Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.
Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).
Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.
Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Anomali
Alarm darurat masih berbunyi keras di seluruh rumah sakit, membuat ketegangan semakin memuncak. Aku, Michelle, dan Dr. Irma bergegas menyusuri koridor, berusaha menemukan Fanny sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Pikiran tentang Nazam terus menghantui pikiranku, membuatku merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di sini.
"Fanny tidak mungkin pergi jauh," kata Dr. Irma dengan nada tegas. "Kita harus memeriksa setiap sudut rumah sakit ini."
Kami membagi diri menjadi beberapa kelompok. Michelle dan aku menuju ke bagian belakang rumah sakit, sementara Dr. Irma dan tim keamanan memeriksa lantai atas. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada beban yang tak terlihat menarikku kembali ke masa lalu.
Saat kami melewati ruang terapi yang sepi, aku mulai mengalami kilas balik tentang kejadian yang melibatkan Nazam. Kilas balik ini datang dengan tiba-tiba, seperti pecahan kaca yang menyayat pikiranku. Aku melihat bayangan Nazam berdiri di tengah hujan deras, megang sebuah Colt M1911 dan tertawa dengan cara yang mengerikan. Kenangan ini begitu nyata, seolah-olah aku kembali ke saat itu.
"Dr. Fikri, kamu baik-baik saja?" tanya Michelle, menarikku kembali ke kenyataan.
Aku mengangguk, berusaha menenangkan diri. "Ya, aku baik-baik saja. Mari kita lanjutkan pencarian."
Kami melanjutkan pencarian, melewati koridor-koridor rumah sakit yang terasa semakin sunyi dan menakutkan. Lampu-lampu berkedip-kedip, memberikan suasana yang semakin mencekam. Ketika kami mencapai bagian belakang rumah sakit, angin kencang mulai bertiup, menandakan badai besar yang sedang mendekat.
"Apakah ini pertanda buruk?" tanya Michelle, suaranya terdengar cemas.
Aku mencoba tetap tenang. "Badai hanya cuaca buruk. Yang lebih penting adalah menemukan Fanny sebelum terjadi sesuatu yang lebih parah."
Kami berjalan menuju bagian rumah sakit yang jarang digunakan, di mana suara alarm terdengar lebih lemah. Di sini, koridor-koridor lebih gelap dan penuh dengan bayangan. Angin dari luar semakin kencang, membuat jendela-jendela bergetar.
Tiba-tiba, kami mendengar suara langkah kaki dari salah satu koridor. "Fanny? Itu kamu?" teriak Michelle, tapi tidak ada jawaban.
Kami mempercepat langkah, mengikuti suara langkah kaki tersebut. Namun, ketika kami sampai di ujung koridor, tidak ada siapa pun di sana. Hanya ada pintu menuju tangga darurat yang terbuka sedikit, dan angin dingin yang masuk melalui celahnya.
"Dia pasti turun ke bawah," kataku, memimpin jalan menuruni tangga. Suara langkah kaki kami bergema di dinding beton, menambah suasana mencekam.
Saat kami mencapai pintu keluar tangga, angin semakin kencang dan hujan mulai turun deras. "Badai sudah di sini," kata Michelle dengan nada khawatir.
Aku membuka pintu dengan hati-hati, dan kami melangkah keluar ke halaman belakang rumah sakit. Angin dan hujan membuat pandangan kami kabur, tapi kami harus terus mencari Fanny. Kami berjalan menyusuri halaman, melewati pohon-pohon yang bergoyang hebat oleh angin.
"Tidak mungkin dia pergi sejauh ini," teriakku di tengah badai, berusaha agar suaraku terdengar oleh Michelle.
"Kita harus kembali ke dalam!" jawab Michelle. "Badai ini terlalu berbahaya!"
Namun, saat kami berbalik untuk kembali ke rumah sakit, pintu yang kami gunakan sebelumnya tertutup dengan keras oleh angin, mengunci kami di luar. Kami mencoba membukanya, tapi tampaknya terkunci rapat.
"Kita terjebak di sini!" teriak Michelle dengan panik.
Aku melihat sekeliling, mencari cara lain untuk masuk ke dalam rumah sakit. "Ada pintu lain di sisi timur bangunan. Kita harus mencoba ke sana."
Dengan berjuang melawan angin dan hujan, kami berjalan ke sisi timur bangunan, berharap menemukan pintu lain yang bisa digunakan untuk masuk. Di tengah badai, bayangan pohon-pohon yang berayun tampak seperti sosok-sosok gelap yang mengintai kami.
Saat kami mencapai sisi timur, kami melihat pintu besi kecil yang tampak tua dan berkarat. "Ini dia," kataku, mencoba membuka pintu tersebut. Namun, pintu itu juga terkunci.
Michelle menggigil kedinginan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tidak bisa tetap di luar sini, kita bisa terkena hipotermia."
Aku berpikir cepat, mencoba mengingat struktur rumah sakit ini. "Ada jendela di ruang penyimpanan sebelah sini. Mungkin kita bisa masuk melalui sana."
Kami berjalan mengelilingi sisi bangunan, menemukan jendela kecil yang terletak di dekat tanah. Dengan susah payah, aku berhasil membuka jendela tersebut, dan kami berdua merangkak masuk ke dalam ruangan yang gelap dan lembap.
Di dalam, kami menemukan diri kami berada di ruang penyimpanan tua yang penuh dengan peralatan medis lama dan berdebu. Kami duduk sejenak untuk mengatur napas, merasa lega bisa terlindung dari badai di luar.
"Tunggu, bagaimana aku tahu di sini ada jendela, jika aku baru 3 hari di sini," gumamku tiba-tiba.
Wajah Michelle mendadak pucat. "Apa maksudmu, Dr. Fikri?" tanyanya, suaranya bergetar.
Aku menatapnya tajam, mencoba mencari jawaban dalam ekspresi wajahnya. "Kamu bilang aku baru tiga hari di sini, tapi entah bagaimana aku tahu setiap sudut tempat ini. Bagaimana bisa aku tahu ada jendela di ruang penyimpanan ini?"
Michelle tidak segera menjawab, matanya berkedip cepat seolah mencari jawaban yang tepat. "Mungkin kamu pernah diberitahu sebelumnya dan tidak sadar mengingatnya," katanya pelan.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, ini lebih dari sekadar ingatan. Ini seperti deja vu yang kuat, seolah-olah aku sudah pernah berada di sini sebelumnya."
Michelle menghela napas dalam, tampak semakin cemas. "Dr. Fikri, mungkin kita harus fokus pada pencarian Fanny dulu. Kita bisa membahas ini nanti."
Tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menguasai pikiranku. Aku berdiri dan mulai mengamati ruangan dengan seksama, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. "Ada yang tidak beres di sini, Michelle. Semua ini terasa seperti teka-teki yang belum bisa kupecahkan."
Kami meninggalkan ruang penyimpanan dan melanjutkan pencarian, meskipun ketidakpastian terus menghantui pikiranku. Suara langkah kaki dari sebelumnya telah menghilang, meninggalkan kami dalam keheningan yang tidak nyaman.
"Fanny! Fanny!" panggilku lagi, berharap mendapatkan jawaban. Namun, yang terdengar hanya suara angin badai yang mengamuk di luar gedung.
Saat kami berjalan melewati lorong-lorong yang gelap, kami menemukan sebuah pintu besar yang tertutup rapat. Aku mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci.
"Mungkin ada kunci cadangan di dekat sini," kata Michelle, mencoba mencari di sekitar.
Aku melihat sebuah laci tua yang tampak berkarat. Dengan susah payah, aku berhasil membukanya dan menemukan beberapa kunci yang tampak tua. Salah satu kunci tersebut tampaknya cocok untuk pintu yang terkunci.
Aku membuka ruangan itu, dan segera merasakan aura yang sangat aneh. Ruangan ini seperti... Deja vu yang menyesakkan dada. Rasanya seperti aku pernah berada di sini sebelumnya, tapi kapan?
Tiba-tiba kepalaku sangat sakit, seolah-olah ada palu yang menghantam tengkorakku. Aku memegang kepalaku, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menguat. Pandanganku mulai kabur, dan ingatan aneh muncul di kepalaku.
Aku memegang Colt M1911 di tanganku. Tepat di depanku, ada wajah Fanny yang menangis. Wajahnya dipenuhi ketakutan dan kesedihan, air matanya mengalir deras.
"Jangan lakukan ini, tolong," suara Fanny terdengar gemetar dan penuh dengan keputusasaan.
Aku merasa tubuhku kaku, seolah-olah aku tidak bisa mengendalikan gerakanku sendiri. "Kenapa aku... memegang pistol ini?" pikirku dalam hati.
"Dr. Fikri, kamu baik-baik saja?" suara Michelle terdengar jauh, seolah-olah dia berada di ujung terowongan yang panjang.
Aku mencoba fokus kembali, berusaha keluar dari ingatan yang menghantuiku. "Michelle... aku... aku tidak tahu," jawabku dengan suara lemah.
Michelle memegang lenganku, mencoba menenangkanku. "Kita harus keluar dari sini. Ayo, kita harus menemukan Fanny."
Aku mengangguk pelan, mencoba memulihkan diriku. Kami melangkah lebih dalam ke ruangan itu, mencari petunjuk lebih lanjut. Suasana semakin mencekam, dengan bayangan-bayangan yang bergerak seiring kilatan petir di luar.
Cahaya memenuhi seluruh wajahku dan aku jatuh pingsan.
aarrrrgh~~~