Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Iri
Rani berdiri di sudut ruangan, menyaksikan semua yang terjadi dengan wajah yang sulit dibaca. Ia, seperti tamu lainnya, terpaku pada sosok Arga Mahendra Kusuma yang dengan dingin dan penuh otoritas membela Rara di depan banyak orang, termasuk ayahnya sendiri, Rendra Wijaya.
Namun, di dalam hatinya, emosi Rani bergolak. Selama ini, ia diam-diam mengagumi Arga, pria yang dikenal sebagai idola banyak wanita, termasuk dirinya. Arga tidak hanya tampan dan karismatik, tetapi juga memiliki kekayaan, pengaruh, dan kecerdasan yang membuatnya terlihat sempurna di mata siapa pun.
Rani selalu berharap bisa mendekatkan diri pada Arga, menjadikannya lebih dari sekadar kenalan keluarga. Ia sering mencari alasan untuk berbicara dengannya, meski hanya sebentar, berharap bisa menarik perhatian pria itu. Namun, kini, semua harapannya hancur begitu saja saat ia melihat bagaimana Arga, dengan begitu tegas dan protektif, membela Rara yang selama ini ia pandang rendah.
Saat Arga menarik Rara kembali ke tengah ruangan dan mengumumkan bahwa ia akan menjadikan Rara bagian dari keluarganya, senyuman tipis di wajah Rani menghilang. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi rasa iri yang tajam.
“Kenapa dia?” pikir Rani dalam hati, tangannya mengepal erat di samping tubuhnya. “Kenapa harus Rara, gadis yang bahkan tidak pantas berdiri di sisinya? Dia sudah meninggalkan keluarga ini. Apa yang membuat Arga begitu peduli padanya?”
Ketika Arga dan Rara meninggalkan ruangan, Rani menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan kekecewaan dan amarahnya. Ia tahu tidak ada gunanya berbicara sekarang, tetapi rasa tidak terimanya semakin membara.
Setelah tamu mulai berkurang, Rani mendekati ibunya Kartika Wijaya, yang juga terlihat tidak senang dengan situasi itu. “Ibu, kau lihat apa yang terjadi? Arga memilih Rara. Rara!”
Kartika menghela napas panjang, mencoba menenangkan putrinya. “Aku tahu, Rani. Tapi kau tidak boleh membiarkan ini membuatmu kehilangan kendali.”
“Bagaimana aku tidak marah, Bu?” desis Rani. “Dia pria yang seharusnya... dia seharusnya melihatku, bukan dia.”
Kartika memegang bahu putrinya dengan erat. “Arga bukan pria yang mudah dipengaruhi emosi, Rani. Dia membuat keputusannya dengan logika, bukan hati. Rara mungkin berhasil menarik simpatinya sekarang, tapi itu tidak berarti dia akan memenangkan segalanya. Kita hanya perlu waktu untuk membalikkan keadaan.”
Rani menatap ibunya, matanya penuh tekad. “Aku tidak akan membiarkan Rara merebut segalanya dariku, termasuk Arga.”
Malam itu, Rani mulai merencanakan langkah berikutnya. Kekagumannya pada Arga kini berubah menjadi obsesi. Ia bertekad untuk mendapatkan perhatian pria itu, bahkan jika itu berarti harus menjatuhkan Rara. Di benaknya, Rara tidak pantas berada di sisi Arga, dan ia akan memastikan bahwa hal itu tidak akan terjadi.
...****************...
Di dalam mobil mewah Arga, suasana terasa sunyi. Hanya suara mesin dan gemerisik jalanan yang terdengar. Rara duduk di kursi penumpang dengan tubuh yang lemas. Pandangannya kosong, menatap jalanan yang berlalu di balik jendela. Hatinya masih bergulat dengan kejadian di jamuan tadi.
Arga Mahendra Kusuma, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirik ke arah Rara. Ia jarang berbicara panjang, tetapi melihat Rara dalam keadaan seperti ini membuatnya merasa perlu mengatakan sesuatu.
“Aku Arga Mahendra Kusuma,” katanya akhirnya, memecah keheningan. Suaranya tegas namun tidak terlalu keras. “Pemilik Kusuma Corporation.”
Rara menoleh perlahan, hanya sekilas, lalu kembali menatap jendela. “Hmm,” gumamnya tanpa emosi, seolah tidak tertarik dengan informasi itu.
Arga meliriknya lagi, merasa heran dengan responsnya. Tidak banyak orang yang bisa bersikap sedingin itu padanya, terutama setelah apa yang baru saja ia lakukan. “Itu saja reaksimu?” tanyanya, nada suaranya terdengar setengah penasaran, setengah mengejek.
Rara mengangkat bahu tanpa menoleh. “Aku sudah tahu siapa kau. Semua orang tahu. Tidak perlu perkenalan.”
“Kalau begitu, aku tidak perlu repot-repot menjelaskan” balas Arga, kembali fokus pada jalanan di depan.
Rara menghela napas panjang, akhirnya menoleh untuk menatap pria itu. “Arga, aku tahu kau punya alasan sendiri untuk membantuku. Tapi aku tidak meminta bantuanmu. Aku tidak butuh penyelamat.”
Arga berhenti sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. “Mungkin kau tidak meminta,” jawabnya datar. “Tapi seseorang harus melakukannya. Dan aku memilih untuk itu.”
Rara terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Arga yang membuatnya sulit untuk membantah.
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa,” gumam Rara akhirnya.
“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa,” ucap Arga sambil menurunkan kecepatan mobilnya saat lampu merah menyala. “Cukup duduk di sini, dan pikirkan apa yang akan kau lakukan selanjutnya. ”
Rara menatap pria itu dari samping, mencoba memahami maksud di balik sikap dinginnya. Tapi, seperti biasa, Arga tetap menjadi misteri—datar, dingin, namun di baliknya, ada sesuatu yang terasa seperti perlindungan.
Perjalanan dilanjutkan dalam keheningan. Rara kembali menatap jalanan, namun kali ini pikirannya mulai dipenuhi dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Arga Mahendra Kusuma, pria yang begitu dingin namun rela membantunya? Dan mengapa ia merasa, di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang tulus?