Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Keesokan paginya, suasana rumah keluarga Alvin dan Meyra tampak berbeda. Rheana berdiri di depan pintu kamar orang tuanya dan mengetuk pelan. Sudah hampir pukul delapan, tapi Meyra belum juga keluar kamar seperti biasanya. Rheana merasa heran.
"Mommy, ayo bangun. Sudah siang," panggil Rheana dengan suara lembut.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Alvin keluar dengan senyum tipis di wajahnya.
"Mommy sedang tidak enak badan. Jangan ganggu dulu ya, Rhe," katanya sambil mengusap kepala anaknya.
Rheana mengangguk pelan, meski masih penasaran. Alvin bergegas menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Dia memutuskan untuk mengantar anak-anak ke sekolah sendiri, sementara Rey, yang masih menjalani skorsing, ikut serta untuk menyerahkan tugas dan catatan kepada gurunya.
Setelah memastikan sarapan anak-anak sudah siap, Alvin membawa mereka ke sekolah. Dalam perjalanan, Rey duduk diam di kursi depan, memandangi jalanan kota yang mulai ramai.
"Papi, apa nanti setelah ini langsung ke kantor?" tanya Rey tiba-tiba.
Alvin menggeleng sambil tersenyum. "Tidak. Papi akan di rumah, menjaga mommy kalian."
Rey mengerutkan dahi. "Kenapa akhir-akhir ini papi sering di rumah? Biasanya papi kerja sampai malam. Apa papi sudah kena bucin sama mommy?" godanya.
Alvin tertawa kecil, melirik anaknya dengan tatapan tajam namun penuh kasih. "Anak ini, semua mau tahu."
Mereka tiba di sekolah Rey. Alvin turun dan masuk ke dalam untuk menyerahkan tugas Rey kepada guru-gurunya. Ketika dia hendak kembali ke mobil, sosok Pak Brian muncul di dekatnya. Alvin langsung menghampirinya.
"Pak Brian," sapa Alvin dengan nada serius. "Saya ingin minta tolong. Jangan pernah bercanda mengenai istri saya di depan Rey. Saya tidak suka. Apa pun yang terjadi di luar sana, itu masa lalu saya."
Pak Brian tersenyum ramah. "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud menyinggung. Saya hanya kagum dengan istri Bapak yang begitu membela Rey saat menghadapi masalah. Selain cantik, istri Bapak juga sangat penyayang pada anak-anaknya."
Alvin tidak menjawab. Dia hanya mengangguk singkat dan bergegas menuju mobil. Rey yang duduk di dalam mobil memperhatikan dari kejauhan dan tertawa kecil saat melihat ekspresi papi-nya yang terlihat cemburu.
Sesampainya di rumah, Alvin melepas dasi dan merebahkan diri di sofa. Tak lama kemudian, Meyra keluar dari kamar dengan rambut yang masih basah. Dia tampak segar, meski ada sedikit kelelahan di wajahnya.
"Maaf ya, Papi. Mommy bangunnya telat karena kurang enak badan," kata Meyra dengan senyum tipis.
Alvin bangkit dan mendekati istrinya. "Gak apa-apa, mommyku."
Perkataan Alvin membuat wajah Meyra memerah. Rey yang memperhatikan mereka dari tangga tertawa kecil.
"Rey mau belajar di kamar ya, Mommy. Tapi jangan lupa tanya papi kenapa dia gak kerja. Papi kena bucin akut kayaknya. Maunya deket mommy terus," goda Rey sambil masuk ke kamarnya.
Meyra menggelengkan kepala sambil tersenyum malu. Alvin tertawa kecil dan mengikuti istrinya ke kamar.
"Bagaimana semalam?" tanya Alvin dengan nada menggoda.
Meyra memalingkan wajah, malu. "Aku masih capek."
Alvin hanya tersenyum. "Itu hukuman karena terlalu ramah pada laki-laki lain."
Hari itu, Alvin mengambil hasil laboratorium. Seperti yang dia duga, hasilnya menunjukkan bahwa dia dalam kondisi sehat. Dia mengirimkan hasil lab tersebut ke Meyra melalui WhatsApp, disertai pesan: "Harap bersiap ya, sayang."
Meyra membaca pesan itu dan tersenyum tipis. Perlahan, dia mulai membuka hatinya untuk Alvin, meski kadang suaminya itu bisa sangat menyebalkan.
Menjelang siang, Alvin meminta Meyra untuk mengantarkan makan siangnya ke kantor. Meyra setuju, sementara Rey tetap tinggal di rumah.
"Rey, mommy ke kantor papi dulu ya. Jangan kemana-mana," kata Meyra sebelum berangkat.
Sesampainya di kantor Alvin, Meyra disambut oleh seorang sekretaris bernama Rina. Wanita itu berpenampilan menarik, dengan riasan yang cukup mencolok.
Meyra merasa risih melihatnya. Setelah Rina mengantar Meyra ke ruang kerja Alvin, dia tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.
"Apa memang seperti itu penampilan seorang sekretaris? Harus genit begitu?" tanya Meyra tajam begitu masuk ke ruangan Alvin.
Alvin yang sedang fokus pada laptopnya hanya melirik sebentar. "Ada masalah dengan Rina?"
Meyra mendesah panjang. "Apa dia pernah berkencan denganmu?"
Alvin menghentikan pekerjaannya dan menatap Meyra. "Kamu cemburu?"
Meyra berusaha menyangkal. "Aku hanya bertanya."
Alvin tersenyum. "Baiklah, besok sekretarisku kuganti dengan laki-laki kalau kamu cemburu padanya."
Meyra memutar matanya. "Aku cemburu? Jangan bercanda."
"Kalau begitu, Rina tetap jadi sekretarisku." Alvin bersandar di kursi dengan santai.
Meyra melipat tangan di dada. "Ya, terserah."
Alvin tertawa kecil, lalu berkata lembut, "Kalau kamu bilang cemburu sekarang juga, Rina akan kuganti."
Meyra terdiam sejenak. Dia tidak ingin memberikan kemenangan begitu saja pada Alvin. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada rasa cemburu yang tidak bisa dia pungkiri.
Hubungan mereka memang penuh dinamika, tapi bagi Meyra, kebahagiaan anak-anak adalah yang utama. Dan jika itu berarti dia harus lebih sabar menghadapi Alvin, maka dia akan melakukannya.
Meyra melangkah cepat menuju pintu ruangan Alvin. Tangannya sudah menyentuh gagang pintu ketika tiba-tiba Alvin menarik lengannya lembut. Meyra menoleh, wajahnya masih cemberut.
"Gitu aja marah, sayang?" Alvin tertawa kecil, menatap Meyra dengan tatapan yang penuh rasa sayang. "Baiklah, aku akan ganti Rina."
Meyra tetap diam, matanya menatap Alvin dengan tajam. Cemburu jelas terlihat dari raut wajahnya. Alvin tersenyum semakin lebar.
"Aku seperti ingin memakanmu melihatmu cemburu seperti ini," bisik Alvin, suaranya penuh godaan.
Meyra menghela napas panjang, berusaha keras untuk menenangkan diri. Meski hatinya kesal, ia tahu betul sifat suaminya yang suka menggoda. Tapi entah kenapa, kali ini rasa cemburu benar-benar menguasai dirinya.
"Sayang, jangan lupa nanti malam ya. Tolong selesaikan tugasmu." Alvin mengingatkan lembut, seolah tidak terjadi apa-apa.
Meyra menatap Alvin dengan ngeri. "Mana ciuman untukku?" Alvin menatapnya dengan ekspresi jahil.
Meyra hampir membuka mulut untuk memprotes, tetapi Alvin lebih cepat. Dengan lembut, Alvin mencium pipi Meyra.
"Hati-hati di jalan ya, sayang." Suaranya terdengar hangat dan menenangkan. Meyra hanya mengangguk pelan, hatinya sedikit melunak.
Saat Meyra melangkah keluar dari ruangan Alvin, Rina, sekretaris Alvin, mendekat dengan senyum yang sulit diartikan. Rina memiringkan kepala dan berkata pelan, "Apa kamu tahu sedalam apa hubungan aku dengan suamimu?"
Langkah Meyra terhenti seketika. Dadanya terasa sesak, dan tangannya mengepal erat. Ia menatap Rina tajam, tetapi tak ingin menimbulkan keributan di kantor suaminya.
Tanpa berkata apa-apa, Meyra langsung mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Alvin. Hanya butuh dua dering sebelum Alvin mengangkat.
"Sayang?" Suara Alvin terdengar ceria di ujung telepon.
"Tolong keluar dari ruanganmu sekarang." Meyra berusaha menahan emosinya, tetapi nada suaranya jelas menunjukkan rasa tidak nyaman.
Alvin terdiam sejenak. Ia kemudian tertawa kecil. "Kamu benar-benar cemburu ya? Oke, aku keluar sekarang."
Tak lama kemudian, Alvin membuka pintu dan keluar dari ruangannya. Pandangan Alvin langsung tertuju pada Rina yang masih berdiri di depan Meyra.
"Ada apa, sayang?" Alvin bertanya, menatap Meyra penuh perhatian.
Meyra menatap Rina tajam dan berkata, "Bisa tolong jelaskan sedekat apa hubunganmu dengan suamiku?"
Rina tersenyum percaya diri, melirik Alvin dengan tatapan menggoda. "Tolong beritahu istri tercintamu, sayang," katanya merayu.
Meyra semakin muak melihat tingkah Rina. Matanya tajam, menatap Alvin yang tampak salah tingkah.
Alvin menggaruk tengkuknya, merasa canggung di antara dua wanita ini.