Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 35
"Maaf Zal, permohonan ijin pernikahanmu ditolak Kasatker", kata Kabareskrim saat Rizal dipanggil untuk menghadap.
Kemudian ia menyerahkan surat pemberitahuannya kepada Rizal yang terlihat jelas menampakkan raut bingung dan kecewa.
"Ditolak Pak? Kenapa?", tanya Rizal tak mengerti.
"Kau baca saja alasannya di surat itu", sahut atasannya.
Rizal kembali melihat surat di tangannya. Tertulis di situ alasan penolakannya adalah, karena Rizal telah lebih dulu melakukan pernikahan siri. Padahal seharusnya ia mengurus ijin pernikahan dulu sebagai dasar pernikahan di KUA untuk mendapatkan surat nikah.
Rizal kaget, bagaimana mereka tahu kalau dirinya sudah menikah. Ah, tentu saja Deni. Siapa lagi? Tapi, Deni sendiri sebenarnya tahu dari siapa?
"Apa kau memang sudah menikah?", tanya atasannya menyelidik.
Rizal hanya bisa mengangguk pasrah. Atasannya pun hanya bisa menghela nafas.
"Kenapa harus buru-buru Zal? Jangan bilang kalau isterimu sudah..", sambungnya, tak enak meneruskan kalimatnya.
Rizal yang paham kemana arah kalimat itu langsung membantah.
"Tidak Pak, sama sekali tidak. Saya bisa jamin itu", sahutnya cepat.
"Baiklah, aku percaya. Tapi masalahnya adalah, kemungkinan besar mereka akan memberikan sanksi kepadamu", terang atasannya dengan wajah khawatir.
Rizal tak bisa berbuat apa-apa. Kemungkinan ini memang sudah ia diperkirakan terjadi, karena itu dia berusaha untuk menyembunyikan pernikahannya. Tapi tetap saja ketahuan.
"Baik Pak. Saya akan bertanggung jawab atas kesalahan saya dan akan menerima sanksi apapun yang akan diberikan", ucap Rizal pasrah.
Nasi sudah menjadi bubur. Dia kini harus siap dengan resikonya.
Setelah sampai di mejanya, Rizal masih menduga-duga siapa gerangan yang telah membocorkan informasi tentang pernikahannya? Entah sanksi apa pula yang akan diterimanya nanti. Kemungkinan besar adalah penurunan pangkat. Ya ampun.. Pangkatnya sekarang pun masih rendah. Kalau diturunkan lagi, maka akan setara Fritz yang baru lulus beberapa tahun dari Akpol.
Ya Tuhan.. Rizal memijat keningnya. Ternyata masalahnya jadi makin runyam.
Sementara Mita sendiri tak bisa konsentrasi saat meeting. Kliennya pun agak bingung dengan sikap Mita yang tidak begitu bersemangat dan sering tidak menyambung saat diajak bicara. Akhirnya meeting tak bisa tuntas dan harus dilanjutkan lain waktu.
********
Zaki sedang di ruangannya, menatap sedih kursi kosong milik Arya. Kantor terasa seperti kuburan sejak tak ada lagi teman terbaiknya yang sering membuatnya kesal. Atau sosok Tiara yang sering menerornya dengan desakan pekerjaan.
Dia yang dulu sering protes karena beban pekerjaan yang terlalu banyak, kini malah jadi mati gaya. Bahkan kini punya waktu untuk main game di kantor atau ngobrol panjang dengan teman seruangannya karena sepinya proyek yang mereka tangani.
Dia tak suka dengan keadaan ini. Ternyata selama ini dia kurang bersyukur. Dan setelah semua nikmat itu diambil, baru dia merasa menyesal. Dia merindukan masa-masa seperti dulu.
Terdengar suara notifikasi pesan. Ternyata dari temannya yang kemarin dia minta tolong untuk menemukan jejak pengirim video ke e-mail Arya.
Setelah membaca isi pesannya, Zaki terlihat bingung dan mengerutkan dahinya. Hasil penelusuran menunjukkan kalau e-mail itu dikirim dari kantor ini. Siapa? Hanif kah? Rasanya tak mungkin. Dia kan lagi koma di Rumah Sakit. Lalu siapa?
Tak berapa lama satu pesan lagi masuk. Dan setelah membaca pesan kedua ini, barulah Zaki kaget bukan main. Dia?
Segera Zaki menulis pesan pada Rizal.
"Bang, sore ini. Di tempatku. Ajak Mbak Mita juga"
Lalu kemudian ia segera berdiri dan menuju ke satu ruangan. Terlihat sepi, mungkin para penghuninya sedang makan siang. Atau juga kelayapan kemana-mana karena tak ada yang dikerjakan di kantor.
Zaki menghampiri salah satu meja di sana kemudian mencoba membuka PC yang ada di atasnya. Terkunci.
Dia mencoba beberapa password yang terpikirkan olehnya. Tak satupun berhasil, karena memang ia hanya menebak asal.
Tak mau menyerah, dicobanya lagi kemungkinan password lain. Ia perlu melihat nama e-mail yang pernah dipakai di PC ini sebagai bukti agar informasi dari temannya tak bisa dibantah oleh pengirim video itu.
"Lagi ngapain lo!", Zaki kaget, ia tertangkap basah.
Dan sialnya lagi oleh pemilik meja itu. Mario.
"Lo ngapain ngutak-ngatik PC gua hah?! Jawab!", tanyanya murka.
Zaki tak bisa berkilah lagi.
"Oke, gue emang mau buka PC lo. Gue mau nyari bukti kalau memang lo yang udah ngirim video CCTV ruangan Hanif ke Arya", jawab Zaki tak kalah sengit.
"Apa?! Lo nuduh gue?", protes Mario tak senang.
"Gue bukan nuduh. Gue sudah punya bukti. Tapi kalo lo gak mau ngaku ya gak papa. Itu hak lo. Tapi gue gak akan diam. Gue bakalan kejar lo dan bikin lo bertanggung jawab atas semua perbuatan lo. Ingat itu!", ancam Zaki seraya keluar dari ruangan itu.
"Eh, lo salah ngancam gue. Lo gak tau siapa gue Zak", teriak Mario tak terima ancaman Zaki.
Setelah kepergian Zaki, wajah Mario berubah panik. Apa benar yang dikatakan Zaki tadi?
Ia lalu menghubungi seseorang.
"Mas, sepertinya ada yang curiga sama aku. Dia bilang punya bukti"
"Teman kantorku, Zaki"
"Mas yakin? Kalau benar, gimana?"
"Iya Mas"
Ditutupnya panggilan, namun wajahnya masih terlihat panik.
Saat sore hari, Rizal terlihat sudah duduk di ruang tamu sambil menimang Chika. Sesekali dilihatnya jam di tangannya, karena Mita belum juga datang.
"Sabar Bang.. bentar lagi juga datang. Kan tadi Mbak Mita udah bilang lagi di jalan. Ya udah, ditunggu aja..", ucap Zaki menanggapi kegelisahan kakak iparnya.
Rizal malah memasang wajah kesal.
Tidak berapa lama, terdengar bunyi mobil di depan rumah. Wajah Rizal langsung sumringah. Diletakkannya Chika di pangkuan Zaki dan langsung keluar menyambut Mita.
Zaki dan Chika sama-sama terlihat bingung. Ekspresi keduanya benar-benar mirip.
"Yah.. kayaknya kamu bukan nomor satu lagi nak, sudah digeser sama Tante Mita", ucap Zaki pada Chika yang hanya menatapnya.
Sementara di luar.
"Kok lama sampainya?", tanya Rizal seraya membuka pintu mobil.
Mita hanya menatap datar pada Rizal.
"Tadi singgah dulu sebentar beli kue", sahut Mita yang sepertinya masih terlihat kesal dengan Rizal.
Rizal menyambut bawaan Mita kemudian mengajaknya masuk.
"Nah.. betul kan apa kubilang Bang? Abang memang gak sabaran", ucap Zaki.
"Memangnya kenapa?", tanya Mita penasaran dengan ucapan Zaki.
"Ini Mbak, Bang Ri..", tiba-tiba mulut Zaki sudah dibekap.
"Gak ada apa-apa kok. Itu.. kuenya kayaknya enak. Boleh dimakan sekarang gak?", tanya Rizal.
Zaki melirik Rizal dengan kesal.
"Iya, boleh", jawab Mita yang masih terlihat bingung.
"Jadi gini Bang, Mbak. Yang ngirim video itu ternyata Mario. Dia salah satu drafter di kantorku. Dia pakai e-mail yang berbeda dengan yang biasa ia pakai buat urusan kantor. Kalau dia sih kayaknya memang punya masalah sama Arya. Apalagi kalau Mario ini kelihatannya sudah lama naksir sama Tiara, isteri Arya. Mereka dulu teman satu sekolah waktu SMA", terang Zaki.
"Dari email itu teman saya juga dapat link-nya ke beberapa medsos sama akun-akun yang sering berhubungan sama dia. Ada beberapa yang aku kenal, tapi yang lainnya aku gak tahu sama sekali. Kalau dilihat-lihat, ni orang circlenya gak kaleng-kaleng. Ya secara dia juga dari kalangan atas, wajar aja sih", sambungnya.
"Dari kalangan atas? Maksudnya orang kaya? Trus kenapa kerja disana, jadi drafter pula?", tanya Rizal bingung.
"Iya, saya juga gak ngerti tuh orang. Gajinya drafter kan gak level kalo dibanding status dia. Mungkin gabut aja Bang, daripada nganggur", sahut Zaki.
"Terus, rencana kamu apa Zak?", tanya Rizal yang tengah makan kue dengan lahap, karena dia memang kelaparan.
Mita yang melihatnya merasa bersalah. Bagaimanapun pernikahan mereka, seharusnya dia memperhatikan masalah perut suaminya.
"Nah.. kalau kelas yang beginian, lawannya mesti seimbang Bang. Makanya Mbak Mita juga saya minta kemari", jawab Zaki.
Mita menaikkan alisnya seraya menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, kalau bukan Mbak Mita siapa lagi? Jadi tugas Mbak adalah mencari profil dari para relasinya si Mario ini yang mungkin ada sangkut pautnya dengan kecelakaan Hanif. Bang Rizal juga bantuin ya?", pintanya.
"Oke, siip...", sahutnya dengan mulut penuh lalu tersedak.
Mita panik lalu segera menepuk-nepuk punggung Rizal.
"Eih.. stop, sudah-sudah. Ini mau nolong apa mau nganterin ke alam berikutnya sih? Kenceng banget nepuknya", protes Rizal.
Mita tersentak, lalu kemudian merasa bersalah tapi juga kesal dengan ucapan Rizal.
"Ya maaf, aku kan refleks. Lagian mana ada orang mati gara-gara ditepuk begitu. Berlebihan kamu", sahut Mita.
"Bisa aja, kalau orang punya penyakit jantung ditepuk begitu bisa tambah parah jadinya", sahut Rizal tak mau kalah.
"Memangnya kamu punya penyakit jantung? Gimana caranya bisa lolos jadi polisi?", tanya Mita tak puas dengan jawaban Rizal.
"Kan aku bilang kalau?!", sahut Rizal sengit.
"Tapi gak kan?!", Mita tak kalah sengit.
"Maaf ya Mbak.. Bang.. kalau mau berantem, pukul-pukulan atau bunuh-bunuhan sekalipun terserah kalian deh. Tapi nanti aja ya.. sekarang kita masih ada urusan penting nih", Zaki berusaha menengahi.
Keduanya tersadar, akhirnya kembali diam.
Setelah urusan mereka selesai, Rizal mengantar Mita ke mobil. Tapi sebenarnya ia masih ada yang ingin disampaikan. Terutama masalah pertengkaran mereka tadi pagi.
"Malam ini kujemput, kita pergi keluar", ucap Rizal.
Mita hanya diam.
"Kamu balik ke rumah Ayah atau Pak Ibrahim?", tanya Rizal lagi.
"Ke rumah Ayah. Besok malam baru ke rumah Papa. Keluarga Om Umar mau datang, jadi aku diminta ikut makan malam. Kamu juga", sahut Mita masih dengan ekspresi datar.
"Oh, begitu..", Rizal bingung harus bicara apa lagi untuk mengulur waktu.
Ingin minta maaf, takut malah mendapat jawaban blunder. Akhirnya ia hanya terdiam.
"Ya sudah, aku pergi dulu", ujar Mita dengan berat hati, berharap dapat ucapan lebih dari Rizal.
"Oke, hati-hati di jalan", hanya itu yang bisa ia ucapkan.
Akhirnya ia hanya bisa menatap mobil Mita berlalu dari situ. Setelah itu baru ia bisa bernafas lega, kemudian mengambil motornya untuk kembali ke asrama.
Bagus...