Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Jadi, yang kau lihat pingsan itu betul-betul dokter Aerin?"
Anson menghentikan langkahnya dan menoleh ke kumpulan staf yang asyik bergosip di meja informasi bangsal. Ia paling tidak suka mendengar gosip apalagi di jam kerja. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar mereka menyebutkan nama Aerin, terlebih lagi mereka bercerita kalau gadis itu ...
Pingsan?
Anson memutuskan terus mendengar dari balik tembok.
"Yah. Aku melihatnya terjatuh tak sadarkan diri di koridor dan dokter Bion membawanya ke ruang rawat staf. Tadi juga aku lihat wajahnya sangat pucat."
"Tapi kenapa dia tidak coba membela diri di depan dokter Anson? Dokter Anson kelihatan sangat marah tadi." sih perawat di depan perempuan bertubuh gemuk itu mengangkat bahu.
Mereka masih ingin bergosip lagi tapi terhenti seketika saat melihat Anson berjalan melewati mereka dengan wajah datarnya. Semuanya menunduk hormat. Anson tidak bersuara sedikit pun dan hanya melewati mereka berjalan masuk ke ruangannya.
Ia duduk di meja kerjanya dengan pikiran penuh. Pria itu memikirkan pembicaraan para staf di luar tadi.
Aerin pingsan? apa gadis itu jatuh sakit karena aku turunkan di jalan semalam?
Anson ingat Aerin hanya mengenakan gaun kurang bahan itu saat turun. Rumahnya juga masih cukup jauh kalau ia berjalan kaki. Dan kenapa gadis itu tidak menjelaskan padanya tadi kalau ia habis pingsan?
Anson mengerang kesal. Kenapa juga dia jadi merasa tidak tenang seperti ini hanya karena gadis itu? Apa dia hanya merasa bersalah? Atau dirinya khawatir pada gadis itu? Oh tidak, dia tidak mungkin khawatir. Dirinya jelas membenci Aerin dari dulu, mana mungkin sekarang dia bisa tiba-tiba merasa khawatir?
Pandangannya menatap keluar dari balik kaca. Aerin telah balik ke meja kerjanya. Anson terus mengamati gadis itu dari dalam ruangannya. Sesekali ia melihat Aerin tersenyum pada Andrea lalu saat Andrea pergi, gadis itu akan memijit-mijit batang lehernya dengan wajah terganggu.
Memang benar wajah Aerin pucat. Anson mendesah pelan kemudian memutuskan pandangannya dari gadis itu dan bersandar di kursi sambil berpikir. Entah kenapa Aerin yang sekarang berbeda dengan yang dulu yang dikenalnya. Ia terus memikirkan gadis itu bahkan sampai dokter Laras masuk ia tidak sadar.
"Dok, dokter?" ini yang ke-empat kalinya Laras memanggil-manggil baru dia sadar dari lamunannya.
"Kenapa?" Anson menatap sebuah map yang diulurkan Laras.
"Ini laporan pasien sakit jantung dikamar 87." jawab Laras.
"Letakan di atas meja. Aku akan memeriksanya sebentar." kata pria itu. Ia menatap Laras lagi karena dokter itu belum l pergi-pergi juga.
"Ada lagi?" ia kembali bertanya. Laras terlihat menunduk malu-malu membuat Anson merasa aneh.
"Mm, a ... Aku ingin mengundang dokter makan malam bersama malam ini. Dokter ada waktu?" Anson menyipit, ternyata gadis di depannya ini tidak tahu malu juga.
"Sorry, aku tidak terbiasa makan malam dengan orang yang tidak dekat denganku." tolak pria itu langsung dan menohok.
Sepertinya dia harus belajar bagaimana cara bicara dengan lembut. Lihat saja wajah Laras sudah memerah seperti tomat.
Laras berusaha tampak biasa meski dirinya malu sekali. Untung saja tidak ada orang lain di dalam ruangan itu, kalau tidak, dia sudah malu sekali sekali plus ditertawakan oleh rekan-rekannya.
"Bagaimana kalau dokter Aerin yang meminta anda makan malam bersama?" katakanlah rasa malu Laras sekarang sudah tidak ada lagi. Ia ingin mendengar apa jawaban pria itu kalau Aerin juga mengajaknya makan. Laras melihat dokter dihadapannya itu sedikit berpikir.
"Aku akan memikirkannya dua kali." jawab Anson. Laras merasa tidak terima. Ajakannya langsung di tolak tapi Aerin, dokter itu akan berpikir dua kali? Memangnya siapa perempuan itu?
"Kenapa?" tanpa sadar ia melontarkan pertanyaan itu.
"Karena Aerin adalah adik dari sahabatku. Sudah lama aku mengenalnya, kau pikir aku bisa menolaknya begitu saja?" lama-lama Anson kesal juga. Ada apa dengan perempuan di depannya ini? Sangat menyebalkan. Kalau tidak di masukan ke dalam timnya pun pasti dia tidak akan pernah kenal perempuan sok dekat ini.
Laras terdiam. Jadi Aerin dan Anson memang sudah saling kenal. Pantas saja ia memperhatikan Anson sering melihat Aerin dari ruangannya. Apa lelaki itu menyukai Aerin? Laras langsung merasa tidak senang.
"Dokter Laras, kalau kau tidak punya kepentingan lain, tolong silahkan keluar." usir Anson halus. Namun ekspresi wajahnya tegas. Mau tak mau Laras berbalik keluar dari ruangan itu.
Sialan, padahal ia ingin membuktikan pada yang lain kalau dirinya bisa mendekati sang anak pemilik rumah sakit ini, namun lagi-lagi ia harus kalah dari Aerin. Padahal nama Aerin sudah buruk di rumah sakit ini, tapi masih ada saja banyak laki-laki yang meliriknya.
***
Sorenya Aerin langsung memutuskan pulang. Seluruh badannya terasa lelah dan kepalanya pening. Ia butuh istirahat yang cukup. Pekerjaan hari ini memang sangat melelahkan, namun ia merasa di ancam oleh Anson jauh lebih melelahkan lagi.
Sampai di rumah, tidak ada satupun pembantu yang menyapanya atau sekedar menunduk hormat. Mereka malah menatapnya sinis. Pernah sekali Aerin mendengar mereka bercerita tentang dirinya yang sudah tidak di anggap anak lagi oleh kedua orangtuanya. Dan para pembantu itu juga bekerja sama untuk tidak menganggapnya lagi sebagai majikan.
Alhasil, sampai sekarang mereka terus bersikap cuek dan sinis padanya tiap kali dia ada di rumah. Dia bahkan harus membuat makanan sendiri di dapur karena makanan selalu langsung mereka buang tiap kali kedua orangtuanya habis makan. Mau itu pagi, siang atau malam.
Aerin tersenyum kecut. Tampaknya semua orang tidak menyukainya. Hanya Andrea teman yang peduli padanya.
Aerin menatap tajam seorang pembantu rumahnya yang yang mungkin seumuran dengan itu. Sejak masuk rumah tadi gadis itu terus menatapnya sinis seolah-olah dirinya adalah sang tuan rumah. Enak saja. Walau hubungannya dan kedua orangtuanya renggang, bukan berarti ia bisa diperlakukan seenaknya. Ia sudah mencoba cuek sebelumnya, tapi hari ini dirinya betul-betul sudah muak. Ia bukanlah seorang wanita lemah yang bisa ditindas begitu saja, dia selalu diam karena terlalu malas menghadapi orang-orang tidak penting itu. Tapi kalau sikap mereka sudah keterlaluan begini, dia tidak akan tinggal diam. Apalagi mereka hanyalah pembantu di rumah ini.
"Apa maksudmu melihatku begitu?" tukas Aerin. Pembantu itu tidak menjawab, malah tersenyum sinis dan membalas tatapannya dengan berani. Emosi Aerin naik, tanpa pikir panjang ia langsung melempar sepatu yang dipakainya tadi ke arah sih pembantu dan tepat mengenai wajahnya.
"Lisi!"
beberapa pembantu rumah yang melihat berlari cepat ke arah pembantu perempuan bernama Lisi itu. Lisi menahan tangisnya karena merasa kesakitan di wajah.
"Nona, kau tidak bisa seenaknya memukuli Lisi seperti ini. Memangnya dia salah apa?" tegur salah satu pembantu tua yang biasa di panggil mbok Sarli oleh yang lain. Aerin tertawa sinis menatap mereka semua.
"Makanya, kalau tidak mau ditindas, jangan sok-sok an berkuasa di rumah ini. Sadar diri kalau cuma pembantu." semuanya tertunduk. Mereka merasa anak majikan mereka itu hari ini berbeda. Biasanya ia akan diam saja dan tidak menghiraukan mereka, tapi hari ini tindakannya cukup mengerikan.
"Kalian semua itu cuma pembantu di sini, nggak usah belagu."
"Sekali lagi aku dengar kalian merendahkanku di belakangku, aku tidak akan segan-segan mengusir kalian dari sini, paham?!
kata Aerin lagi sarkas. Para pembantu tersebut mengangguk takut-takut. Dan Aerin beranjak naik tangga menuju kamar sesudahnya.