Segel Cahaya: Putri Yang Terlupakan
Lembah tempat Eglarya dilahirkan selalu dipenuhi keheningan yang menenangkan. Pohon-pohon bercahaya berjejer, memancarkan warna keemasan yang lembut, seperti ribuan lentera kecil yang menjaga perdamaian. Namun, malam itu keheningan terasa lebih dalam, seakan bumi menahan napas untuk menyambut sesuatu yang besar.
Erydan berdiri di balkon istana, memandang lembah dari ketinggian. Jubah putihnya berkibar diterpa angin, dan di tangannya tergenggam sebuah pedang yang bersinar dengan intensitas memukau. Cahaya itu bukan hanya dari pedang; itu adalah bagian dari dirinya, Segel Cahaya yang diwarisinya sejak lahir.
Langkah kaki lembut terdengar di belakangnya. Lyanna menghampiri dengan membawa bayi kecil di dalam selimut sutra. Wajahnya yang tenang menyembunyikan rasa khawatir. “Dia tertidur,” katanya, menyerahkan bayi itu ke dalam pelukan Erydan.
Erydan menyentuh lembut pipi putrinya. “Elarya,” ujarnya pelan, seolah nama itu adalah mantra pelindung. “Aku harap dia akan memahami betapa pentingnya warisan ini suatu hari nanti.”
Lyanna menggenggam tangannya. “Warisan ini adalah beban. Dia tidak pernah memilihnya, Erydan.”
“Aku tahu,” jawabnya, suaranya penuh rasa bersalah. “Tapi dunia ini tidak memberi kita pilihan. Kegelapan yang kita segel berabad-abad lalu mulai bergerak. Aku bisa merasakannya. Jika Segel Cahaya tidak diteruskan, dunia akan jatuh ke dalam kehancuran.”
“Lalu, apa rencanamu?” tanya Lyanna, matanya menatap dalam-dalam suaminya.
Erydan terdiam sesaat sebelum menjawab. “Kita akan melatihnya, melindunginya, dan memastikan dia siap menghadapi takdirnya. Tapi untuk sekarang, dia hanyalah seorang bayi. Kita punya waktu.”
Namun, di dalam hati kecilnya, Erydan tahu waktu itu tidak akan lama.
Beberapa tahun kemudian...
Elarya tumbuh menjadi anak yang ceria. Dia suka berlarian di taman istana, mengejar kupu-kupu bercahaya yang hanya hidup di lembah itu. Rambut pirangnya yang panjang selalu memantulkan cahaya matahari, membuatnya terlihat seperti bagian dari sinar itu sendiri.
Pada suatu pagi, saat embun masih menggantung di daun-daun, Elarya bermain di taman bersama ibunya. Lyanna duduk di sebuah kursi batu, menjahit baju kecil, sementara Elarya melompat-lompat mengejar seekor kelinci putih yang lincah.
“Ibu, lihat aku!” teriak Elarya sambil berlari ke arah Lyanna dengan segenggam bunga kecil. “Ini untukmu!”
Lyanna tersenyum, menerima bunga itu. “Kau selalu tahu cara membuat ibu bahagia.”
Elarya tersenyum lebar, tetapi pandangannya tertarik ke sebuah pedang besar yang tertancap di tengah taman, bersinar dengan intensitas yang memikat. “Ibu, apa itu?” tanyanya, menunjuk pedang itu.
“Itu pedang milik ayahmu,” jawab Lyanna, nada suaranya tiba-tiba serius. “Itu adalah bagian dari Segel Cahaya. Suatu hari nanti, pedang itu akan menjadi milikmu.”
“Milikku?” Elarya memiringkan kepalanya, bingung. “Kenapa?”
Lyanna terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Karena kau istimewa, sayang. Di dalam dirimu ada cahaya yang bisa melindungi dunia.”
Elarya tidak benar-benar mengerti, tetapi dia mengangguk. “Kalau begitu, aku akan menjaga pedangnya nanti!”
Lyanna tertawa kecil, meski ada kesedihan di balik tawanya.
Hari itu, Erydan kembali dari perjalanannya ke desa-desa terdekat. Wajahnya tampak lebih gelap dari biasanya, seolah ada beban berat yang baru saja ditambahkan ke pundaknya.
“Erydan, ada apa?” tanya Lyanna ketika mereka bertemu di ruang makan.
“Aku menemukan sesuatu,” jawabnya singkat. “Kegelapan yang selama ini kita takutkan mulai muncul kembali. Desa-desa di perbatasan melaporkan adanya makhluk bayangan yang menyerang penduduk.”
Lyanna menahan napas. “Jadi, waktunya lebih cepat dari yang kita duga?”
Erydan mengangguk. “Kita harus bersiap. Elarya tidak boleh tahu, tapi kita perlu mempercepat persiapannya. Aku akan mulai melatihnya dalam beberapa tahun ke depan.”
“Dia masih terlalu kecil,” protes Lyanna.
“Jika kita menunggu terlalu lama, kita mungkin kehilangan kesempatan. Aku tidak akan membiarkan kegelapan itu mendekati putri kita.”
Malam itu, Elarya terbangun dari tidurnya. Dia mendengar sesuatu, suara berbisik dari luar jendelanya. Rasa penasaran mendorongnya untuk bangun dan mengintip ke luar.
Di sana, di bawah pohon besar di taman, dia melihat sosok anak laki-laki dengan rambut hitam. Anak itu duduk bersila, memegang sesuatu yang tampak seperti bola bayangan di tangannya.
“Siapa kau?” tanya Elarya, membuka jendelanya.
Anak itu mendongak, mata abu-abunya bersinar samar dalam gelap. “Aku Kael,” jawabnya singkat. “Siapa kau?”
“Elarya,” jawabnya ceria. “Kau dari mana? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
Kael tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Elarya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Aku datang ke sini untuk melindungimu.”
“Melindungiku? Dari apa?”
“Dari kegelapan,” jawab Kael, suaranya datar namun serius.
Elarya memiringkan kepalanya, bingung. Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, suara langkah kaki terdengar. Erydan muncul di balik pintu kamar Elarya.
“Elarya, dengan siapa kau bicara?” tanyanya sambil memandang ke luar jendela. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Kael sudah menghilang.
“Ada anak laki-laki di taman,” jawab Elarya polos. “Namanya Kael.”
Erydan terdiam, matanya menyipit. “Kau pasti bermimpi. Kembali tidur, sayang.”
Namun, di dalam hatinya, Erydan tahu bahwa kehadiran anak itu bukan kebetulan. Kegelapan sudah mulai bergerak, dan dunia di sekitar mereka perlahan berubah.
Esok paginya, suasana istana terasa lebih tenang, tetapi ketegangan masih tersisa di udara. Erydan mengawasi taman dari balkon, pikirannya melayang pada cerita Elarya tentang anak laki-laki bernama Kael. Baginya, itu bukan sekadar khayalan. Kehadiran seorang anak asing di lembah suci seperti ini bukan sesuatu yang biasa.
Sementara itu, di ruang latihan bawah tanah istana, Lyanna sedang mempersiapkan ruang yang dipenuhi simbol-simbol kuno. Suara langkah kaki kecil bergema di tangga, dan tak lama kemudian, Elarya muncul di ambang pintu.
"Ibu, apa yang Ibu lakukan di sini?" tanyanya sambil menatap simbol-simbol bercahaya di dinding.
Lyanna tersenyum lembut, meski sedikit terkejut dengan kehadiran putrinya. "Aku sedang mempersiapkan sesuatu untukmu, sayang. Sebuah pelindung."
"Pelindung?" Elarya memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu.
Lyanna mendekati Elarya, berlutut di hadapannya, dan mengusap rambut keemasan putrinya. "Kau tahu, Elarya, kau adalah anak yang sangat istimewa. Di dalam dirimu ada kekuatan besar, tapi kekuatan itu juga bisa membuatmu menjadi target."
"Target? Siapa yang ingin menyakitiku, Ibu?"
Lyanna menarik napas dalam. "Ada kegelapan di luar sana. Makhluk-makhluk yang ingin menghancurkan Segel Cahaya. Tapi jangan khawatir, Ayah dan Ibu ada di sini untuk melindungimu."
Elarya mengangguk, meski tidak sepenuhnya mengerti. "Kalau begitu, aku juga ingin belajar menjadi kuat seperti Ayah dan Ibu!"
Lyanna tersenyum kecil. "Kau akan belajar, sayang. Tapi tidak sekarang. Kau masih punya waktu untuk menikmati masa kecilmu."
Namun, Elarya merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik kata-kata ibunya. Dia tahu ada rahasia yang belum diungkapkan.
Beberapa hari kemudian, Elarya kembali bermain di taman. Namun kali ini, rasa penasarannya tentang anak laki-laki misterius itu semakin besar. Dia berjalan ke pohon tempat dia melihat Kael sebelumnya dan berhenti di bawah bayangannya.
"Kael? Kau ada di sini?" bisiknya.
Tak ada jawaban. Namun, angin tiba-tiba berhembus kencang, dan Elarya merasa seperti ada seseorang yang mengawasinya.
"Kenapa kau memanggilku?" sebuah suara terdengar dari balik pepohonan.
Elarya berbalik dan melihat Kael berdiri di sana, tangannya dimasukkan ke saku, wajahnya dingin seperti sebelumnya.
"Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya," kata Elarya, menatapnya dengan berani.
Kael mengangkat bahu. "Aku sudah bilang, aku ada di sini untuk melindungimu."
"Tapi kenapa? Siapa kau sebenarnya?"
Kael mendekat, matanya yang abu-abu tampak menyelidik. "Aku adalah bagian dari bayangan, sama seperti kau adalah bagian dari cahaya. Kita saling terhubung."
Elarya mengerutkan kening, bingung. "Apa maksudmu? Aku tidak punya bayangan sepertimu."
Kael menghela napas. "Kau akan mengerti nanti. Tapi untuk sekarang, dengarkan aku. Jangan pernah mendekati tempat di luar lembah ini. Di sana, kegelapan sedang menunggu."
Sebelum Elarya bisa menjawab, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Itu adalah Erydan, dan kali ini dia tampak murka.
"Siapa kau?" Erydan bertanya dengan suara yang tegas.
Kael mundur selangkah, tatapannya tetap tenang. "Aku bukan musuhmu, Erydan. Aku hanya melakukan tugasku."
"Tugasmu?" Erydan mendekat, tangan kanannya menyentuh gagang pedang di pinggangnya. "Apa yang kau inginkan dari putriku?"
"Aku ingin memastikan dia siap," jawab Kael singkat. "Kegelapan semakin dekat, dan kau tahu itu."
Erydan terdiam, tetapi matanya tetap waspada. "Jika kau mencoba mendekatinya tanpa seizinku lagi, aku tidak akan ragu menghentikanmu."
Kael menatap Erydan beberapa detik sebelum menghilang dalam bayangan.
Malam itu, Erydan dan Lyanna berdiskusi di ruang kerja mereka.
"Kau melihatnya?" tanya Lyanna, nadanya cemas.
Erydan mengangguk. "Anak itu adalah pengguna bayangan, sama seperti klanmu. Tapi dia berbeda. Dia tidak memancarkan ancaman, meskipun aku masih belum percaya sepenuhnya."
"Mungkin dia bagian dari takdir Elarya," ujar Lyanna pelan. "Bayangan dan cahaya selalu saling melengkapi, Erydan."
Erydan menggeleng. "Tak peduli apa pun itu, aku tidak akan membiarkan siapa pun membahayakan putri kita."
Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa Kael mungkin adalah bagian dari teka-teki yang lebih besar. Segel Cahaya yang diwariskan kepada Elarya tidak hanya membawa kekuatan, tetapi juga takdir yang mengikat cahaya dan bayangan dalam sebuah pertempuran yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Dan malam itu, di bawah langit berbintang, Erydan memutuskan untuk mempercepat persiapan Elarya. Takdir tak akan menunggu mereka lebih lama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Murni Dewita
👣
2024-11-25
1