Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Benang-Benang yang Terkait
Ariella berjalan menyusuri lorong gelap yang menghubungkan ruangan rapat utama dengan ruang pribadi yang telah lama tidak digunakan. Lampu-lampu temaram yang menggantung di langit-langit menciptakan bayangan panjang di dinding batu yang dingin. Setiap langkahnya menggema dalam keheningan, seolah dunia di luar ruangan ini sedang tertidur, tidak tahu bahwa di dalam, takdir sedang dipertaruhkan.
Semalam, ia telah berhasil memperoleh aliansi dari Red Claw—sebuah langkah strategis yang akan mengubah dinamika kekuasaan di kota ini. Namun, perasaan tenang itu cepat berlalu saat pagi tiba. Kemenangan semalam hanya memperburuk rasa cemas yang sudah menggelayuti dirinya. Di dunia ini, tidak ada yang mudah, dan bahkan yang tampak seperti kemenangan bisa berbalik menjadi bumerang yang mengancam.
Rael menunggu di pintu masuk ruangan, wajahnya yang biasa tegas kini lebih serius dari biasanya. "Ada masalah," katanya begitu melihat Ariella mendekat.
Ariella berhenti, menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa yang terjadi?"
Rael menghela napas, matanya tidak pernah lepas dari wajahnya yang khawatir. "Darius—dia bukan sekadar bersekutu dengan kita. Sumber kami melaporkan bahwa dia sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar. Dia mungkin mencoba mengendalikan Red Claw sepenuhnya, menggunakan aliansi ini sebagai jembatan untuk merebut kendali dari dalam."
Ariella terdiam, pikirannya langsung bekerja cepat, memproses informasi itu. "Apa maksudmu? Dia berniat mengkhianati kita?"
"Belum jelas," jawab Rael, "tapi dia sangat berhati-hati. Kami tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu. Darius selalu punya agenda tersembunyi."
Ariella memandangnya dalam-dalam, mencoba menilai situasi ini. "Jika dia mencoba untuk berkhianat, kita tidak bisa biarkan itu terjadi. Kita harus bergerak lebih cepat darinya."
Rael mengangguk. "Aku sudah mengirim beberapa orang untuk mengawasi pergerakannya. Namun, kita harus lebih hati-hati. Jika kita terlalu terburu-buru, kita bisa terjebak dalam permainannya."
Ariella berjalan menuju meja besar, di mana peta dan dokumen yang menguraikan posisi-posisi strategis berbagai organisasi tersebar. Tangannya terulur mengambil salah satu peta, menatap dengan penuh konsentrasi. Darius mungkin berpikir dia bisa menipu mereka, tapi Ariella sudah terbiasa dengan permainan seperti ini. Dan kali ini, dia tidak akan menjadi orang yang terjebak.
"Rael," kata Ariella, suaranya rendah dan penuh perhitungan, "aku ingin kau lakukan ini dengan cara yang berbeda. Kita tidak akan bertindak terang-terangan. Kita akan bermain dengan bayangan."
Rael tampak bingung. "Maksudmu?"
"Aku akan bertemu langsung dengannya," jawab Ariella, matanya menyipit penuh perencanaan. "Kita perlu tahu apa yang ada di pikirannya. Mungkin kita bisa memanfaatkannya untuk keuntungan kita. Tapi kita harus membuatnya merasa aman, tanpa curiga."
"Berarti kau ingin menemui Darius tanpa membiarkan dia tahu kita mengetahui niatnya?" tanya Rael, masih mencoba mencerna ide tersebut.
Ariella mengangguk pelan. "Aku ingin dia berpikir bahwa dia masih memegang kendali, sementara sebenarnya, kita sedang memutar roda di belakang layar."
Rael tidak berkata apa-apa lagi, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa dia mulai menyetujui ide tersebut. "Baik, aku akan mengaturnya."
---
Pagi itu, setelah beberapa jam perencanaan, Ariella dan Rael bertemu dengan Darius di sebuah tempat yang sangat berbeda dari pertemuan mereka sebelumnya. Kali ini, bukan di ruang makan mewah, melainkan di sebuah gudang tua yang terletak jauh di pinggiran kota—sebuah tempat yang lebih tersembunyi, lebih cocok untuk pertemuan yang penuh intrik.
Ariella mengenakan pakaian hitam yang sederhana, namun tetap anggun. Setiap gerakannya penuh dengan kehati-hatian, seolah tidak ada yang boleh tahu apa yang sedang dipikirkan di dalam kepalanya. Darius, yang sudah menunggu di sudut ruangan, segera menatapnya dengan tatapan tajam. Ada ketegangan di udara, sesuatu yang tak terucapkan namun bisa dirasakan oleh siapa pun yang hadir.
"Selamat datang, Ariella," kata Darius, suaranya datar namun penuh perhitungan. "Aku ingin tahu apa yang membuatmu ingin menemui aku di sini. Tempat yang agak... berbeda dari yang biasa."
Ariella tersenyum tipis, tidak terburu-buru menjawab. "Aku tahu, Darius, bahwa kita berdua memainkan permainan ini. Dan aku rasa sudah saatnya kita mengungkapkan niat kita yang sebenarnya."
Darius mengangkat alis, tetapi tetap duduk tanpa banyak bergerak. "Lanjutkan," ujarnya.
Ariella melangkah lebih dekat, berdiri di hadapannya dengan jarak yang cukup untuk menjaga suasana tetap tegang. "Aku tahu kau tidak menginginkan aliansi yang sederhana, Darius. Dan aku tahu kau pasti sudah merencanakan sesuatu yang lebih besar dengan kekuatan ini. Jadi, sebelum kita pergi lebih jauh, aku ingin tahu apa yang kau inginkan sebenarnya."
Darius memandangnya dalam diam, matanya tajam. "Aku ingin menguasai Red Claw sepenuhnya. Dan aku tahu bahwa untuk itu, aku perlu dukungan dari orang-orang yang benar-benar berpengaruh, seperti kau."
Ariella menyeringai dalam hati. "Jadi, ini tentang kekuasaan. Tidak ada yang mengejutkan."
Darius tertawa pendek, lalu menatap Ariella dengan tatapan yang lebih tajam. "Dan aku yakin, kau juga menginginkannya. Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang aku bicarakan."
Senyum Ariella semakin mengembang. "Jangan khawatir, Darius. Aku tidak berniat mengkhianatimu. Tapi aku juga tidak akan membiarkanmu mengkhianati aku."
Ketegangan di udara semakin tebal. Darius duduk diam, memerhatikan setiap gerak-gerik Ariella. "Lalu, apa yang kau inginkan, jika kita bersekutu?"
Ariella tidak langsung menjawab. Matanya berpindah ke sekitar ruangan, memandang dengan cermat, seolah setiap sudutnya memiliki informasi yang tersembunyi. "Aku ingin lebih dari sekadar aliansi. Aku ingin kita menguasai kota ini—secara bersamaan. Aku tidak percaya pada sistem kepemimpinan satu orang. Ini harus menjadi kemitraan."
Darius tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia tengah merenungkan tawaran Ariella. Dia tahu bahwa bersekutu dengan Ariella bisa membuka pintu yang lebih besar, namun dia juga sadar bahwa keputusannya untuk menerima atau menolak bisa menjadi keputusan yang menentukan hidupnya.
Setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, Darius akhirnya berbicara, "Baik. Kemitraan. Tapi ingat, Ariella, aku tidak akan tunduk pada siapa pun, bahkan padamu."
Ariella mengangguk. "Aku tidak menginginkan tunduk. Aku hanya ingin kita bekerja bersama. Ini adalah kemenangan untuk kita berdua."
Namun, di balik kata-kata itu, ada perasaan lain yang semakin menguat di hati Ariella—rasa waspada. Dia tahu bahwa meskipun Darius menerima kemitraan ini, ada kemungkinan besar dia masih memiliki rencana lain di balik pertemuan ini. Setiap kata yang diucapkan Darius adalah bagian dari sebuah permainan yang sangat besar, dan Ariella harus siap dengan segala kemungkinan.
Ketegangan itu tidak hanya berasal dari kata-kata yang diucapkan, tetapi juga dari apa yang tidak diucapkan. Darius mungkin tidak sepenuhnya mempercayainya, dan itu adalah hal yang harus dia hadapi. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada ruang untuk keraguan. Ini adalah permainan kekuasaan, dan di dunia ini, hanya ada satu yang bisa keluar sebagai pemenang.
---
Malam itu, Ariella kembali ke markas dengan banyak pertanyaan yang mengganjal. Darius mungkin telah setuju, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak bisa begitu saja menuruti kata-katanya. Di dunia ini, setiap kata memiliki makna tersembunyi. Dan mungkin, dalam beberapa hari ke depan, kebenaran dari semua intrik ini akan mulai terungkap.