Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Lalu Siapa?
Sejak kedatangan Alung malam itu, Hanung tak lagi ditugasi menjadi kasir di catering. Ia hanya melakukan pekerjaan rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu dikamar dengan menelepon Gus Zam atau membaca buku.
Lala yang biasanya cari gara-gara pun tak ada terlihat batang hidungnya beberapa hari ini. Entah apa yang terjadi, Surati dan Donga menjadi perhatian kepada Hanung. Mereka tak lagi menyuruh atau meminta Hanung melakukan sesuatu. Sehingga Hanung bisa bersantai saat mengerjakan pekerjaan rumah.
"Kamu kenapa sedari tadi tersenyum?" tanya Gus Zam sambil mengukir.
"Tidak apa, Mas. Suka saja melihat wajah serius Mas Zam yang sedang mengukir." jawab Hanung dengan senyuman.
"Jangan menggodaku!"
"Aku tidak menggoda, Mas. Serius!"
"Baiklah. Kenapa masih menggunakan nomor ini? Umi sampai kalap saat tidak bisa menghubungi nomormu karena Ibu Jam juga tidak bisa." seketika Hanung menepuk dahinya.
"Astaghfirullah.. Mas! Hanung lupa mengabari Ibu Jam dan Umi!"
"Tenang saja, aku sudah mengatakan kepada mereka kalau kamu baik-baik saja." Gus Zam tersenyum.
Hanung memiliki satu kebiasaan yang tidak ia sadari, yaitu lupa. Gus Zam sampai bisa menebaknya dan hafal hanya dengan bersama Hanung 2 hari. Bahkan sampai sekarang, Gus Zam memakluminya. Yang penting tidak melupakannya saja, begitu pikir Gus Zam.
"Terimakasih, Mas. Nanti Hanung telepon Ibu Jam dan Umi."
"Iya Humaira ku."
"Sekali lagi?" pinta Hanung dengan senyuman.
"Humaira ku."
"Cup!" Hanung memberikan kecupan di layar ponsel.
Seketika Gus Zam membeku dengan detak jantung yang tak beraturan. Istrinya tahu cara membuat detak jantungnya kacau akhir-akhir ini. Sedangkan Hanung tidak tahu efek yang disebabkan nya.
Gus Zam pun meminta Hanung untuk mengakhiri panggilan, karena ada yang datang. Ia tak ingin orang lain melihat Hanung yang tidak berhijab walaupun hanya di layar ponsel. Hanung pun mengucapkan salam sebelum menutup panggilannya.
"Assalamu'alaikum Ibu.. Ini Hanung." sapa Hanung yang menghubungi Ibu Jam.
Segera Ibu Jam mengganti panggilan suara Hanung dengan panggilan video, yang memperlihatkan wajah anak tirinya.
"Wa' alaikumsalam.. Mbak Hanung kemana saja? Kenapa nomornya tidak bisa dihubungi? Tidak ada masalah disana kan? Apa Bu Surati memperlakukan Mbak Hanung dengan baik? Bagaimana dengan ayah dan saudara tiri, Mbak Hanung? Apa Mbak Hanung betah?" Ibu Jam membombardir Hanung dengan pertanyaan.
"Tenang, Bu. Hanung jawab satu-satu." Hanung merasa bersalah telah membuat Ibu Jam khawatir.
"Hanung baik-baik saja disini, Ibu juga memperlakukan Hanung dengan baik. Ayah dan saudara tiri juga lumayan. Maafkan Hanung, Bu. Nomor Hanung sementara tidak bisa dipakai, jadi Hanung beli baru." Hanung menutupi kebenarannya, ia merasa tidak berbohong saat ini karena pada kenyataannya nomornya memang tidak bisa dipakai karena disita Surati.
"Alhamdulillah.. kalau begitu. Tapi kenapa Mbak Hanung kurusan?"
"Masak, Bu? Hanung belum ada timbang." jawab Hanung sambil memegangi pipinya.
"Iya, kamu kurusan. Mata kamu agak cekung dan kantong hitam itu tidak ada sebelumnya." kata Ibu Jam dengan miris.
"Mungkin karena kecapekan, Bu. Hanung ada satu mingguan bantu-bantu di catering milik Ibu karena kekurangan karyawan." Jujur Hanung.
"Sekarang apa masih?"
"Tidak, Bu. Sekarang Hanung kerjaannya hanya makan dan tidur." Hanung tersenyum lebar memamerkan deretan giginya.
"Alhamdulillah kalau Mbak Hanung baik-baik saja disana. Ibu sempat khawatir saat Mbak Hanung tidak bisa dihubungi."
"Maafkan Hanung ya, Bu."
"Untungnya ada Gus Zam yang kasih kabar, kalau kamu baik-baik saja."
"Alhamdulillah.."
"Mbak Hanung.. Sekarang Mbak Hanung sudah berbakti kepada Bu Surati, tetapi Mbak Hanung juga jangan lupa dengan kewajiban seorang istri. Yang lebih berhak atas kamu sekarang adalah suami Mbak Hanung, Gus Zam."
"Iya, Bu. Hanung tahu. Beri waktu Hanung sebentar lagi."
"Satu tahun itu lama, Mbak Hanung. Takutnya ada syaitan diantara kalian yang membuat hubungan kalian memburuk, na'udzubillah.."
"Doa yang baik-baik saja ya, Bu.."
Setelah puas mendengar keadaan Hanung, percakapan kini beralih ke keadaan Ibu Jam dan anak-anaknya. Beliau menuturkan kalau semuanya baik. Hanya saja adik-adik Hanung mencarinya dan anak-anak di desa juga menunggunya untuk segera les kembali.
"Sepertinya Hanung tidak bisa, Bu. Atau begini saja, nanti Hanung siapkan hadiahnya. Ibu umumkan seperti kemarin agar anak-anak tetap bersemangat."
"Nilai diatas 70?" tanya Ibu Jam memastikan.
"Dinaikkan saja, Bu. Nilai diatas 75."
"Baiklah, nanti Ibu umumkan kalau mereka kemari."
"Terimakasih, Bu.."
Hanung pun mengakhiri panggilan videonya. Setelah itu, ia mencari nomor Ayra di catatannya. Ayra yang bekerja di fotokopi bisa membantunya membungkus kan kado untuk anak-anak. Karena selain fotokopi, tempat Ayra bekerja juga menyediakan perlengkapan ATK.
"Siap, Hanung! Tetapi aku minta waktu ya? 120 kado itu tidak mungkin aku kerjakan dalam satu hari."
"Tenang saja, Ayra. Kamu bisa mengirimkannya kerumah bulan depan."
"Oke. Untuk pembayaran, setelah semuanya beres saja ya?"
"Apa tidak apa-apa? Bagaimana kalau kamu mendapat teguran?"
"Aman saja. Percaya padaku!"
"Terimakasih, Ayra."
"Sama-sama."
Hanung bisa tenang, masalah hadiah sudah beres. Sekarang adalah reward untuk Iwan. Adik tirinya itu meminta reward PSP karena sudah bosan dengan gamebot yang hanya hitam putih dan itu bisa menunggu. Ia pun menghubungi Bu Nyai.
Bu Nyai sangat bahagia mendengar kabar dari Hanung. Walaupun beliau sudah mendengarnya dari Gus Zam, Bu Nyai tetap mengharapkan Hanung sendiri yang mengatakannya. Beliau pun berpesan agar rutin memberi kabar minimal satu minggu sekali. Hanung tidak berani berjanji, ia pun mengatakan akan mengusahakannya. Setelah selesai dengan panggilannya, Hanung menyimpan ponselnya dan mengambil wudhu untuk mengerjakan sholat dzuhur.
"Hanung!" teriak Lala yang sedari tadi mengetuk pintu tidak dihiraukan.
"Ada apa?" tanya Hanung masih dengan mukena lengkap.
"Kamu ada berhubungan dengan Kak Alung?"
"Tidak ada."
"Jangan berbohong!"
"Untuk apa aku berbohong? Ponsel saja disimpan Ibu."
"Apa? Kamu tidak memegang ponsel? Lalu siapa yang dimaksud Kak Alung?"
"Kamu ini sebenarnya kenapa?" Hanung tidak mengerti dengan Lala yang terkejut.
Tanpa menjawab, Lala meninggalkan Hanung begitu saja.
"Aneh!" Hanung kembali masuk dan mengunci kamar.
Akan tetapi, tak lama kemudian Lala kembali mengetuk pintu.
"Ada apa lagi?"
"Kak Alung mengatakan kamu yang mengirimkan pesan kepadanya lebih dulu!"
"Kamu ini tidak mengerti bahasa, ya? Sudah aku katakan, ponselku ada di tangan Ibu! Kamu tanyakan saja sana!" kesal Hanung.
"Kamu berbohong!"
"Tidak ada untungnya aku berbohong! Suamiku lebih ganteng dibandingkan Alungmu itu!"
Lala terdiam. Yang ada dipikirannya, siapa yang mengaku menjadi Hanung? Jika ponsel Hanung berada ditangan Surati, apakah beliau yang mengaku Hanung? Apa keuntungannya? Lala menggelengkan kepala, menepis semua pertanyaan yang mencuat di kepalanya. Sedangkan Hanung hanya menatap aneh kearah Lala.
padahal udah bagus lho