Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Cahaya yang Menyentuh Hati
Setelah pertarungan melawan bayangan kegelapan, Elarya merasa tubuhnya lelah, namun ada perasaan yang lebih kuat mengalir di dalam dirinya—perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Cahaya yang ada di dalam dirinya telah membimbingnya untuk mengalahkan kegelapan, tetapi kini ada satu hal yang semakin jelas terasa. Sesuatu yang telah lama terpendam. Sesuatu yang menyentuh hatinya dengan lembut. Sesuatu yang berhubungan dengan Kael.
Mereka berjalan dalam keheningan, langit malam yang cerah menambah kedamaian, seolah-olah dunia memberikan mereka sedikit waktu untuk bernapas setelah pertempuran yang mematikan itu. Namun, meski terlihat tenang, Elarya merasa ada sesuatu yang menggema di dalam dadanya, seakan setiap langkahnya membawa perasaan itu lebih dekat. Perasaan yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Kael berjalan di sampingnya, matanya tetap waspada, tetapi ada sesuatu yang berbeda di wajahnya—sesuatu yang menunjukkan perhatian yang lebih mendalam dari biasanya. Elarya bisa merasakannya, meskipun mereka tidak saling berbicara. Mungkin karena rasa kepercayaan yang telah mereka bangun bersama dalam perjalanan ini, atau mungkin karena keduanya telah melewati banyak hal bersama. Yang jelas, ada sesuatu yang mengikat mereka lebih erat dari sekadar rekan seperjalanan.
Elarya memandang ke samping, melihat Kael dengan matanya yang tajam dan penuh tekad. Di balik ketegasan itu, ada sisi lembut yang jarang ia tunjukkan. Sejak pertama kali bertemu, Kael selalu tampak seperti seorang pejuang yang tak terkalahkan. Namun, semakin mereka berjalan bersama, semakin ia menyadari bahwa di balik kekuatan itu, ada seorang pria dengan hati yang penuh perhatian dan melindungi.
“Kael,” Elarya memulai, suara lembutnya sedikit bergetar, “terima kasih... atas segala yang telah kau lakukan. Aku tahu perjalanan ini tidak mudah, dan aku... aku tidak tahu bagaimana menghadapinya tanpa bantuanmu.”
Kael menoleh padanya, matanya bertemu dengan matanya yang penuh kepercayaan. Tanpa kata, ia memberikan senyum yang tulus—sesuatu yang langka dan sangat berarti bagi Elarya. Senyum itu membuat Elarya merasakan sesuatu yang hangat mengalir dalam dirinya.
"Jangan bilang begitu," Kael menjawab, suara rendah dan hangat. "Aku selalu di sini untukmu, Elarya. Kita berjuang bersama. Tidak ada yang perlu terima kasih. Itu sudah menjadi tugas dan kehormatanku."
Elarya tersenyum kecil, tetapi hatinya berdebar lebih cepat. Perkataan Kael, sederhana namun penuh makna, menggetarkan sesuatu di dalam dirinya. Selama ini, ia selalu merasa sendirian, terutama setelah segel cahaya itu terbangun dalam dirinya. Tetapi kini, dengan Kael di sampingnya, ia merasa sedikit lebih kuat, sedikit lebih mampu menghadapi apa pun yang datang.
Mereka terus berjalan, melewati hutan yang semakin gelap, hanya diterangi oleh cahaya lembut dari segel yang menyala. Sesekali, angin malam berbisik di antara daun-daun pohon, membawa aroma segar yang menyegarkan pikiran. Tanpa disadari, langkah mereka semakin dekat, dan Elarya merasa jarak antara dirinya dan Kael semakin menyempit.
Tiba-tiba, Kael berhenti. Elarya menoleh padanya, bingung. “Ada apa?”
Kael menatapnya dengan tatapan yang dalam, seolah-olah menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya. Dalam sekejap, ia melangkah mendekat, jarak di antara mereka semakin dekat.
“Kael?” Elarya merasa ada sesuatu yang aneh, jantungnya berdegup kencang.
Kael tidak menjawab, malah memegang kedua bahunya dengan lembut. "Elarya," katanya, suara rendah dan penuh ketulusan. "Aku tahu kita sedang dalam perjalanan yang berbahaya, dan kita berdua harus fokus pada apa yang ada di depan kita. Tetapi... aku tidak bisa lagi menahan perasaan ini."
Elarya merasakan napasnya tercekat. Perasaannya bercampur aduk antara kebingungan dan keinginan untuk mendengarkan lebih jauh. Namun, sebelum ia bisa mengucapkan sepatah kata pun, Kael melanjutkan.
"Aku tidak tahu kapan semuanya dimulai, tetapi setiap langkah kita, setiap perjuangan yang kita hadapi, aku merasa semakin terhubung denganmu. Aku tidak hanya melihatmu sebagai seorang pejuang, Elarya. Aku... aku mulai merasa ada sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang lebih dari sekadar teman seperjalanan." Kael menarik napas panjang. "Aku merasa—aku merasa terjatuh padamu."
Elarya terdiam, mulutnya terkunci, namun hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. Kegelisahan dan harapan bercampur aduk dalam dirinya. Ia tahu bahwa Kael bukanlah orang yang mudah mengungkapkan perasaannya. Jika ia mengatakan ini sekarang, itu berarti perasaan itu sungguh nyata.
Kael menundukkan kepalanya sejenak, seolah merasa ragu. “Aku... aku tidak tahu apakah kamu merasakannya juga, tetapi aku hanya ingin kamu tahu. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap ada untukmu, Elarya.”
Waktu seakan berhenti sejenak. Elarya merasa seluruh dunia menghilang, hanya ada dirinya dan Kael dalam hening yang penuh dengan makna. Cahaya yang memancar dari segelnya seolah meredup, memberikan ruang bagi kedekatan yang semakin nyata di antara mereka.
Elarya menatap Kael, matanya mencari tahu. Dan akhirnya, dengan hati yang penuh perasaan, ia membuka mulut, suara yang keluar lembut dan penuh keraguan. “Kael... aku juga merasakannya. Aku merasa... dekat denganmu. Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan bahwa kita lebih dari sekadar sekutu. Dan aku tidak ingin kehilangan ini. Aku tidak ingin kehilangan kamu.”
Kael tersenyum, senyuman yang penuh kelegaan. Perlahan, ia meraih tangan Elarya, menggenggamnya dengan lembut namun penuh keyakinan. “Kita akan melalui semuanya bersama. Aku janji, Elarya.”
Tanpa kata-kata lagi, mereka saling mendekat, dan Elarya merasakan sentuhan lembut di wajahnya, sebelum Kael perlahan menundukkan wajahnya. Saat bibir mereka hampir bersentuhan, Elarya merasakan getaran di dalam tubuhnya. Cahaya yang ada dalam dirinya memancar lebih terang, bukan karena ancaman atau kekuatan yang mengerikan, tetapi karena perasaan yang baru tumbuh—perasaan yang lembut dan penuh kasih.
Dan saat itu, dalam keheningan malam yang indah, mereka berbagi ciuman pertama mereka—ciuman yang menyatukan dua hati yang telah melewati banyak hal bersama. Dalam pelukan itu, Elarya merasa seolah-olah dunia berhenti berputar, hanya ada mereka berdua, cahaya yang mereka bawa, dan janji untuk tetap bersama.
Malam itu, mereka tahu satu hal pasti—apapun yang akan datang, mereka akan menghadapinya bersama. Karena cahaya yang menyinari dunia juga telah menemukan tempat di hati mereka.
Ciuman itu masih terasa hangat di bibir Elarya, meskipun Kael perlahan melepaskan pelukannya. Waktu terasa seperti terhenti dalam keheningan yang mendalam, seperti dunia ini hanya milik mereka berdua. Elarya merasakan cahaya dalam dirinya bersinar lebih terang, seolah merespons perasaan yang baru saja ia alami. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekuatan. Sesuatu yang berharga. Sesuatu yang menghubungkannya dengan Kael lebih dari sekadar sekutu dalam pertempuran.
Kael menarik napas dalam-dalam, matanya penuh kebingungan, namun juga kehangatan yang tak terbantahkan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Elarya,” katanya pelan, suaranya masih menggema di udara malam yang sepi. “Tapi aku ingin melangkah bersamamu. Selama ini aku selalu merasa... terikat pada misi ini. Tetapi, setelah aku melihat kamu... aku tahu aku ingin lebih dari itu. Aku ingin berjalan bersamamu, tidak hanya sebagai pejuang, tapi sebagai teman, sebagai sesuatu yang lebih.”
Elarya menatap Kael dengan mata penuh pengertian. Ia tahu bahwa kata-kata Kael bukan sekadar pengakuan biasa. Ada kejujuran dalam nada suaranya yang menggetarkan hatinya. Terkadang, kata-kata tidak cukup untuk menggambarkan apa yang ada di hati, namun melalui tatapan ini, mereka bisa saling memahami.
“Elarya,” Kael melanjutkan, suaranya sedikit lebih rendah, “apapun yang kita hadapi nanti, aku ingin kamu tahu—aku akan selalu ada di sini, untuk kamu.”
Perasaan itu kembali menghampiri Elarya. Perasaan yang meluap dan tak bisa ia kendalikan. Di tengah kekacauan dunia dan ancaman yang semakin besar, ada satu hal yang ia tahu pasti—kael adalah bagian dari takdirnya. Takdir yang tak hanya melibatkan segel cahaya yang ada di tangannya, tetapi juga hubungan yang mulai tumbuh di antara mereka. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi kebingungan. Hanya ada satu kata yang bergema dalam hatinya: bersama.
“Kael,” Elarya berkata dengan suara yang penuh ketegasan namun juga kelembutan, “Aku tahu kita tidak bisa menghindar dari kegelapan yang akan datang. Tapi jika kita melangkah bersama, aku yakin kita bisa menghadapinya. Tidak ada yang bisa menghentikan kita jika kita bersatu.”
Kael tersenyum mendengar perkataan Elarya. Senyum itu membuat jantung Elarya berdebar lebih kencang. Dengan hati yang penuh, mereka saling memandang satu sama lain, seakan dunia ini tidak lebih dari sekadar ruang kosong yang hanya diisi oleh keduanya. Kegelapan dan ancaman yang datang menjadi lebih kecil ketika mereka tahu, mereka tidak sendirian. Mereka punya satu sama lain.
Lembut, Kael menyentuh pipi Elarya dengan ujung jarinya, seolah ingin menghapus semua keraguan yang tersisa di hatinya. “Aku selalu ada di sampingmu,” kata Kael, lebih tegas kali ini. “Tidak peduli apapun yang akan terjadi.”
Elarya mengangguk, merasa kekuatan baru mengalir dalam dirinya. Cahaya di dalam dirinya semakin terang, tidak hanya karena kekuatan yang ada, tetapi juga karena hubungan yang tumbuh di antara mereka. Sebuah ikatan yang melebihi segala pertarungan dan kegelapan.
Di tengah malam yang penuh bintang, mereka berdiri berdampingan. Perjalanan mereka masih panjang, dan takdir yang menanti tidak akan mudah. Namun, untuk pertama kalinya, Elarya merasa tidak takut. Dengan Kael di sisinya, ia tahu mereka bisa menghadapi apapun yang datang.
“Apapun yang kita hadapi,” Elarya berkata, matanya bersinar penuh tekad, “kita akan melewatinya bersama.”
Kael menatapnya dengan penuh rasa sayang. “Bersama.”
Malam itu, mereka tidak hanya beristirahat setelah perjuangan mereka, tetapi juga meresapi kehadiran satu sama lain, membangun kedekatan yang akan menjadi kekuatan mereka dalam setiap langkah selanjutnya. Dengan cahaya yang memancar di dalam dirinya dan cinta yang tumbuh di antara mereka, Elarya tahu bahwa apapun yang datang, mereka akan selalu punya satu sama lain—dan itu adalah kekuatan yang lebih besar daripada apapun yang ada di dunia ini.