Karena sebuah mimpi yang aneh, Yuki memutuskan untuk kembali ke dunia asalnya. Walaupun Dia tahu resikonya adalah tidak akan bisa kembali lagi ke dunianya yang sekarang. Namun, saat Yuki kembali. Dia menemukan kenyataan, adanya seorang wanita cantik yang jauh lebih dewasa dan matang, berada di sisi Pangeran Riana. Perasaan kecewa yang menyelimuti Yuki, membawanya pergi meninggalkan istana Pangeran Riana. Ketika perlariaannya itu, Dia bertemu dengan Para Prajurit kerajaan Argueda yang sedang menjalankan misi rahasia. Yuki akhirnya pergi ke negeri Argueda dan bertemu kembali dengan Pangeran Sera yang masih menantinya. Di Argueda, Yuki menemukan fakta bahwa mimpi buruk yang dialaminya sehingga membawanya kembali adalah nyata. Yuki tidak bisa menutup mata begitu saja. Tapi, ketika Dia ingin membantu, Pangeran Riana justru datang dan memaksa Yuki kembali padanya. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari Yuki dan Pangeran Riana. Semua di sebabkan oleh wanita yang merupakan bagian masa lalu Pangeran Riana. Wanita itu kembali, untuk menikah dengan Pangeran Riana. Ketika Yuki ingin menyerah, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Namun, sesuatu yang seharusnya menggembirakan pada akhirnya berubah menjadi petaka, ketika munculnya kabar yang menyebar dengan cepat. Seperti hantu di malam hari. Ketidakpercayaan Pangeran Riana membuat Yuki terpuruk pada kesedihan yang dalam. Sehingga pada akhirnya, kebahagian berubah menjadi duka. Ketika semua menjadi tidak terkendali. Pangeran Sera kembali muncul dan menyelamatkan Yuki. Namun rupanya satu kesedihan tidak cukup untuk Yuki. Sebuah kesedihan lain datang dan menghancurkan Yuki semakin dalam. Pengkhianatan dari orang yang sangat di percayainya. Akankah kebahagiaan menjadi akhir Yuki Atau semua hanyalah angan semu ?. Ikutilah kisah Yuki selanjutnya dalan Morning Dew Series season 3 "Water Ripple" Untuk memahami alur cerita hendaknya baca dulu Morning Dew Series 1 dan 2 di profilku ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Tiga hari berlalu, dan hasil tes kehamilan selalu menunjukkan hal yang sama—Yuki hamil. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang tak bisa ia kendalikan. Bagaimana mungkin ia bisa memberi tahu Pangeran Riana tentang kehamilannya? Pangeran Riana, yang begitu keras dan penuh tuntutan, pasti akan semakin memperkuat cengkeramannya. Yuki tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Pangeran Riana.
Sementara itu, Putri Marsha tampaknya semakin berani dalam menunjukkan kehadirannya. Ia sering datang ke istana Pangeran Riana tanpa penghalang, seakan tak ada lagi halangan antara dirinya dan Pangeran Riana. Yuki merasa tertekan, bukan hanya oleh kehamilannya yang harus disembunyikan, tetapi juga oleh kedekatan yang tampak semakin nyata antara Pangeran Riana dan Marsha.
Yuki terdiam di ambang pintu kamar mandi, kepalanya masih terasa berputar setelah muntah tadi pagi. Tubuhnya lemas, tapi seketika menjadi tegang ketika melihat Pangeran Riana berdiri di depan pintu. Di tangannya, Riana memegang empat alat tes kehamilan yang telah Yuki coba dan buang dengan diam-diam. Yuki tidak tahu sejak kapan Riana mengetahui ini, apalagi memungut alat-alat itu.
“Apa ini ?” suara Pangeran Riana terdengar dingin dan penuh kendali, matanya menatap tajam ke arah Yuki. “Kau memakainya diam-diam selama tiga hari belakangan ini, Yuki.”
Yuki menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya meski hatinya berdebar keras. Dia tahu Pangeran Riana tidak sepenuhnya memahami alat tes yang dipegangnya.
“Itu… alat dari duniaku,” jawab Yuki pelan, sambil mengalihkan pandangan dari Pangeran Riana. “Untuk mengetes kesehatanku. Jangan terlalu dipikirkan” kata Yuki lagi mencoba menutupi kehamilannya entah sampai kapan.
“Jika Kau sakit aku akan meminta Serfa sendiri untuk memeriksamu” kata Pangeran Riana sambil menyentuh dahi Yuki yang panas.
“Tidak perlu” tolak Yuki cepat. Dia tidak kau kehamilannya diketahui orang lain.
Pangeran Riana menatap Yuki dengan curiga, namun tidak memaksa. Ia menarik tangannya perlahan dari dahi Yuki, tapi jelas belum sepenuhnya puas dengan jawaban Yuki.
“Kau terlihat lemah, Yuki,” ucapnya dengan nada khawatir yang jarang terdengar. “Aku tak mau mengambil risiko jika ini tentang kesehatanmu. Jika kau menolak Serfa, setidaknya biarkan aku yang menjagamu.”
Yuki menunduk, mencoba menghindari tatapan Pangeran Riana. “Aku hanya butuh istirahat,” jawabnya pelan, berharap Pangeran Riana tidak akan menekan lebih jauh.
“Ada apa pangeran pagi pagi masih disini ?” Kata Yuki mencoba mengalihkan perhatian.
Pangeran Riana menjawab “Kita akan makan bersama teman-temanku pagi ini. Jika Kau cukup sehat tentunya”
Yuki terdiam sejenak, lalu memaksakan senyum kecil. “Aku bisa ikut,” katanya, meskipun tubuhnya masih terasa lemah dan mual masih menghantui.
Pangeran Riana memandangnya dengan sedikit keraguan. “Aku tidak ingin memaksamu, tapi jika kau merasa bisa… aku akan menunggumu di ruang makan,” ujarnya sambil menyentuh bahu Yuki sebentar sebelum beranjak keluar.
Saat pintu menutup di belakangnya, Yuki menghela napas panjang. Ia tahu bahwa semakin sulit baginya untuk berpura-pura baik-baik saja, terutama dengan kondisi yang semakin sulit disembunyikan. Pertemuan dengan teman-teman Pangeran Riana, ditambah kehadiran Putri Marsha, akan menambah tekanan di tengah kebingungannya tentang kehamilan ini.
...****************...
Saat Yuki berada di meja makan yang ada di taman
Pangeran Riana menarik kursi untuk Yuki disampingnya. Membuat Putri Marsha menprotes “itu tempat dudukku”
“Aku disini saja” kata Yuki menarik kursi duduk dekat dengan Bangsawan Asry.
“Yuki” panggil Pangeran Riana tidak senang.
Yuki merasa tegang, tetapi dia tidak ingin memperkeruh suasana. Dia menunduk, tersenyum tipis pada Bangsawan Asry sebelum mengambil tempat duduk. “Aku lebih nyaman di sini, Pangeran,” jawabnya lembut, mencoba meredakan ketegangan yang mulai muncul di antara mereka.
Pangeran Riana menatap Yuki tajam, suaranya rendah namun tegas. “Yuki,” panggilnya sekali lagi, kali ini lebih menuntut. “Duduk di sini.”
Yuki menelan ludah, merasakan tatapan semua orang tertuju padanya. Dengan perlahan, dia berjalan menuju tempat duduk yang telah ditarik Pangeran Riana. Dia tahu Pangeran Riana tidak suka dibantah, apalagi di depan banyak orang.
Begitu dia duduk di samping Pangeran Riana, sang pangeran menyelipkan tangannya ke punggung Yuki, mendekatkannya dengan sikap yang tampak posesif. Putri Marsha mendengus pelan, jelas terlihat marah, tapi tidak berani melawan di depan Pangeran Riana.
“Jangan pernah membantahku di depan orang lain, Yuki,” bisik Pangeran Riana di telinganya, suaranya dingin namun mengandung peringatan yang halus.
Bangsawan Voldermon menarik kursi di sebelah Yuki, tersenyum hangat saat duduk. “Selamat pagi, kucing kecil. Apa kabarmu hari ini?” tanyanya dengan suara ramah, meskipun ia jelas menyadari ketegangan di antara Yuki dan Pangeran Riana.
Yuki tersenyum tipis, berusaha tetap sopan meskipun hatinya terasa berat. “Aku baik-baik saja, terima kasih.”
Pangeran Riana melirik tajam ke arah Bangsawan Voldermon, tidak senang melihat keakraban itu. “Voldermon, bagaimana dengan bisnis keluarga yang kau bicarakan kemarin?” tanyanya, mencoba mengalihkan percakapan dari Yuki.
Namun, Bangsawan Voldermon hanya tertawa ringan. “Oh, itu urusan yang bisa ditunda. Aku lebih tertarik mendengar bagaimana keadaan Putri Yuki hari ini.”
Putri Marsha dengan sengaja memperlihatkan kedekatannya dengan Pangeran Riana, berusaha menarik perhatian semua orang yang ada di meja. Dia tersenyum manis sambil mengambilkan makanan untuk Pangeran Riana. “Kau harus mencoba ini, Riana. Makanan favoritmu,” katanya dengan suara lembut.
Yuki hanya bisa diam, mengamati tanpa banyak bereaksi. Meskipun hatinya terasa sesak melihat pemandangan itu, dia menahan perasaannya. Pangeran Riana tampak tidak terlalu memperhatikan perhatian Putri Marsha, meskipun ia tidak menolaknya.
Sementara itu, Bangsawan Voldermon tampak sedikit tidak nyaman dengan suasana di antara mereka. Dia melirik Yuki dan tersenyum kecil, seolah-olah memahami perasaan Yuki tanpa perlu mengatakannya.
Pangeran Riana akhirnya melirik Yuki, ekspresi wajahnya keras, seolah-olah menunggu reaksi dari Yuki, namun Yuki tetap tenang dan menjaga sikapnya. “Kau tidak lapar, Yuki?” tanyanya tiba-tiba, suaranya rendah namun mengandung nada perintah.
Yuki menggeleng pelan, “Aku sudah makan sedikit tadi. Terima kasih.”
Bangsawan Voldermon mengeluarkan sebuah buku bersampul kulit yang tampak tua namun terawat dengan baik, lalu menyerahkannya kepada Yuki. “Aku ingat kau pernah membicarakan minatmu pada sejarah negeri ini,” katanya lembut.
Yuki menerima buku itu dengan antusias. Ketika dia membukanya, senyum kecil muncul di wajahnya saat melihat isinya—sebuah koleksi teks kuno yang menggambarkan sejarah dan budaya kerajaan-kerajaan lama di dunia tersebut, termasuk legenda-legenda yang pernah ia dengar sepotong-sepotong. Ada juga catatan mengenai sosok Ciel.
“Ini luar biasa,” bisik Yuki, pandangan matanya berbinar.
Bangsawan Voldermon tersenyum, senang bisa membuat Yuki merasa sedikit lebih baik. “Aku tahu kau akan menyukainya.”
Sementara Yuki terlarut dalam buku itu, Pangeran Riana memperhatikan interaksi mereka dengan tatapan tajam.
“Bangsawan Asry yang memilihkannya Kau harus berterimakasih padanya Yuki.”
Yuki menoleh ke arah Bangsawan Asry, memberikan senyum yang tulus dan hangat—sesuatu yang sudah jarang terlihat di wajahnya belakangan ini. “Terima kasih banyak, Bangsawan Asry. Ini benar-benar hadiah yang indah,” ucapnya dengan nada penuh apresiasi.
Bangsawan Asry membalas senyuman itu, tampak lega dan senang melihat Yuki sedikit lebih ceria. “Aku senang kau menyukainya, Putri. Aku pikir itu akan membantumu, mengingat betapa berharganya pengetahuan yang ada di dalam buku itu.”
Sementara itu, Pangeran Riana menyadari perubahan ekspresi Yuki, namun hal itu tidak membuatnya lega. Dia merasakan kehangatan dalam senyum Yuki yang ditujukan kepada Bangsawan Asry, senyum yang belum pernah dia terima akhir-akhir ini. Hal itu membuatnya merasa semakin terganggu, tapi dia tetap menahan diri untuk tidak berkomentar.
Pikiran Pangeran Riana terganggu oleh kata-kata Raja Bardhana yang terus terngiang di telinganya. Yuki memang mempesona, dan seperti ibunya, Yuki pasti memiliki keyakinan kuat dalam hal kesetiaan. Raja Bardhana telah mengingatkan bahwa Yuki tidak akan menerima keberadaan wanita lain dalam hidupnya. Satu pelanggaran, dan Yuki mungkin akan menarik banyak pria lain seperti Pangeran Sera yang bersedia berjuang demi dirinya.
Tatapan Pangeran Riana jatuh pada Yuki yang masih asyik berbincang dengan Bangsawan Asry, senyum lembut menghiasi wajahnya. Ketegangan dalam hati Pangeran Riana semakin memuncak. Ia tidak bisa membiarkan Yuki menjauh, tapi di sisi lain, ia merasa ada jarak yang semakin terbentang di antara mereka, terutama dengan kehadiran Putri Marsha yang semakin sering di sekitarnya.
Kata-kata ayahnya itu seperti peringatan keras: Yuki bisa dengan mudah menemukan seseorang seperti Sera, atau bahkan lebih, jika Riana tidak bisa menjaga kesetiaannya.
Pangeran Riana merasa keyakinannya kuat—ia hanya mencintai Yuki, dan itulah yang selalu ia pegang teguh. Namun, ia sadar bahwa keputusannya membiarkan Putri Marsha mendekatinya demi strategi politik kini berbalik menjadi bumerang. Menggunakan Marsha sebagai tameng untuk mengalihkan perhatian musuh-musuhnya sebenarnya adalah cara Riana melindungi Yuki, namun tanpa disadarinya, hal itu malah menciptakan kesalahpahaman dan jarak antara dirinya dan Yuki.
Melihat Yuki yang tersenyum lebar kepada Bangsawan Asry, perasaan tidak nyaman dan ketakutan menguat dalam hati Riana. Meskipun Yuki adalah segalanya baginya, Riana khawatir bahwa tindakan-tindakannya yang tidak pernah dijelaskan dengan baik telah membuat Yuki merasa tak diinginkan atau, lebih buruk lagi, bahwa Yuki menganggap cintanya tidak cukup kuat untuk mengatasi penghalang di antara mereka.