Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kak Siti
Alvian terlihat salah tingkah. Dia melihat Aisha dengan perasaan bersalah.
Namun lain halnya dengan Aisha yang justru tampak biasa saja, berjalan meninggalkan suaminya menuju dapur. Melanjutkan kegiatannya disana yang rupanya tengah memasak makanan.
Aisha melihat jika suaminya berjalan memasuki kamarnya.
'Sayang'
Aisha tersenyum getir. Rupanya dugaannya benar jika Dokter Anita adalah wanita yang dicintai suaminya.
Wanita yang membuat suaminya berjanji untuk tidak menyentuh dirinya.
Sakit. Luka di jiwa Aisha terasa semakin menganga lebar, hingga luka fisiknya tidak terasa lagi, tak sebanding dengan luka jiwanya yang semakin memerih.
***
Anita yang baru saja melakukan operasi Caesar berpapasan dengan Alvian yang juga baru selesai melakukan operasi.
"Bagaimana keadaan Aisha?" tanya Anita ketika keduanya duduk di bangku untuk beristirahat.
"Sepertinya sudah lebih baik."
"Pulang kerja nanti aku akan ke sana lagi untuk melihat lukanya."
Alvian hanya mengangguk. Sejurus kemudian dia ingat akan perkataan Aisha yang sudah mengetahui jika Anita adalah pacarnya.
Semua itu karena kecerobohannya, mengatakan secara tidak langsung jika Anita adalah pacarnya.
Alvian terdiam, dia tampak bingung haruskah membiarkan Anita bertemu dengan Aisha lagi setelah istrinya itu mengetahui jika Anita adalah wanita yang dicintainya.
"Dia sudah tahu jika kita mempunyai hubungan," ucap Alvian tiba-tiba membuat Anita kaget.
"Kamu memberitahunya?"
"Ya. Secara tidak langsung."
"Lalu bagaimana reaksinya."
"Biasa saja."
Anita mengerutkan keningnya.
"Sama sekali tidak marah?"
Alvian menggeleng.
Anita terdiam. Keduanya termenung.
"Aisha. Dia wanita istimewa Al," ucap Anita melirik kekasihnya.
Alvian menundukkan kepalanya. Dalam hati dia mengiyakan perkataan Anita. Aisha memang wanita istimewa, berpendirian dan cerdas.
Dia ingat setiap kali mereka bicara, selalu di akhiri oleh dirinya yang dibuat terpana akan semua lontaran jawaban istrinya, yang kadang menohok ke dalam hatinya.
"Aku akan tetap menemuinya nanti," ucap Anita mengagetkan Alvian.
"Apa sebaiknya kalian tidak bertemu lagi?"
Anita menggelengkan kepalanya.
"Tidak Al. Aku ingin tahu bagaimana sikapnya padaku setelah dia tahu jika aku ini adalah wanita yang kamu cintai."
"Baiklah. Terserah kamu." Alvian beranjak dari duduknya.
"Aku harus pergi dulu."
Anita mengangguk.
Dia memperhatikan Alvian yang berjalan meninggalkannya.
Alvian. Pria itu adalah cintanya. Keduanya sudah saling memiliki satu sama lain. Namun keadaan kini merubahnya, sang kekasih nyatanya sudah bukan miliknya lagi. Ada wanita lain yang lebih berhak akan dirinya dan itu adalah Aisha.
'Mencintai suami orang'
Itu kenyataannya kini, dan Anita tahu apapun alasannya semua yang dilakukannya salah.
Dia ingin segera menemui Aisha dan mengatakan sesuatu padanya.
***
"Ada apa Ummi?" tanya Aisha merasa jika sang ibu tengah merasa sedih, terdengar dari suaranya yang tidak seperti biasanya.
"Tidak Nak," jawab sang ibu di ujung telepon.
"Ummi, Aisha mohon jangan berbohong. Katakan ada apa?"
Hening sejenak.
"Nak. Kak Siti."
"Iya Ummi. Kenapa Kak Siti?"
"Kak Siti di poligami," ucap Ummi dengan ragu-ragu.
Aisha terdiam. Sudah tentu karena saking kagetnya.
Kini dia mendengar suara sang ibu sedang menangis di ujung telepon.
"Ummi. Jangan menangis," pinta Aisha juga sambil menahan tangisnya. Dia tahu jika sang ibu sedang mengalami kesedihan yang mendalam, walaupun tak pernah mengalami akan tetapi hampir semua wanita tahu bagaimana sakitnya di poligami, apalagi jika putri kandungnya sendiri yang mengalami.
Terdengar suara sang ibu mencoba menghentikan tangisnya.
"Ummi. Kak Siti sering meneleponku tapi kenapa dia tak pernah bercerita padaku."
"Dia tak ingin membuat kita sedih."
"Darimana Ummi tahu?"
"Kemarin suaminya datang dan meminta izin pada Abah untuk menikah lagi."
"Dan Abah pasti mengizinkan," ucap Aisha dengan yakin.
Tak terdengar jawaban dari sang ibu.
"Abah pikir poligami tidak dilarang dalam ajaran agama kita," jawab Ummi.
Aisha terdiam, yang dikatakan ibunya benar. Dia tahu jika ajaran Islam memperbolehkan untuk melakukan poligami dengan syarat-syarat tertentu pastinya salah satunya ialah sanggup berbuat adil kepada kesemua istrinya.
"Kak Siti bisa saja menolaknya kan Ummi? Dan Abah, bagaimana bisa mengizinkan? Apa Abah tak memikirkan bagaimana perasaan Kak Siti?"
Ummi terdiam, hanya terdengar helaan napas saja.
"Ummi. Aku akan menelepon Kak Siti dulu. Aku ingin menanyakan keadaannya."
"Iya Nak."
"Ummi, jangan banyak pikiran dan jangan sedih. Serahkan semuanya pada Allah. Aisha yakin jika Kak Siti akan baik-baik saja."
"Iya Nak. Teleponlah kakakmu dan ajaklah bicara, tanyakan bagaimana keadaannya, padamu kakakmu pasti akan jujur."
"Iya Ummi." Setelah mengucap salam Aisha langsung menutup teleponnya.
Aisha tampak akan langsung menelepon kakaknya tapi sayang berulang kali dia mencoba teleponnya tak jua diangkat oleh sang kakak.
Aisha diam termenung, seakan ikut merasakan rasa sakit yang mungkin kini sedang dialami kakaknya.
Walaupun sebenarnya nasibnya tak jauh berbeda dengan sang kakak, suami mereka berbagi cinta dengan wanita lain, tapi setidaknya Kak Siti lebih beruntung, suaminya menerima perjodohan mereka, menerima dan menyayanginya sebagai seorang istri, lain halnya dengan dirinya yang ditolak dan diabaikan mentah-mentah oleh suaminya. Dan mungkin saja nasib Aisha bahkan akan lebih buruk lagi, Alvian akan menikahi kekasihnya.
Bisa saja dirinya juga akan dipoligami, pikir Aisha.
Tiba-tiba dia dikagetkan oleh suara pintu kamarnya yang diketuk.
"Aisha ini aku," suara Dokter Anita di balik pintu.
Dokter Anita. Rupanya dia datang lagi untuk memeriksa luka Aisha.
Aisha segera membuka pintu, dengan ramah mempersilakannya untuk masuk.
"Bagaimana keadaanmu? Apa lukanya masih terasa sakit?" tanya Anita juga dengan ramah.
Aisha menggelengkan kepalanya. "Sudah lebih baik."
Anita meminta Aisha untuk membuka baju, kemudian dia memeriksa luka di punggungnya.
"Aku akan mengolesinya dengan salep lagi."
Anita tampak berhati-hati mengolesi punggung Aisha.
Setelah selesai, Aisha segera memakai pakaiannya, tak lupa dia juga mengucapkan terima kasih karena Anita sudah meluangkan waktunya yang sibuk untuk mengobati lukanya lalu Aisha mengajak Anita untuk keluar kamar karena akan menyajikan teh untuknya.
"Tidak perlu repot-repot. Aku juga akan segera pulang." Anita menatap Aisha.
"Tapi sebelumnya ada sesuatu yang ingin aku tanyakan dulu," lanjut Anita.
Aisha melihat Anita. Kedua mata mereka saling bertemu.
"Aisha. Apa kamu bahagia dengan pernikahanmu?"
Aisha tersentak namun kemudian dia tersenyum.
"Maaf. Saya tidak menceritakan masalah pribadi pada orang asing yang baru Saya temui."
"Aisha. Aku bukan orang asing buat Alvian. Kami sudah berpacaran cukup lama."
Lagi-lagi Aisha tersenyum.
"Saya tahu," ucapnya dengan santai.
"Lalu apa reaksimu?" tanya Anita heran melihat Aisha yang bersikap biasa saja.
"Memangnya anda ingin saya bagaimana? Memarahi anda? Menampar dan menjambak rambut anda?"
Anita terhenyak.
"Saya tidak akan seperti itu. Walaupun sebenarnya anda pantas mendapatkannya."