Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Matahari Terbit
Sekarang Tama kelihatan makin besar, dan paru-paru gue jadi makin kecil. Kita jalan bareng ke pom bensin, tapi enggak ada satu pun dari kita yang ngomong.
Lucu, bagaimana itu bisa terjadi. Gue enggak tahu bagaimana caranya ngomong sama dia. Gue enggak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi hati gue terus ngomong sama mata gue.
Ngomong, dong!
Please, katakan sesuatu.
Ceritakan semua yang mau lo ceritakan.
Gue penasaran, di dalam hati dia lagi ngomong apa.
Begitu kita di dalam, dia yang lebih dulu menemukan tanda toilet, jadi dia menoleh lalu mengangguk dan jalan di depan gue. Dia yang memimpin. Gue mengikuti. Soalnya dia kayak benda padat, sementara gue benda cair, dan sekarang, gue cuma jadi bayangannya dia, di belakang.
Sial.
Pas kita sampai di toilet, dia masuk ke kamar mandi cowok tanpa ragu. Dia sama sekali enggak menoleh ke gue. Dia enggak tunggu gue buat masuk lebih dulu ke toilet cewek.
Gue dorong pintu, tapi gue sebenarnya enggak perlu ke toilet. Gue cuma ingin bernapas, tapi dia enggak kasih gue ruang.
Dia itu seperti sedang menyerbu. Gue enggak yakin dia sengaja melakukan itu. Dia cuma menyerbu pikiran gue, perut gue, paru-paru gue, dan dunia gue.
Mungkin itu kekuatan super dia.
Invasi.
The Invader dan The Infiltrator. Kayaknya artinya mirip, jadi gue rasa kita tim yang cocok.
Gue cuci tangan dan menghabiskan waktu cukup lama biar kelihatan kalau gue memang benar-benar butuh buat berhenti di sini.
Gue buka pintu kamar mandi, dan dia sudah menyerbu lagi. Dia berdiri di depan pintu yang mau gue lewati.
Dia enggak gerak, walaupun dia lagi menyerbu. Tapi sebenarnya gue juga enggak ingin dia pergi, jadi gue biarkan dia di situ.
“Mau minum enggak?” tanyanya.
Gue geleng-geleng kepala. “Gue udah punya air di mobil.”
“Laper?”
Gue bilang enggak. Dia kelihatan sedikit kecewa karena gue enggak mau apa-apa. Mungkin dia juga belum ingin balik ke mobil.
“Gue pingin permen,” kata gue.
Senyum langka dan berharganya pelan-pelan muncul. “Gue beliin lo permen, deh.”
Dia berbalik dan jalan ke rak permen. Gue berhenti di sebelahnya dan melihat pilihan yang ada. Kita memperhatikan permen itu terlalu lama. Gue sebenarnya enggak benar-benar kepingin, tapi kita berdua pura-pura saja.
“Aneh ya,” bisik gue.
“Apa yang aneh?” balasnya. “Milih permen atau pura-pura enggak kepingin kita ada di kursi belakang sekarang?”
Wow.
Gue merasa kayak benaran menyusup ke pikirannya. Cuma bedanya, kali ini dia ngomong dengan sukarela. Kata-kata yang bikin gue merasa senang.
“Keduanya,” jawab gue dengan tenang. Gue berbalik menghadap dia. “Lo ngerokok?”
Dia kasih gue tatapan itu lagi. Tatapannya bilang kalo gue aneh.
Gue enggak peduli.
“Enggak,” jawabnya santai.
“Ingat permen rokok yang dijual waktu kita kecil?”
“Iya,” katanya. “Kalau dipikir-pikir, agak serem juga sih.”
Gue mengangguk. “Gue dan Amio dulu sering beli itu. Sekarang, enggak bakal gue izinin dia beli permen itu.”
“Kayaknya udah enggak diproduksi lagi,” katanya.
Kita balik memperhatikan permen lagi.
“Lo?” tanya Tama.
“Apa?”
“Ngerokok?.”
Gue geleng kepala. “Enggak.”
“Bagus,” tegasnya. Kita masih tatap permen itu sebentar lagi. Dia berbalik menghadap gue, dan gue melirik ke atas, ke arahnya. “Lo beneran pingin permen, Tia?”
“Enggak.”
Dia ketawa. “Kayaknya kita harus balik ke mobil.”
Gue setuju, tapi enggak ada dari kita yang bergerak. Dia menyentuh tangan gue, lembut banget, seolah-olah dia tahu kalo dia terbuat dari lava dan gue dari air laut.
Dia genggam dua jari gue, bahkan enggak sampai pegang seluruh tangan gue, dan menariknya lembut.
“Tunggu,” kata gue sambil tarik balik tangannya. Dia melirik ke gue dari balik bahunya, lalu berbalik sepenuhnya menghadap gue. “Apa yang lo omongin ke bokap gue tadi pagi? Sebelum kita berangkat?”
Jarinya menggenggam lebih erat, dan ekspresinya enggak berubah dari tatapan tajam yang sudah dia sempurnakan. “Gue minta maaf ke dia.”
Dia balik lagi menghadap pintu, dan kali ini gue mengikuti. Dia enggak melepas tangan gue sampai kita dekat ke pintu keluar. Pas akhirnya dia melepas, gue merasa kayak menguap lagi.
Gue mengikuti dia ke mobil sambil berharap gue enggak benar-benar percaya kalo gue bisa menyusup. Gue ingatkan diri gue sendiri kalo dia itu punya tameng. Dia enggak bisa ditembus.
Gue enggak tahu apa gue bisa melakukan ini, Tama.
Gue enggak tahu apa gue bisa mengikuti aturan nomor dua untuk ‘Jangan ngarep masa depan dari gue’, karena tiba-tiba gue lebih ingin masuk ke masa depan lo daripada masuk ke kursi belakang bareng lo.
“Antreannya panjang,” lapor Tama ke Amio pas kita berdua ada di mobil.
Amio langsung ambil gas dan ganti Channel radio. Dia enggak peduli seberapa panjang antreannya. Dia enggak curiga, atau dia pasti sudah tahu sesuatu. Lagi pula, belum ada sesuatu yang buat dia curiga.
Kita berjalan selama sekitar lima belas menit sebelum gue sadar kalau gue sudah enggak memikirkan Tama lagi.
Selama lima belas menit terakhir perjalanan, pikiran gue cuma berisi kenangan.
“Ingat waktu kita kecil dulu, kita pingin banget punya kekuatan super buat terbang?”
“Iya, gue inget,” jawab Amio.
“Sekarang lo udah punya kekuatan super lo. Lo bisa terbang.”
Amio senyum ke gue dari kaca spion. “Iya,” katanya.
“Kayaknya itu bikin gue jadi superhero.”
Gue bersandar di kursi dan lihat jendela, sedikit iri sama mereka berdua. Iri sama hal-hal yang sudah mereka lihat. Tempat-tempat yang sudah mereka kunjungi.
“Gimana rasanya lihat matahari terbit dari atas sana?”
Amio angkat bahu. “Gue enggak terlalu lihat,” katanya. “Gue fokus sama kerjaan gue waktu di atas sana.”
Gue jadi sedih dengarnya.
Jangan anggap itu sepele, Amio.
“Gue lihat,” sahut Tama. Dia melihat keluar jendela, dan suaranya pelan banget sampai hampir enggak kedengaran. “Setiap kali gue di atas sana, gue lihat matahari terbit.”
Tapi dia enggak bilang bagaimana rasanya. Suaranya jauh, kayak dia ingin simpan perasaan itu buat dirinya sendiri.
Oke, gue biarkan dia begitu.
“Lo kayak mengganti aturan alam semesta pas lo terbang,” kata gue. “Itu keren. Ngelawan gravitasi? Ngelihat matahari terbit dan terbenam dari tempat yang enggak bisa semua orang lihat? Lo benar-benar superhero kalo dipikir-pikir.”
Amio melirik gue dari kaca spion dan ketawa. Tapi Tama enggak ketawa. Dia masih lihat ke jendela.
“Lo nyelamatin nyawa,” kata Tama ke gue. “Itu jauh lebih keren, Tia.”
Kata-katanya langsung meresap ke hati gue.
Aturan nomor dua kayaknya makin susah buat dipatuhi dari sini.