Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKTN 35
"Kak Raksa, Om Nero."
Raina tersenyum lebar, menyapa Raksa dan Nero yang masih tertegun menatapnya. Lalu seolah tak terjadi apa-apa, Raina makin mendapat ke ranjang tempat Yeni terbaring.
"Gimana keadaan Mama?" tanya Raina sembari menggenggam tangan Yeni, tak lupa pula menyunggingkan senyum termanisnya.
"Mama udah baikan. Kamu sendiri gimana kabarnya? Perjalanan ke sini lancar? Berangkat dari jam berapa?"
Berbeda dengan Raina yang tersenyum dan menjawab pertanyaan tersebut, Raksa dan Nero justru saling pandang. Sikap Yeni sangat aneh, seolah-olah sudah tahu bahwa Raina akan datang hari itu.
Namun, bagaimana mungkin? Mereka saja mati-matian mencari, tetapi tak menemukan keberadaan Raina. Sementara Yeni hanya diam di rumah, mustahil malah tahu kabar Raina.
"Maaf ya, Ma, aku terlalu sibuk sampai nggak sempat mengunjungi Mama. Sampai Mama masuk rumah sakit gini, baru aku ada waktu untuk pulang," ujar Raina beberapa saat kemudian.
"Nggak apa-apa. Mama paham bagaimana keadaan kamu sekarang, Nak. Nggak harus pulang dan menjenguk Mama, yang penting kamu tidak mengecewakan, itu udah cukup bagi Mama."
Ucapan Yeni memang tertuju pada Raina, bahkan tangan pun sambil membelai kepala Raina. Namun, pandangan Yeni justru terarah kepada Raksa. Sangat lekat, sampai Raksa salah tingkah dibuatnya.
"Kamu masih ingat kan, Mama paling tidak suka dibohongi. Apalagi kebohongan yang merugikan orang lain, Mama akan sangat kecewa jika kamu melakukan itu, Raina," sambung Yeni dengan pandangan yang tetap terarah kepada Raksa, seakan-akan kalimat barusan memang ditujukan untuknya.
"Maksud Mama apa?" Raksa tak bisa menahan diri untuk bertanya.
"Nggak ada maksud apa-apa. Mama hanya nggak suka saja kalau anak-anak Mama berbohong. Ini nggak hanya berlaku untuk kamu dan Raina, tapi juga Anne dan Nero." Yeni menjawab sambil beralih menatap Nero.
Lelaki angkuh dan dingin itu, nyatanya bisa gugup juga saat ditatap intens oleh Yeni.
Beruntungnya, Anne lekas datang kala itu, jadi obrolan canggung barusan sempat terjeda. Ya ... meski akhirnya Anne sendiri juga terkejut dan canggung saat bertatap langsung dengan Raina, di depan Yeni.
Sesaat kemudian, Raksa dan Nero terpaksa keluar karena maksimal hanya dua orang yang menunggu di dalam ruangan, sedangkan Raina tidak beranjak sama sekali dari sisi Yeni.
"Menurutmu, apa Mama tahu sesuatu?" tanya Raksa ketika tiba di kursi tunggu.
Nero terdiam. Dalam hati dia juga mencurigai hal itu, tetapi berusaha sekeras mungkin untuk menyangkalnya.
"Apa orang-orangmu nggak melaporkan sesuatu? Siapa yang barusan mengantar Raina, atau ... orang terakhir yang berinteraksi dengan Raina. Sekarang dia ada di sini dan tahu kalau Mama sakit, seharusnya dia nggak jauh dari sekitar kita, kan?" lanjut Raksa karena Nero tetap diam sampai beberapa detik berlalu.
"Jangan-jangan ... sebenarnya selama ini kamu juga tahu sesuatu. Jangan-jangan kamu yang menyembunyikan Raina!" tuduh Nero. Pikirannya sudah hampir buntu, makanya Raksa pun mendadak dicurigai.
"Kamu gila! Kalau saja aku tahu di mana Raina berada, untuk apa aku membayar banyak orang demi mencarinya."
Nero kembali diam. Sedikit banyak memang benar apa yang dikatakan Raksa. Namun, dalam kondisi yang seperti ini, Nero nyaris tak percaya pada siapapun.
Kini, yang Nero tunggu hanya satu, yakni menunggu kesempatan untuk bicara berdua dengan Raina. Terlebih setelah mendapat laporan dari orang suruhannya, bahwa tadi melihat Raina di bandara usai melakukan penerbangan dari Singapura. Rasanya Nero sudah memeriksa setiap sudut negara itu, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan Raina. Lantas, mengapa sekarang istrinya kembali berhubungan dengan Negara Singapura?
'Di mana sebenarnya kamu selama ini, Raina?'
Satu pertanyaan yang terus berputar-putar di kepala Nero. Sebuah pertanyaan yang sangat tak sabar menuntut jawaban.
Sayangnya, untuk berbicara empat mata dengan Raina juga tidak mudah. Seharian Raina tak beranjak dari sisi Yeni. Barulah ketika malam menjelang, Raina keluar dari ruangan.
Nero tak mau melewatkan kesempatan itu. Persetan dengan Raksa yang juga menunggu waktu untuk bicara dengan Raina, Nero dengan cepat menggenggam tangan wanita itu dan mengajaknya menjauh dari Raksa.
"Raina—"
"Om Nero mau marah? Silakan saja, aku memang salah karena pergi nggak pamit. Keluarkan saja semua amarah dan kekesalan yang Om pendam selama ini. Setelah Om puas marahnya, kita akhiri semua ini," pungkas Raina.
Nero membelalak seketika. "Apa yang mau diakhiri?"
"Pernikahan kita, kan? Memangnya Om nggak pengin nikah beneran sama wanita yang Om cintai? Kalaupun nggak bisa sama Kak Anne, bukankah bisa mencari dan mencintai wanita lain? Bukankah nggak ada gunanya membuang waktu dengan pernikahan seperti kemarin? Mau sampai kapan?" Jawaban yang sangat tenang, tetapi mampu membuat Nero kalang kabut.
"Tidak ada yang berakhir, Raina! Pernikahan kita akan bertahan selamanya! Aku dan kamu tidak akan pernah terpisah!" sahut Nero dengan tegas.
Raina tertawa kecil. "Untuk apa? Kalau dulu ... mungkin masih ada cinta, meski hanya aku yang punya. Tapi sekarang, aku pun udah nggak punya cinta itu, Om."
"Raina—"
"Dua tahun hidup berjauhan, udah cukup bagiku untuk terbiasa tanpa kamu, Om. Dan ... kurasa memang lebih baik seperti ini." Raina kembali memotong ucapan Nero.
"Aku tidak mau, Raina! Kau harus tetap menjadi istriku, sampai kapanpun itu!"
"Untuk apa, Om? Aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku lagi untuk kesalahan yang nggak pernah aku lakukan." Raina selangkah lebih maju dan menatap Nero dalam-dalam.
"Dari awal aku udah paham, Om, Kak Anne dan Kak Raksa bukan orang yang mudah dihancurkan. Kak Anne kaya raya, orang tuanya pebisnis besar, mana mungkin tumbang begitu saja. Kak Raksa pun cukup lama kerja dengan Om Nero, dan sekarang juga kerja dengan Tuan Kendrick. Nggak mungkin hancur dengan mudah. Aku paham benar dengan hal itu, tapi aku terus menyangkal dan berusaha bertahan. Alasan utamaku satu, Om, cinta. Aku menurut dan bertahan karena mencintai Om Nero. Aku berharap, suatu saat hati Om Nero bisa melunak dan balik mencintaiku. Tapi ... setelah Ava datang pada malam itu, aku sadar udah nggak ada harapan lagi. Aku memilih pergi guna menghapus perasaan cintaku selama ini. Dan sekarang, aku udah berhasil melakukannya. Jadi, aku nggak mau lagi jadi istri Om," ucap Raina, lagi-lagi dengan tenang.
"Tapi, aku tidak bisa, Raina. Aku tidak mau kita pisah!" Napas Nero mulai memburu. Kesabarannya nyaris habis menghadapi keinginan Raina kali ini.
"Bisa atau tidak bisa, aku tetap ingin pisah, Om. Om Nero mau ngungkit dendam lagi, aku juga nggak peduli, itu urusan Om dengan Kak Raksa dan Kak Anne. Misal Om Nero mau ambil resiko, mempertaruhkan bisnis sendiri demi menghancurkan mereka, ya silakan saja. Aku nggak ikut-ikutan masalah itu dan aku nggak mau jadi tameng untuk mereka lagi," sahut Raina dengan berani.
Dua tahun berjauhan sudah cukup menjadi bukti bagi Raina untuk menjamin sikap Nero. Lelaki itu sangat memprioritaskan bisnisnya, jadi pasti berpikir ulang untuk mempertaruhkan semua itu demi dendam. Anne bukan orang sembarangan, pun dengan Raksa. Nero pasti hapal betul betapa hebatnya Raksa, dulu saja sampai bertahun-tahun setia di sisi Nero.
"Raina—"
"Aku atau Om Nero yang mengurus perceraian kita?" pungkas Raina, sama sekali tak mau tahu dengan perasaan Nero yang kian kacau.
Bersambung...