Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syarat untuk Dibyo
Dibyo ternyata harus di rujuk ke rumah sakit, demam yang di deritanya adalah akibat dari tulang panggulnya yang retak saat terjatuh waktu itu.
Apalagi umur Dibyo yang sudah tua terdapat pengapuran pada tulangnya, membuat cideranya semakin parah.
"Gimana kondisi bapak saya Dok?" tanya Nina cemas.
Bagaimana pun Dibyo adalah ayahnya, tak mungkin dia bisa berdiam diri melihat orang tuanya menderita.
"Pak Dibyo harus segera di operasi Buk, tulang panggulnya harus di ganti dengan implan khusus," jelas sang Dokter membuat tubuh Nina limbung.
"Berapa kira-kira biayanya Dok?" tanya Nina ragu.
Dibyo yang mendengar kata operasi tak kuasa menangis, dia malu pada sang putri karena selalu merepotkannya.
"Aduh maaf Bu, masalah biaya saya kurang paham, sebaiknya ibu tanya ke bagian administrasi saja," pinta Dokter.
"Ya sudah Dok, jadi bapak saya harus melakukan rawat inap?"
Dokter mengangguk dan meminta perawat mengurus proses rawat inap Dibyo.
Saat sudah sampai di ruang rawat inapnya di kelas 3 yang berisi tiga ranjang yang lain, Dibyo berkata lirih pada Nina.
"Nin, maafkan bapak. Kalau memang memberatkan kamu, bapak tidak apa tidak di operasi, bapak malu sama kamu nduk," ujar Dibyo saat melihat Nina seperti tengah melamun.
Nina menghembuskan napas, saat dia bertanya pada bagian administrasi tadi, memang biaya yang akan di keluarkannya tak main-main.
Sekitar seratus juta untuk semuanya. Nina memang memiliki uang simpanan, tapi uang itu akan dia gunakan untuk modal usahanya kelak.
Dia sendiri tengah bingung hendak usaha apa, tak mungkin dia akan pergi lagi ke luar negeri dan meninggalkan putrinya.
Bahkan Nina juga harus menyiapkan dana untuk terapi psikologi Rima. Meski putrinya itu terlihat baik-baik saja, tapi Nina tau kadang anaknya sering merasa cemas, terlebih lagi jika melihat orang-orang yang pernah menyakitinya.
"Bapak sebenarnya kenapa?" tanya Nina penasaran.
Dibyo menatap atap rumah sakit, mengingat kejadian buruk yang menimpanya, terutama perlakuan keluarga istrinya yang justru tak peduli padanya.
"Bapak jatuh saat sedang mencuci Nin," jelasnya.
Nina mengernyitkan dahinya bingung dengan penjelasan sang ayah.
Seumur-umur Nina tak pernah melihat bapaknya melakukan pekerjaan rumah tangga, apalagi mencuci.
"Memang ngga ada yang mau nyuciin baju bapak?" sarkasnya.
Dibyo menghela napas, dia bimbang apa lebih baik memberitahu anaknya apa yang terjadi sebenarnya atau tidak.
Namun di satu sisi ia takut sang putri akan memisahkannya dengan sang istri yang masih di inginkannya. Dia tau meski Titik sering berlaku kejam padanya, tapi ia tak bisa melepaskan istri keduanya begitu saja.
"Jawab pak! Kalau enggak lebih baik kita pulang saja, percuma buang-buang uang!" ancamnya.
"Ka-kamu ngga mau ngobatin bapak Nin?" tanya Dibyo tak percaya.
Padahal tadi dia mengatakan malu karena merepotkan sang putri dengan menolak operasi, tapi saat Nina akan melakukan apa yang dia pikirkan, Dibyo justru ketakutan.
"Loh tadi bapak yang bilang kalau aku ngga usah mengoperasi bapak!" ketusnya.
"En-enggak gitu maksud bapak Nin, bapak merasa malu merepotkan kamu terus," ujarnya.
"Memang!" balas Nina, membuat Dibyo tersentak.
Dia tak menyangka sang putri masih menyimpan kekesalan padanya, sungguh Dibyo merasakan hatinya sakit melihat perlakuan putri kandungnya.
"Maafkan bapak Nin, tapi siapa lagi yang bisa bapak mintai tolong kalau bukan kamu," pintanya memelas.
Nina mendengus lalu menatap sang ayah yang terlihat sangat menyedihkan. Dia sedang memikirkan sesuatu, terpaksa dia harus melakukan ini karena dia tak ingin berurusan lagi dengan keluarga ibu tirinya.
"Sekarang pilihan ada di tangan bapak, Nina punya syarat untuk melanjutkan pengobatan bapak. Karena terus terang saja Nina belum menandatangani surat persetujuan operasi bapak," jelasnya.
Dibyo terperangah mendengar putrinya mengajukan syarat untuk mengobatinya. Dia tau syarat yang di ajukan pasti akan menyudutkannya dan dia tau apa yang di pikirkan putrinya.
"A-apa?" tanya Dibyo ragu. "Apa menolong bapakmu harus ada syaratnya Nin? Bapak ini orang tuamu satu-satunya," rajuk Dibyo.
Nina menatap sengit ke arah Dibyo, "bapak emang orang tuaku satu-satunya, tapi apa bapak berlaku selayaknya orang tua padaku?" ujarnya tajam.
"Terserah bapak, paling enggak Nina ngga mau rugi, cuma aku yang bisa nolong bapak. Aku, anak yang udah bapak sakiti sedemikian rupa nyatanya yang hanya bisa bapak harapkan!"
Dibyo bergetar, dia tak menyangka kemarahan anaknya tak main-main, meski ia tau kemarahan sang putri sangatlah wajar, mengingat perlakuannya pada sang cucu.
"Lalu, apa yang bisa bapak lakukan untuk menebus segalanya Nina?" lirihnya.
Sungguh Dibyo sudah merasa sangat kesakitan, jika bisa dia ingin segera pingsan, agar Dokter memaksa Nina segera melakukan tindakan operasi.
"Berpisahlah dengan Bu Titik pak!" pinta Nina tenang.
Sedangkan Dibyo, keringat sebiji jagung sudah keluar di dahinya. Meski ruangan itu berpendingin udara tapi suhu tubuhnya kepanasan karena permintaan sang putri.
"Astagfirullah Nduk, eling, kamu kenapa meminta bapakmu berpisah dengan Bu Titik. Kamu tau perceraian itu di benci oleh Allah Nin," ujarnya tak terima meski terbesit pemikiran itu sejak awal Nina mengucapkan syarat padanya.
Nina bangkit berdiri, mungkin dia akan di cap kejam karena tega memisahkan bapanya dengan istri keduanya.
Namun sakit di hatinya akibat kelakuan keluarga tirinya, membuatnya tega memberikan syarat pada sang ayah yang tengah kritis.
"Terserah bapak saja, kalau begitu Nina pamit, kalau Nina ngga menandatangani persetujuan operasi, sore nanti bapak harus pulang."
"Duh gusti Nina jangan tinggalkan bapak Nduk, kamu tega sekali dengan bapak, tolong berhenti dulu nduk," pinta Dibyo yang hendak bangun tapi tak mampu karena rasa sakit yang luar biasa di pinggangnya.
Terpaksa Nina berhenti di depan pintu, pasien lain yang mendengar perdebatan keduanya, merasa iba dengan Dibyo dan menyalahkan Nina.
Namun mereka memilih diam saja tak berkomentar, mereka hanya berbisik mengatakan jika Nina anak durhaka.
"Bapak setuju?" tanya Nina yang memilih tetap berdiri di ambang pintu.
"Ba-baiklah, tolong bawa ibumu ke sini Nduk, bapak harus bicara dengan dia," pintanya.
"Baiklah, setelah kita setuju aku akan membawa surat cerai bapa, barulah aku akan tanda tangan persetujuan operasi," ujar Nina lalu berlalu pergi dari sana.
Nina menghentikan langkahnya di taman rumah sakit. Dia tau dia sedikit kejam pada sang ayah, tapi tak ada yang bisa ia lakuan agar keluarganya terbebas dari Titik dan keluarganya.
Dia harus bersiap kembali untuk berperang melawan Titik yang pasti menolak berpisah dengan ayahnya.
Nina tau Titik ingin mempertahankan Dibyo bukan karena rasa sayang, melainkan wanita licik itu masih ingin mengeruk uang darinya dengan alasan sang ayah adalah kewajibannya.
Setelah puas menenangkan diri, Nina memilih pulang ke rumah, sudah terlalu lama dia meninggalkan Rima sendirian.
"Bu," panggil Rima dengan wajah lega.
"Kenapa? Kok kamu kaya ketakutan?"
"Tadi, Mbah sama Tante Tyas ke sini, tapi ngga Rima bukain pintu, Rima takut Bu," isaknya.
Ya Allah mau apa mereka, sebaiknya aku memiliki asisten rumah tangga untuk menemani Rima. Jika hanya mengandalkan Bu Wingsih sepertinya percuma, karena beliau pekerja lepas.
"Kamu di sini dulu ya, ibu mau ke rumah Ziva."
.
.
.
Tbc.