setiap langkah semakin menyakitkan bagi Quenn. Luka-lukanya begitu parah, dan darah yang keluar semakin banyak. Wajahnya pucat, namun matanya tetap penuh tekad. Mereka tidak bisa menyerah, meskipun segala sesuatu tampaknya berjalan melawan mereka.
Namun, saat mereka mencapai tepi lapangan, pasukan Dmitri sudah mengepung mereka dari semua arah.
---
Quenn dan Vincent mencoba bertahan, menembak dengan kehabisan amunisi. Setiap tembakan terasa semakin lemah, dan mereka tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan panjang mereka. Quenn mengerti bahwa mereka tidak akan bisa melawan seluruh pasukan Dmitri. Mereka dikepung, dan meskipun mereka bertarung dengan segenap kekuatan, mereka takkan mampu melarikan diri.
Dalam detik-detik terakhir, ketika Quenn merasa bahwa tidak ada jalan keluar, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Quenn menoleh dan melihat seseorang yang tak pernah dia duga.
Dmitri. Ia masih hidup.
“Quenn…” suara Dmitri terdengar rendah, dengan senyum sinis di wajahnya yang terluka. “Kau pikir bisa melarikan diri begitu saja?”
Quenn menggertakkan gigi, mencoba untuk mengangkat senjatanya, tetapi tubuhnya terlalu lemah. "Kau... kau akan menyesal jika kau membiarkan kami hidup, Dmitri."
Dmitri hanya tertawa, dan sebelum Quenn sempat bergerak lebih jauh, salah satu anak buah Dmitri menarik tubuh Quenn dari belakang. Tangan Quenn diikat dengan erat, dan dia dipaksa berdiri di hadapan Dmitri yang semakin mendekat.
“Kau sudah kalah, Quenn. Dan sekarang… kau akan menjadi pelajaran bagi semua orang yang berani melawan kami,” kata Dmitri, menatapnya dengan penuh kebencian.
Quenn merasa seluruh tubuhnya lemas, tetapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini belum berakhir. Jika dia mati di sini, maka ini akan menjadi awal dari perang yang lebih besar.
---
Namun, dalam ketegangan yang hampir memuncak, Quenn melihat Vincent yang berhasil meloloskan diri dari cengkeraman pasukan Dmitri. Tanpa ragu, Vincent menerjang ke arah Quenn dan Dmitri, melepaskan tembakan ke udara dan membuat kekacauan.
“Pergi!” teriak Vincent, berlari menuju Quenn dengan peluru yang berserakan di sekitarnya.
Dengan sekuat tenaga, Quenn berlari, meskipun tubuhnya terasa seperti tidak bisa bergerak lebih jauh. Mereka berdua berlari menuju terowongan bawah tanah yang sudah disiapkan sebelumnya—satu-satunya jalan keluar yang tersisa.
Namun, sebelum mereka sempat mencapai pintu keluar, sebuah tembakan melesat dan menghantam kaki Vincent. Ia jatuh dengan terjerembab, teriakannya membelah keheningan.
Quenn berbalik dengan cepat, berusaha untuk membantu Vincent, tetapi dia terlalu terlambat. Pasukan Dmitri sudah mengepung mereka kembali, dan meskipun Quenn berusaha sekuat tenaga, dia tahu bahwa Vincent telah terluka parah.
Dengan air mata yang hampir tak terbendung, Quenn menarik Vincent ke dalam terowongan, berlari meskipun rasa sakit semakin menyiksa. Namun, mereka tahu, pertempuran ini belum berakhir, dan pelarian mereka hanyalah awal dari jalan yang lebih gelap.