Sebuah kecelakaan merenggut pengelihatannya. Dia merupakan dokter berbakat yang memiliki kecerdasan tinggi, tampan dan ramah menjadi pemarah.
Beberapa perawat yang dipekerjakan selalu menyerah setiap satu pekan bekerja.
Gistara, gadis yang baru lulus dari akademi keperawatan melamar, dengan gaji tinggi yang ditawarkan dia begitu bersemangat. Hampir menyerah karena tempramen si dokter, namun Gista maju terus pantang mundur.
" Pergi, adanya kamu nggak akan buatku bisa melihat lagi!"
" Haah, ya ya ya terserah saja. Yang penting saya kerja dapet gaji. Jadi terserah Anda mau bilang apa."
Bagaimna sabarnya Gista menghadapi pasien pertamanya ini?
Apakah si dokter akan bisa kembali melihat?
Lalu, sebenarnya teka-teki apa dibalik kecelakaan yang dialami si dokter?
Baca yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dokter dan Perawat 28
" Apa yang baru saja Eida?"
" Yups bener Han. Dia gelagapan pas gue nanya soal Hasim. Kayaknya dia ambil inisiatif sendiri buat menghadap dokter kepala. Lo nggak usah khawatirin itu, gue udah nempatin orang buat selalu ngawasin dia. Aah iya, izin beres tinggal kita susun acaranya."
" Siip thanks Lex."
Han menghembuskan nafas penuh dengan kelegaan. Dua langkah berhasil dijalani. Tinggal ke langkah selanjutnya.
Saat ini Han tengah berada di taman samping rumah bersama Gista. Penglihatannya mulai semakin baik, namun masih buram. Tapi setidaknya di bersyukur karena mendapat keajaiban bisa melihat lagi.
Di dunia medis yang selama ini dimana dia berkecimpung, yang namanya keajaiban itu juga ada meskipun tidak selalu. Dan siapa sangka Han mengalaminya sendiri.
" Jadi rencana Bapak apa? Maksudnya, bapak mau bicara tentang apa pas nanti diadakan acaranya?"
" Pemulihan pasca kecelakaan. Pemulihan psikis, pengelolaan emosi dan juga berdamai dengan diri."
" Ohooo, beneran itu bakalan disampaikan. Emangnya Pak Han beneran udah bisa menguasai semua itu? Belum lama juga berhenti suka marah-marahnya."
Degh!
Ucapan Gista sepenuhnya benar. Dan itu cukup menohok bagi Han. Han ingat betul bagaimana dirinya meluapkan emosinya. Ia ingat betul bagaimana bersikap dingin kepada keluarganya.
" Tapi Pak, itu hal yang wajar kok. Orang pasti akan kaget dengan kondisi yang tiba-tiba itu. Kalau saya yang ngalamin mungkin saya lebih dari Pak Han dalam bersikap. Nah sekarang mari kita susun rencana untuk acara yang akan kita jadikan panggung."
Han tersenyum simpul. Usia Gista sangat jauh lebih muda dari pada dirinya, tapi pemikiran gadis itu sungguh dewasa. Mungkin saja kondisi lingkungan yang membuat Gista menjadi demikian.
Akhirnya Han bersama Gista duduk berdua, mereka membicarakan apa yang akan dilakukan. Acara ini menjadi kemunculan perdana bagi Han setelah kecelakaan. Gista menyarankan agar semuanya dipersiapkan secara maksimal. Terutama kondisi mental Han.
Sejujurnya Gista sedikit khawatir, mengingat bagaimana sikap Han sebelum ini. Apakah tuannya itu mempu menghadapi banyak orang. Memang benar Han dulu pun sering menjadi pembicara, tapi itu sebelum dia mengalami musibah yang merenggut pengelihatannya.
Gista mengetahui semua itu ketika dia membuka laman media sosial milik Han. Dimana pria itu banyak ditandai pada unggahan instansi yang mengundangnya.
" Jadi Bapak cuma mau share tentang kecelakaan yang Pak Han alami, udah gitu aja."
" Hmmm, ya kurang lebih begitu. Ya meskipun sekarang aku nggak bisa lihat tapi pengalaman ku di kedokteran kan masih nempel di memori otak. Aku bukannya amnesia, cuma buta aja."
Yang diucapkan Han memang benar, soal pengalaman dalam menjadi dokter bedah, tentu Han sangat menguasainya. Mereka pun melanjutkan perbincangan itu. Tanpa mereka sadari Hyejin dan Sai yang kebetulan kembali lebih awal dari pekerjaan mereka memerhatikan.
" Apa kamu lihat Mas, Han nyaman banget ngobrolnya? Haaah, aku beneran bersyukur, meskipun belum seutuhnya tapi dia sudah kembali kayak Han yanh dulu."
" Iya sayang, kamu bener. Aku juga ngerasa gitu. Gadis itu membawa pengaruh yang baik. Tapi aku beneran nyesel, sampai sekarang masih belum ada kabar dari Korea soal donor mata itu."
Greb
Hyejin meraih tangan sang suami dan menggenggamnya dengan erat. Dia tahu betul bagaimana suaminya itu berusaha mencari jalan agar Han bisa melihat lagi.
Usaha yang dilakukan Sai bukannya main-main. Bahkan dengan koneksinya, dia juga sampai terbang ke eropa untuk mencari itu. Pun dengan Hyejin. Dia yang dulu pernah tinggal di paris dan mengenal beberapa orang juga bertanya perihal donor mata.
Mereka melakukan banyak cara untuk mengembalikan lagi pengelihatan sang putra. Tanpa mereka ketahui saat ini Han sudah mulai bisa melihat. Meskipun belum jelas tapi Han sudah terlepas dari belenggu kebutaan.
Namun sesuai dengan rencananya, Han tidak akan memberitahu sesiapa dulu tentang pencapaiannya itu. Karena ada hal yang harus dia lakukan.
Waktu begitu cepat bergulir. Matahari yang tadi masih berada diatas kepala kini mulai condong ke arah barat dan hendak menghilang. Sebagian besar belahan bumi yang berada di timur sudah nampak gelap.
Gista pun selesai dengan tugasnya menjadi perawat. Kini dia kembali menuju ke rumah. Senyumnya merekah, hubungan baik dengan tuannya menjadi salah satu alasan.
" Bagus, kalau gini kan gaji aman," gumamnya lirih. Yang dikatakannya tentu benar. Jika ia ingin mempertahankan pendapatannya maka dia harus memiliki hubungan yang baik dengan Haneul. Dan Gista merasa beruntung karena dia masih bisa bertahan menjadi perawat Han.
" Assalamualaikum Ibu!"
Memasuki rumah, Gista mengucapkan salam dengan lantang. Ia menghampiri ibunya yang tengah duduk di sofa sambil menonton televisi.
" Waalaikumsalam, wuiiih kayaknya lagi seneng nih," sahut Danti. Ia sangat paham ekspresi dari putri satu-satunya itu. Bagaimana saat Gista merasa tidak enak hati, dan bagaimana saat dia merasa senang, jelas sekali dalam tampilan wajahnya.
" Iya, alhamdulillah lancar jaya kerjaannya."
" Naah itu buah kesabaran. Kamu lebih paham kan sekarang sama majikanmu?"
Gista mengangguk cepat. Ya dia amat sangat bisa memahami Han.
Tok tok tok
" Gista!"
" Woaah suara Victor tuh."
Gista berjalan cepat menuju ke pintu dan membukakannya untuk sang teman. Sudah lama mereka tidak bersua jadi Gista merasa senang dengan kunjungan Victor tersebut.
" Tumben Vic, masuk dulu. Lo duduk dulu. Gue mau beberes, bentar lagi magrib soalnya."
" Oke, sorry dateng paa mepet magrib. Tapi gue harus nyampein sesuatu ke lo. Kayaknya kalau pake telpon nggak puas aja."
Gista menjadi penasaran, tapi dia benar-benar harus menahan diri. Ia harus menahan penasarannya hingga kewajibannya terselesaikan.
Sekitar 15 menit, Gista sudah selesai melakukan aktivitas sorenya. Mandi dan menjalankan sholat magrib. Ia sekarang sudah duduk di depan Victor sambil membawakan temannya itu secangkir kopi.
Melihat Victor yang masih menyandang tas menandakan bahwa anak itu langsung datang ke sini tanpa pulang terlebih dulu.
" Lagi kapan lo nanya soal Pak Alex kan, tahu nggak Gis ~"
" Nggak, nggak tahu gue. Kan lo belum ngomong apa-apa."
" Kampret lo, jangan dipotong napa. Pak Alex itu masih cucu atau cicitnya dari pemilik rumah sakit. Ya otomatis doi juga bagian dari pemilik rumah sakit. Marganya Dewandaru, itu kalau nggak salah sepupuan sama Dwilaga. Duh pusing gue sama silsilahnya, nah baca dah ini. Disitu komplit." ( sama, othor ge pusing sama silsilahnya hahhaha)
Entah dari mana Victor mendapat pohon keluarga milik pemilik rumah sakit, tapi memang disitu jelas bahkan profesi mereka tercantum disana. Gista semakin menganga saat mengetahui fakta bahwa universitas yang terkenal itu juga bagian dari keluarga itu.
" Buseeet, kaya bener ya Vic. Gilee nih otak mereka kebuat dari apa ya? Kek nya pinter-pinter."
" Nggak tahu, yang jelas otak gue kagak nyampe. Nah kabar kedua adalah hari ini gue dipindahin ke departemen bedah. Dan gue ketemu sama yang namanya Eida, orang yang waktu itu lo ceritain ke gue. Yaps dia emang baik tapi gue ngelihatnya dia tuh freak."
" Freak?"
TBC
Lanjuut