Obsesi Sang CEO

Obsesi Sang CEO

Satu

"Paman sudah jual kamu seharga satu miliar kepada pria konglomerat! Jadi, ikut Paman sekarang juga!"

Firda Humaira diseret dengan kasar oleh pamannya masuk ke dalam sebuah gudang yang gelap dan lembab. Cengkeraman kuat di lengannya terasa menyakitkan, seolah membakar kulitnya. Tubuh mungilnya nyaris tak mampu melawan. Air matanya mengalir tanpa henti, matanya yang basah memandang pamannya dengan penuh permohonan.

“Paman, aku… aku nggak mau dijual,” katanya terisak dengan suara parau.

Namun, Bambang tak menggubrisnya. Ia terus menyeret keponakannya itu tanpa belas kasihan, wajahnya menyiratkan keserakahan. “Bisa diam nggak kamu? Jangan bikin masalah!” bentaknya, suara beratnya menggema di antara dinding-dinding beton gudang tua itu.

Ruangan tersebut dipenuhi aroma debu dan besi karat. Cahaya redup dari lampu neon yang berkerlap-kerlip hanya membuat suasana semakin mencekam. Dua pria berbadan kekar berdiri di dekat pintu besar, wajah mereka kaku tanpa ekspresi. Salah satu dari mereka memberi isyarat saat melihat Bambang mendekat.

“Mereka sudah sampai, Tuan,” ucap salah satu pria itu dengan nada formal.

Dari sudut ruangan yang gelap, terdengar suara langkah sepatu yang mantap. Sesosok pria tinggi tegap perlahan muncul ke dalam cahaya. Jas hitam yang dikenakannya begitu rapi, wajahnya dingin tanpa emosi, namun aura kekuasaannya membuat siapa pun merasa kecil. Dialah Abraham Handoko, pria yang dikenal sebagai raja tanpa mahkota di negeri ini.

Bambang langsung menundukkan kepala dengan penuh rasa hormat, tubuhnya sedikit gemetar. “Tuan Abraham, saya telah membawakan gadis yang Anda inginkan,” ujarnya dengan nada penuh ketundukan.

Abraham hanya menatapnya sebentar, kemudian bibirnya yang tipis melengkungkan senyum miring. “Kerja bagus,” ucapnya singkat, namun cukup untuk membuat Bambang tersenyum lebar, seperti anjing yang baru saja menerima pujian.

Seorang pria lain, Arkan—asisten pribadi Abraham—muncul dari belakang. Ia membawa map hitam dan secarik kertas perjanjian. Tanpa basa-basi, ia menyerahkan dokumen itu kepada Bambang.

“Tanda tangani,” perintahnya tegas.

Bambang mengambil pena yang diberikan Arkan. Dengan tergesa-gesa dan tanpa membaca isinya, ia langsung menandatangani dokumen tersebut.

Setelah itu, Arkan menyerahkan pena kepada Firda, namun gadis itu hanya memandangi pena itu dengan pupil mata yang gemetar, air matanya semakin deras.

“Aku eng-nggak mau…” Firda berbisik pelan, suaranya hampir tak terdengar.

“Firda!” bentak Bambang dengan suara dingin, matanya menatap Firda tajam. Tangannya mencengkeram bahu gadis itu dengan kasar, memaksa tubuh mungilnya mendekat. “Sekarang saatnya kamu balas budi padaku! Bertahun-tahun aku kasih kamu makan, kasih tempat tinggal! Kamu pikir itu semua gratis, hah? Tanda tangani, sekarang juga!” suaranya penuh kejahatan, tak memberi ruang untuk penolakan.

Tubuh Firda gemetar hebat, matanya yang basah menatap pamannya dengan nanar. Kalimat itu menancap di hatinya, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.

Sejak kecil, hidup Firda adalah serangkaian kesulitan yang tak pernah berakhir. Kedua orang tuanya meninggal ketika usianya masih sangat kecil, terlalu muda untuk mengenal wajah mereka dengan jelas. Sebagai anak tunggal, ia tidak memiliki siapa pun untuk melindunginya selain Bambang, satu-satunya keluarga yang tersisa. Namun, pria itu tidak pernah menjadi pelindung baginya—justru sebaliknya, ia adalah bayangan gelap yang terus menghantui kehidupan Firda.

Bambang dan istrinya memperlakukan Firda seperti pembantu. Setiap hari, ia dipaksa mengerjakan semua pekerjaan rumah—memasak, mencuci, membersihkan rumah—tanpa ada jeda. Bahkan, ia tidak pernah merasakan kenyamanan sebuah kamar tidur. Firda harus tidur di sebuah gudang pengap di belakang rumah, hanya beralaskan kasur tipis dengan cahaya lampu redup yang nyaris tak mampu mengusir kegelapan.

Namun, itu hanyalah sebagian dari penderitaannya. Kekerasan fisik dan mental adalah hal yang kerap ia alami. Bambang tidak segan-segan memukul atau menampar Firda jika ia merasa tidak puas—entah karena makanannya kurang sesuai selera, atau karena Firda lupa membersihkan sesuatu. Sementara itu, bibinya tak henti-hentinya mencemooh dan merendahkannya. “Dasar beban! Kalau bukan karena belas kasihan kami, kau pasti sudah mati kelaparan di jalanan!” adalah kalimat yang sering keluar dari mulut bibinya, menghancurkan rasa percaya diri Firda sedikit demi sedikit.

Kini, di hadapan sosok pria yang dikenal sebagai Abraham Handoko—konglomerat kejam yang disegani banyak orang—Firda merasa dunianya runtuh. Tangannya yang kecil dan gemetar memegang pena yang diberikan oleh asisten Abraham. Ia tahu bahwa tanda tangan itu akan mengubah segalanya, membawanya ke dalam kegelapan yang lebih dalam dari apa yang pernah ia bayangkan.

Kini dengan napas tersengal, air matanya jatuh tak tertahankan. Pena di tangannya itu bergerak perlahan di atas kertas. Setelah selesai, ia menunduk, tubuhnya lemas seperti kehilangan seluruh energinya.

Arkan mengamankan dokumen tersebut, lalu memberikan sebuah koper hitam kepada Bambang.

Bambang segera membuka koper itu, matanya berbinar melihat tumpukan uang di dalamnya. Senyumnya semakin lebar, dan ia membungkuk berkali-kali. “Terima kasih, Tuan… terima kasih banyak!” ucapnya kesenangan.

Abraham tak menjawab. Hanya dengan satu gerakan tangannya, ia mengusir Bambang pergi. Pria itu segera melangkah menuju pintu keluar dengan koper di tangannya, namun langkahnya terhenti saat Firda tiba-tiba berlari memeluk kakinya.

“Paman, tolong… bawa aku pulang… aku nggak mau di sini…” Firda memohon dengan terisak, memeluk kaki Bambang erat-erat.

Bambang mendengus kesal. Dengan kasar ia melepaskan kakinya dari cengkeraman Firda, hingga gadis itu merangkak ke lantai yang dingin dan lembap. “Kamu itu sudah aku jual ke Tuan Abraham! Jadi, berhenti menyusahkan aku dan ikuti Tuanmu itu!” katanya dengan kasar, tanpa sedikit pun rasa iba.

Firda mengangkat wajahnya, matanya yang basah penuh air mata menatap Bambang dengan putus asa. “Paman, aku janji! Aku akan kerja lebih keras lagi! Aku akan cari uang lebih banyak! Aku akan lakukan apa pun, asalkan aku bisa pulang ke rumah… Paman, aku mohon…” suaranya bergetar, dipenuhi harap, meski ia tahu pengharapannya itu bagai debu yang dihempas angin.

Namun, Bambang hanya tertawa sinis mendengar janji Firda. Ia menundukkan tubuhnya, menatap Firda dengan pandangan yang menghina. “Mau kamu kerja seumur hidup pun kamu nggak akan mampu menghasilkan uang satu miliar bodoh!” katanya, penuh ejekan. “Kamu itu itu nggak berguna sama sekali buatku. Kalau bukan karena aku, kamu mungkin sudah mati di jalanan! Mana ada orang yang mau memungutmu! Jadi, ini waktunya kamu balas budi atas semua kebaikanku selama ini!”

Firda membeku. Tubuhnya lemas seketika, tak lagi memiliki tenaga untuk melawan. Ia hanya bisa menatap punggung pamannya yang berjalan pergi, meninggalkannya. Napasnya terasa sesak, seolah udara di sekitarnya tiba-tiba menghilang. Hatinya hancur berkeping-keping, tenggelam dalam rasa tak berdaya.

Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab: Mengapa? Mengapa aku? Mengapa hidupku harus seperti ini? Namun, tak ada satu pun jawaban yang datang. Yang tersisa hanyalah kehampaan yang menelan dirinya.

Firda terisak di lantai. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ketika ia mencoba berdiri, dua pengawal Abraham segera menariknya.

“Akh! A-aku nggak mau... lepaskan aku! Tolong!” jerit Firda, namun suara itu hanya bergema di dalam gudang yang sepi.

Abraham menatapnya dari jauh, ekspresinya tetap dingin. Hanya dengan satu lirikan matanya, pengawalnya menyeret tubuh Firda keluar dari gudang.

Malam ini, dunia Firda runtuh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!