Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Bab 1 : Fanny

Pagi itu, burung-burung berkicau lebih berisik dari biasanya. Kopi hitam yang baru saja aku seduh terletak di atas meja seorang polisi sekaligus psikiater. Aku adalah polisi dan psikiater itu, namaku Fikri. Gelarku, Dr. Ahmad Fikriyansyah, Sp.KJ. Aku juga seorang perwira di kepolisian dengan pangkat AKP.

Aku duduk bersandar di kursi kerjaku, sambil membaca berkas-berkas kriminal yang pernah menjadi pasienku. Ada satu berkas yang sangat menarik. Sudah ada dua orang psikiater yang menangani kasus ini, namun semuanya berakhir buntu. Kasus ini benar-benar membuatku penasaran. Seorang gadis berumur 18 tahun membunuh adik tirinya sendiri. Motifnya masih belum terkuak, tetapi diketahui gadis ini memiliki riwayat penyakit kepribadian ambang atau biasa disebut borderline.

Detik jam dinding di ruangan ini berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku menanti surat tugas dari atasanku untuk segera berangkat menuju RSJ di Kota Batara. Tadi malam, atasanku menelpon bahwa kasus ini harus diserahkan kepadaku.

Aku sudah pamit kepada istriku untuk pergi beberapa bulan untuk urusan pekerjaan. Walaupun istriku merasa berat melepaskanku, dia akhirnya mengizinkanku pergi karena seorang polisi dan juga dokter harus bersikap profesional.

Telepon genggamku berdering. Aku melihatnya, ada nama AKBP Sunaryo, atasanku.

"Pagi, Pak."

"Pagi, surat tugas sudah dikirimkan dalam bentuk PDF. Cek dan segera berangkat, Dr. Fikri. Kasus ini harus selesai dalam jangka waktu enam bulan."

"Baik, Pak. Saya akan segera berangkat."

Aku segera membuka email dan mendownload surat tugas tersebut. Setelah memeriksanya dengan teliti, aku mulai bersiap-siap untuk perjalanan ke RSJ di Kota Batara. Barang-barang sudah aku kemas sejak semalam, jadi aku hanya perlu mengambil koper dan berangkat.

Perjalanan ke Kota Batara memakan waktu sekitar enam jam. Sesampainya di sana, aku langsung menuju RSJ yang menjadi tempat penanganan kasus ini. RSJ Kota Batara adalah rumah sakit jiwa terbesar di kota ini, dengan fasilitas yang cukup lengkap untuk menangani berbagai jenis gangguan kejiwaan.

Aku disambut oleh Dr. Irma Yuliani, M.Psi., Psikolog. Direktur RSJ Kota Batara. Dia menyambutku dengan hangat dan sikap ramah.

"Selamat datang, Dr. Fikri. Apakah perjalanannya menyenangkan?" tanya Dr. Irma basa-basi.

"Seperti biasa, Dr. Irma," kataku dengan senyuman di bibirku.

"Anda bisa beristirahat dulu, setelah itu aku akan menjelaskan mengenai latar belakang pasien," ucap Dr. Irma.

Aku segera menuju sebuah kamar untuk beristirahat, sambil membaca berkas dari gadis yang akan aku tangani. Namanya Fanny, seorang gadis berumur 18 tahun yang telah melakukan tindakan kriminal yang keji.

Setelah dua jam beristirahat, aku keluar dan menuju ruangan Dr. Irma. Beliau menyambutku dengan hangat dan segera menjelaskan mengenai latar belakang Fanny.

"Kasus ini memang sangat rumit. Gadis ini, namanya Fanny, sudah berada di sini selama enam bulan. Tidak ada kemajuan yang signifikan dalam penanganannya," kata Dr. Irma.

Dr. Irma mengajakku ke ruangan sel tempat Fanny berada. Gadis itu duduk di sudut ruangan, terlihat tenang tetapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik mata tajamnya. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang salah dari matanya. Tampak seperti dendam.

"Hati-hati, Dr. Fikri. Dia manipulatif," kata Dr. Irma.

Aku tersenyum kecil atas nasihat dari Dr. Irma. "Bolehkah aku masuk?" tanyaku.

"Silakan."

Aku masuk ke sel tempat Fanny dikurung. Wajah Fanny sangat anggun dan cantik, kulit tangannya sangat terawat, tidak ada bercak atau cacat sedikit pun. Gadis ini terlalu cantik untuk menjadi kriminal yang memiliki riwayat penyakit kejiwaan. Dia tidak tampak seperti seorang pembunuh.

Fanny menatapku dan tersenyum, senyum yang menghipnotis. Jika aku bertemu dengannya dalam kondisi normal, mungkin saja aku bisa jatuh hati pada pandangan pertama.

Dr. Irma melihatku dari luar, dia membawa anestesi yang sudah disiapkan di dalam sebuah jarum suntik, seandainya Fanny melakukan tindakan impulsif.

"Fanny, kan?" tanyaku.

Dia hanya diam dan tetap tersenyum memandangku.

"Aku Fikri, seorang psikiater yang ingin membantumu," kataku lagi ke arah Fanny yang masih tetap diam dan tersenyum.

"Membantuku?" tanyanya ke arahku.

Suaranya begitu lembut, membuat tubuhku merinding. Untuk pertama kalinya, aku gemetar karena menangani seorang kriminal. Ini tidak normal dan benar-benar membuat jantungku berdetak tidak karuan.

"Iya, membantumu. Aku ingin tahu sesuatu," ucapku gugup. Aku tetap berusaha tenang dan profesional di depan Fanny.

"Apa itu?" tanyanya ke arahku.

"Kenapa kamu membunuh adikmu?"

Fanny tiba-tiba tertawa dengan sangat keras. Aku sedikit kaget tetapi masih bisa mengendalikan diriku. Aku mundur selangkah untuk menjaga jarak, jika seandainya Fanny melakukan tindakan mengejutkan. Tiba-tiba dia menunjukku dengan jari telunjuknya.

"Kamu membantuku? Kamu? Kamu tidak akan bisa, bajingan!" teriaknya ke arahku penuh dengan kemarahan.

"Jujurlah pada perasaanmu, Fanny. Aku akan membantumu jika kamu mau bekerja sama," ucapku mencoba menenangkan amarahnya.

Perubahan perasaan hati secara intens. Sesuai isi berkas, dia adalah penderita BPD (Borderline Personality Disorder). Hingga lagi-lagi perubahan hatinya berubah, Fanny menangis tersedu-sedu, kemudian kembali marah dan berteriak.

"Aku cemburu dengan anak anjing itu! Reino selalu dekat dengannya! Sedangkan aku tidak dipedulikan olehnya! Sial, Sasya adalah anak anjing!" Dia menangis sembari memaki adik tirinya yang telah dia bunuh dengan keji.

Aku menatapnya dengan seksama, kemudian keluar dari sel dan kembali mengunci pintu sel itu.

"Bagaimana menurutmu, Dr. Fikri?" tanya Dr. Irma menunggu pendapatku.

"Aku belum bisa menyimpulkan," jawabku pendek.

Fanny berlari ke jeruji sel dan menggoyang-goyangkannya dengan sangat keras. Dia menatapku dan memohon kepadaku, "Aku mohon lepaskan aku, aku tidak bersalah," katanya diiringi dengan tangisan.

Aku menatap matanya, penuh dengan kesedihan dan penyesalan. Ada sesuatu yang belum bisa kujelaskan untuk sekarang.

"Cukup untuk hari ini, Dr. Irma. Mungkin mulai besok aku bisa bekerja sendiri," kataku ke arah Dr. Irma.

"Semoga saja Anda bisa menyelesaikan kasus ini, Dr. Fikri," kata Dr. Irma menyemangatiku.

"Terima kasih."

Aku pergi meninggalkan sel Fanny dan berjalan menjauh menuju ruangan kerjaku yang telah disiapkan oleh Dr. Irma. Menyiapkan sebuah rencana yang mungkin tidak disetujui, tapi aku akan mencobanya. Setelah selesai melakukan persiapan, aku menuju ke ruangan Dr. Irma.

Aku mengetuk pintu ruangannya dan izin masuk ke dalam ruangannya. "Dr. Irma, ada yang mau aku bicarakan," kataku dari luar ruangannya.

"Masuklah, Dr. Fikri," kata Dr. Irma.

Aku masuk ke dalam ruangan Dr. Irma dan mengungkapkan ideku, "Tempatkan aku di sel, tepat di sebelah sel Fanny. Buatkan jendela kecil yang bisa membuatku berkomunikasi dengan Fanny dari dalam sel," kataku.

Dr. Irma menatapku dengan tajam. "Maaf, itu tidak diizinkan."

Aku tahu pasti akan ada penolakan, tetapi aku tidak akan menyerah, karena aku harus mengobservasi Fanny dari dekat. Itu adalah salah satu solusinya.

Terpopuler

Comments

Reynata

Reynata

Suka sama penulisan gelar yang lengkap..

FYI : Psikolog beda ya sama Psikiater..

Walaupun sama-sama bergerak dalam ilmu kejiwaan, namun pendekatannya berbeda.

Psikolog tidak boleh meresepkan obat, sedangkan Psikiater boleh meresepkan obat..

source : Google, wkwk

2024-08-03

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!