NovelToon NovelToon
Satria Lapangan

Satria Lapangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: renl

Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.

Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 33

Pagi yang Berbeda

Bagas melaju dengan semangat baru di atas motor sport hijau kesayangannya. Jalanan Jakarta pagi itu penuh dengan kendaraan, namun Bagas tidak merasa terganggu. Ia menikmati setiap detik perjalanan, berusaha untuk memfokuskan pikirannya pada hari yang penuh aktivitas di sekolah. Namun, di tengah kesibukan jalanan, ponselnya berdering, menyadarkan dirinya bahwa ada pesan yang masuk.

Tanpa ragu, Bagas meminggirkan motornya ke tepi jalan dan membuka kaca helmnya untuk memeriksa notifikasi tersebut. Nama "April" tertera jelas di layar ponselnya.

Gas, jemput gue di rumah, tulis April dalam pesan singkat.

Bagas hanya tersenyum sambil memutar motornya ke arah yang berlawanan dari rute sekolahnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera membalas pesan itu dengan singkat, Oke Pril. Setelah itu, ia menambah gas motornya, melaju ke rumah April. Bagas tidak pernah menolak permintaan April, sahabat sekaligus teman setim basketnya di Pelita Bangsa. Mereka sudah seperti saudara, saling mendukung satu sama lain.

Beberapa menit kemudian, Bagas sampai di depan rumah April. Ia menurunkan motornya dan melepas helm dengan gerakan cepat. Begitu turun, pandangannya langsung tertuju pada balkon lantai dua, tempat adik April, Cila, sering muncul. Seperti biasa, Cila selalu memperlihatkan sikap dinginnya setiap kali mereka bertemu. Tidak ada yang berbeda hari itu.

“Tumben gak berangkat, Cil?” tanya Bagas dengan nada iseng, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.

Cila hanya diam dan memandang Bagas dengan tatapan sinis. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, hanya pandangan tajam yang menyiratkan ketidaksenangan.

Tak lama, terdengar langkah cepat dari dalam rumah. April keluar dengan cepat, mengenakan jaket sekolah. “Ya udah, Gas. Ayo berangkat,” ujar April dengan santai, berdiri di samping motor Bagas. Dia tersenyum kepada Bagas, meskipun Cila masih memandang mereka dari balkon dengan ekspresi tak tertarik.

“Adik lo, tumben gak sekolah, Pril?” tanya Bagas, masih penasaran dengan sikap Cila yang tampak tidak biasa.

April mengangkat bahunya. "Tau tuh, anak udah gak peduliin dia. Ayo, gas," jawab April sambil melambaikan tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak ingin memperpanjang pembicaraan soal adiknya.

Bagas mengangguk, lalu tanpa ragu menyerahkan helmnya kepada April. “Ni, helm pake,” ujarnya sambil menyerahkan helm dengan senyum kecil.

April tersenyum dan dengan cepat mengenakan helm tersebut. Mereka berdua pun segera menaiki motor dan melaju ke sekolah, meninggalkan rumah April yang sepi, kecuali suara langkah kaki Cila yang perlahan menghilang di dalam rumah.

Selama perjalanan, Bagas dan April tidak banyak berbicara. Namun, kedekatan mereka sudah cukup untuk saling mengerti tanpa kata-kata. Bagas tetap fokus pada jalanan yang padat, sementara April tampak menikmati perjalanan dengan angin pagi yang menerpa wajahnya. Meskipun begitu, di dalam hati Bagas, perasaan tentang Stela masih menggantung.

Namun, hari itu, pertemuan dengan April memberikan sedikit pelipur lara. Setidaknya, untuk saat ini, ia bisa melupakan sejenak tentang kekusutan perasaannya dan fokus pada apa yang ada di depannya—sekolah, teman-teman, dan mungkin, kejutan-kejutan kecil yang datang sepanjang hari.

Pagi itu, Bagas sudah terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja menyinari langit Jakarta dengan sinar lembutnya, namun Bagas sudah berada di teras rumah, memarkirkan motor sport hijau kesayangannya. Suasana pagi yang tenang seketika terasa hidup dengan suara mesin motor yang menghentak, lalu disusul dengan senandung kecil yang terdengar dari arah depan rumah. Ternyata, Bagas sedang mencuci motornya dengan riang, seolah ada semangat baru yang mengisi dirinya.

Papanya yang melihat anaknya sedang sibuk, tak bisa menahan senyum. "Tumben bersenandung pagi-pagi, anak papa ini," ujar sang ayah, tersenyum melihat kelakuan Bagas yang jarang menunjukkan kegembiraan seperti itu.

"Gak apa-apa, Pa. Lagi pingin aja," jawab Bagas dengan senyum kecil, masih menyiram motor dengan sabun yang berbusa.

"Udah sarapan dulu sana, bentar lagi kamu ke sekolah kan?" tanya papa dengan nada lebih serius, memastikan anaknya siap untuk memulai hari.

"Iya, Pa. Bentar lagi," jawab Bagas sambil terus menyiram motor dengan pelan, menikmati sensasi pagi yang cerah.

Setelah selesai membersihkan motor, Bagas pun berjalan masuk ke dalam rumah. Ia langsung menuju kamar untuk bersiap-siap. Pagi itu, ia merasakan ketenangan yang tidak biasa, meski banyak hal yang harus ia hadapi hari ini.

Sekitar 20 menit kemudian, Bagas keluar dari kamarnya dengan penampilan yang rapi. Seragam sekolahnya terlihat sempurna, dan rambutnya pun tertata rapi. Ia menuju meja makan, mengambil sepotong roti dan menuangkan susu hangat yang sudah disiapkan oleh ibunya. Suasana di meja makan begitu hangat pagi itu, dengan kedua orangtuanya sudah duduk siap untuk sarapan.

Sambil menyantap roti, Bagas mencium pipi kiri dan kanan ibunya yang tengah menemani papanya sarapan. "Selamat pagi, Ma, Pa," ujarnya dengan suara pelan, sambil tersenyum.

"Selamat pagi, sayang," balas ibu sambil membalas ciuman di pipi Bagas. Papanya pun tak ketinggalan, memberikan ciuman di pipi anaknya sebagai tanda kasih sayang.

"Bagas berangkat, Ma, Pa," ujar Bagas sambil mengambil roti dan membawa sisa makanannya di mulutnya, siap untuk berangkat ke sekolah. Ia mengenakan sepatu dan menutup jaketnya, berjalan keluar dari rumah menuju motor.

Papanya mengangguk, "Hati-hati di jalan, Nak. Semoga lancar hari ini."

Dengan langkah ringan, Bagas melangkah keluar dan menuju motor sport hijau kesayangannya. Ia menyalakan mesin motor, dan dalam sekejap, motor itu melaju cepat di jalanan kota Jakarta, meninggalkan rumah yang hangat dan penuh kasih sayang.

Namun, di dalam pikirannya, ada satu hal yang terus menggelayuti—tentang Stela. Tadi malam, percakapan mereka cukup singkat, tapi entah kenapa, perasaan itu mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Bagas mencoba untuk fokus pada jalanan, namun bayangan wajah Stela yang tersenyum itu terus terngiang di pikirannya.

"Sekolah, ya... Sekolah dulu," gumamnya dalam hati, mencoba mengalihkan perhatian agar tidak terlalu memikirkan perasaan yang baru muncul itu.

Dengan cepat, Bagas melaju menuju sekolah, meninggalkan rumah dan keluarga yang penuh kasih, menuju hari yang penuh tantangan dan, mungkin, kejutan.

Bagas dan April berjalan beriringan melewati pekarangan sekolah yang mulai dipenuhi oleh siswa-siswa lain. Suara obrolan dan tawa bercampur dengan bunyi langkah kaki yang bergegas menuju kelas masing-masing. Begitu mereka tiba di parkiran, Bagas mematikan mesin motor dan menurunkan standar dengan lincah. April, dengan senyum kecil di wajahnya, menunggu Bagas sebelum turun dari motor. Ketika helm mereka sudah disimpan, keduanya melangkah menuju gerbang sekolah.

Namun, tatapan tajam Rendi langsung tertuju kepada mereka. Bagas dan April melirik ke arah Rendi yang berdiri di sudut parkiran, raut wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Bagas sudah terbiasa dengan ekspresi itu. Meski mereka adalah satu tim di basket, Rendi kadang menunjukkan sisi kerasnya, terutama jika menyangkut kedekatan Bagas dan April.

“Tumben lo bareng Bagas, Pril?” ujar Rendi datar, matanya menyipit penuh arti.

April menarik napas sambil tersenyum. "Mobil mau dipakai Cila," jawabnya santai. Ada nada ringan dalam suaranya, seolah menjelaskan hal yang sepele. Namun, Rendi tetap tidak tampak puas. Dia hanya menatap April tanpa berkata apa-apa.

April maju sedikit dan mengangkat tangan, menyentuh dagu Rendi dengan lembut. “Muka lo kenapa bonyok, Ren?” tanyanya dengan nada khawatir. Sekilas terlihat luka lebam di pelipis Rendi, menyiratkan adanya perkelahian sebelumnya.

Rendi mengalihkan pandangan, menolak menunjukkan kelemahannya. “Gak apa-apa,” jawabnya pendek, bibirnya menekan dalam garis keras.

April menghela napas, mengerti bahwa Rendi tidak ingin membahasnya. “Gue duluan ya, Ren,” ucapnya kemudian. Namun, saat mereka berpapasan, Rendi menoleh dan berkata dengan suara rendah, hampir berbisik, “Lo harus lebih hati-hati, Pril. Mereka lagi nyari lo.”

April berhenti sejenak, membiarkan kata-kata itu tenggelam di benaknya. Wajahnya sejenak serius sebelum berubah menjadi senyum kecil. “Pasti,” balasnya dengan penuh kepercayaan diri, kemudian melangkah pergi, meninggalkan Rendi dengan pikirannya sendiri.

Bagas yang mendengar percakapan singkat itu hanya mengangkat alis, penasaran. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Hubungan April dan Rendi memang selalu penuh teka-teki, dan Bagas tahu ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan sebagai misteri.

“Lo juga hati-hati, Gas,” kata Rendi tiba-tiba, sebelum Bagas berbalik menuju kelasnya. Kata-kata itu menggantung di udara, menambah rasa penasaran Bagas.

Bagas hanya mengangguk dan melangkah naik ke lantai dua, ke kelasnya. Rendi masuk ke ruangannya di lantai satu, dan April melanjutkan perjalanannya ke lantai tiga. Mereka semua punya cerita masing-masing, namun ada benang merah yang menghubungkan mereka—sesuatu yang lebih besar dari sekadar persahabatan atau permainan basket. Sesuatu yang mulai terasa seperti peringatan.

1
Aimee
Baca ini karena lihat cover sama sinopsisnya, eh mau lanjut... sesimple itu
Dragon 2345: makasih kakak Uda mampir,
total 1 replies
Cute/Mm
Keren abis nih karya, besok balik lagi baca baruannya!
Dragon 2345: aman kak makasih dah mampir, tmbah semangat aq buat up makasih sekali lagi support nya
total 1 replies
Celeste Banegas
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Dragon 2345: makasih kakak sudah mampir,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!