Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kebohongan yang Terungkap (2)
Sampai di rumah, ikan-ikan yang tadi aku beli bersama mas Arwan telah berenang dengan lincah di dalam sebuah akuarium yang tadinya hanya berisi seekor mendiang ikan arwana berwarna putih, yang di mataku terlihat sangat kesepian.
"Wah, bagus. Sekarang akuariumnya jadi rame," komentar mas Arwan, terlihat senang memandangi ikan-ikan cantik dari berbagai jenis itu.
"Tapi, yang paling bagus ikan ini." Aku menunjuk seekor ikan cupang berwarna merah menyala.
"Setuju. Penjual tadi juga bilang, kalau ikan ini tangguh. Kamu pilih ikan ini karna mirip kamu, kan?" tebak mas Arwan tepat sasaran.
Aku hanya tersenyum mananggapi ucapannya barusan.
Jika aku digambarkan sebagai ikan petarung, maka mas Arwan bagaikan ikan arwana yang melambangkan kekuasaan dan harta.
Kami berbeda. Dan sungguh, aku telah membuat keputusan yang tepat untuk menjadi seorang pendamping di sisa hidupnya.
Sejauh ini, mas Arwan telah menepati janjinya atas mahar yang dulu pernah aku minta darinya.
Dan rasanya, pria yang aku nikahi ini merupakan hadiah terindah yang Tuhan berikan atas seluruh kerja kerasku selama ini. Aku benar-benar bahagia hidup bersamanya.
...~...
Brak!
Seorang wanita, mendobrak paksa pintu ruangan tempat Beta menjalani tes psikologis.
Suara pintu itu, berhasil membuat dua wanita yang sedang berada di dalam ruangan tersebut, jadi terkejut dan memandangi wanita itu dengan raut wajah bertanya-tanya.
Namun detik kemudian, Beta segera merubah ekspresi wajahnya kembali datar, setelah mengetahui siapa seseorang yang telah menjenguk dirinya pagi ini.
"Kamu! Ternyata sembunyi di sini, ya?! Harusnya, kamu mendekam di penjara! Sana! Pergi ke penjara!" teriak wanita itu berapi-api sambil menunjuk Beta dengan jari telunjuknya.
"Maaf, anda tidak boleh ke sini." Sang psikolog tampak berusaha menghalangi wanita yang terus berteriak pada pasiennya.
"Padahal, Arwan sudah memperlakukan kamu dengan sangat baik dan menuruti semua kemauanmu. Tapi, kenapa kamu malah membunuhnya? Kenapa?! Kenapa kamu membunuh putra kesayanganku?" Wanita yang merupakan ibu mertua Beta itu akhirnya tak kuasa menahan tangisnya, setelah sejak tadi terus berteriak dan marah-marah.
Ibu mana yang tidak sedih, jika anak satu-satunya meninggal dengan cara yang tidak wajar?
Sosok Ibu tangguh yang telah melahirkan dan membesarkan almarhum Arwan dengan sepenuh hati itu pun, akhirnya runtuh juga.
Setelah dibantu oleh beberapa suster, Ibu mertua Beta yang pingsan, akhirnya berhasil dibawa keluar dari ruangan.
Suasana di dalam ruangan tempat Beta berada, sudah kembali hening.
Psikolog itu kembali duduk ke tempat duduknya semula, setelah menutup pintu ruangan.
"Apa hubungan anda dengan beliau, baik?" Petanyaan dari sang psikolog, membuat Beta menggelengkan kepalanya pelan.
"Sejak awal menikah, kedua orang tua mas Arwan terlihat tidak terlalu menyukai saya," jawab Beta sambil menunduk, menatap lantai rumah sakit.
"Alasannya?"
"Apalagi? Kalau bukan soal status dan latar belakang keluarga saya," jawab Beta sambil menertawakan ucapannya sendiri.
Hubungan tidak akur antara mertua dengan menantunya, memang sudah menjadi rahasia umum dan sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Orang tua yang masih merasa berhak dan tidak rela akan kemandirian sang anak, adalah salah satu penyebabnya.
Dalam kasus Beta, psikolog itu masih perlu mendalami lagi tentang kondisi keluarga Beentang, agar bisa mengetahui siapa yang sebenarnya menjadi dalang akan hubungan buruk itu. Bisa jadi dari ibunda mendiang Arwan, atau dari Beta sendiri.
...~...
"Bi Lastri, ini kenapa ikannya ngapung?" Beta berteriak memanggil asisten rumah tangganya, setelah menatap ikan peliharaan di rumahnya tampak bergeming di atas permukaan akuarium.
"Wah, kayaknya udah mati, Non," jawab sang asisten rumah tangga juga sama terkejutnya dengan Beta. Mereka berdua terus memandangi seekor jasad ikan di dalam akuarium itu.
"Gimana, nih?! Mas Arwan hari ini pulang." Beta panik. Ia khawatir jika sang suami tahu kalau ikan kesayangannya telah mati. Padahal, suaminya sudah satu minggu bekerja di luar kota. Jadi, sudah pasti dia kelelahan.
"Saya keluarin aja ya, Non?" Bi Lastri meminta izin terlebih dahulu kepada sang nyonya.
"Oh, iya," jawab Beta patuh. Sebab, tidak tahu banyak hal soal ikan dan sedang dilanda panik. Beta jadi tidak bisa berpikir jernih untuk sesaat.
"Bi, tapi itu ikannya mau dibawa ke mana?" tanya Beta ketika melihat sang ART membawa pergi jasad ikan arwana putih itu.
"Dikubur," jawab bi Lastri, singkat.
"Jangan. Sayang kalau dibuang. Bangkai ikan masih bisa dimakan, kan? Bibi goreng aja," saran Beta yang kemudian segera dituruti oleh sang bibi.
Setelah meminta ART-nya untuk memasak ikan, Beta lalu menghampiri seorang sopir pribadinya.
"Mas, tau tempat yang jual ikan arwana kayak di rumah, nggak?"
"Tau saya. Mau beli lagi, Non?" Sopir Beta tampak penasaran.
"Iya, karna ikan di akuarium udah mati."
"Waduh! Mahal loh, itu. Seharga mobil!" jawab sang sopir dengan raut wajah syok.
Melihat respon sopirnya, Beta semakin dibuat khawatir. Jika orang lain saja sekaget itu, apalagi suaminya yang telah memelihara ikan itu selama bertahun-tahun. Begitu pikir Beta.
"Iya kah? Mas, bisa tolong anter saya pergi beli ikan? Kalo bisa hari ini, sebelum mas Arwan pulang dan tau kalau ikan kesayangannya udah nggak ada," pinta Beta, tidak bisa menyembunyikan kepanikannya.
"Bisa." Sopir itu akhirnya menyanggupi permintaan Beta.
"Oke, makasih. Kita berangkat nanti siang, ya?"
"Siap!"
Rencana Beta awalnya begitu. Mencari pengganti ikan arwana yang telah mati, tanpa sepengetahuan Arwan. Namun, ketika ia masih menyantap sarapannya yang merupakan ikan arwana goreng, sang suami ternyata pulang lebih awal, sebelum Beta sempat membeli ikan arwana yang baru.
...~...
"Jadi, begitu ceritanya," ucap bi Lastri, seorang asisten rumah tangga di kediaman Beta.
"Baik. Terima kasih, sudah mau menceritakannya," balas sang psikolog yang meminta ART itu bercerita.
"Kenapa anda bertanya soal kejadian ikan arwana dulu?" tanya bi Lastri penasaran.
Hari ini, Lastri tiba-tiba dipanggil untuk datang ke rumah sakit. Dan karena dirinya merupakan orang yang dulunya menggoreng ikan arwana di kediaman Beta, jadi ia masih mengingat kejadian itu dengan sangat jelas.
"Itu karena bu Beta terus menambahkan kebohongan dalam ceritanya," jawab sang psikolog, membuat bi Lastri terdiam, bingung mau merespon bagaimana.
"Kalau begitu, anda boleh pergi," lanjutnya kepada bi Lastri, sembari menunjuk ke arah pintu keluar ruangannya.
Melihat kode yang diberikan oleh sang psikolog, bi Lastri pun segera pamit. "Ah, iya. Kalau begitu, saya permisi." Bi Lastri langsung meninggalkan ruangan tempat ia diinterogasi oleh psikolog itu.
Bukan hanya seluruh masyarakat Indonesia, tetapi kematian seorang keluarga Beentang telah mengejutkan orang-orang terdekat, termasuk para pekerja yang selama ini berada di kediaman sang mendiang.
Mereka juga merasa tidak percaya akan perbuatan sang nyonya yang merupakan istri sekaligus tersangka atas kasus kematian itu.
Di dalam ruangan tempat psikolog itu menginterogasi bi Lastri, kali ini memang terasa lebih sunyi dari biasanya. Itu karena hari ini, merupakan waktu istirahat untuk Beta.
Sejujurnya, psikolog itu terus menanti kelanjutan dari kisah yang Beta ceritakan. Dari sana, ia bisa membuat analisisnya.
Meski ia jadi terlihat seperti seorang detektif, namun psikolog itu memang selalu mengerjakan tugasnya dengan maksimal dan totalitas, sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya itu.
Berhubungan dengan orang yang bermasalah, baginya bukanlah hal yang mudah. Itu karena ia sendiri juga pernah memiliki masalah di masa lalunya.
Sebagai sesama orang yang bermasalah, psikolog itu seakan bisa merasakan penderitaan dari pasiennya. Namun, ia tetap harus bertahan. Setidaknya, sampai kasus menghebohkan ini berakhir dan bisa terpecahkan.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu, membuat seorang m psikolog yang berada di dalam ruangan itu terpaksa mengakhiri lamunannya, dan mulai berjalan untuk membukakan pintu.
Setelah pintu terbuka, seorang remaja laki-laki tampak berdiri sambil mendongak, menatap psikolog itu dengan seluruh wajah yang terlihat basah oleh air mata.
"Siapa?" tanya psikolog itu dengan alis bertaut. Ia terkejut karena tiba-tiba didatangi oleh seorang anak remaja tak dikenal ke ruangan pribadinya.
"Bunda saya ada di mana?" tanya remaja itu dengan suara yang terdengar parau. Dan saat itu juga, sang psikolog langsung dapat memahami situasinya.
Remaja di hadapannya ini merupakan putra sulung Beta. Ketika sang psikolog melihat betapa rapuhnya keadaan remaja itu, hatinya terluka.
Anak itu, merupakan korban terbesar dari kejadian ini. Ia harus menerima kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal dunia dengan cara yang tidak wajar, dan juga menyaksikan ibundanya sendiri yang dijadikan tersangka. Ditambah, dua adiknya yang masih sangat kecil dan membutuhkan dirinya sebagai seorang kakak sulung, juga membuatnya harus berpura-pura terlihat kuat dan dewasa.
Sungguh malang nasib remaja ini. Beban berat tiba-tiba menghantam pundaknya.
"Mari saya antar." Karena tidak tega, sang psikolog pun akhirnya mengantar remaja itu menemui sang bunda.
'Pasti sangat berat. Remaja ini, pasti telah menanggung beban yang amat berat.' Begitu pikir psikolog, yang kini sedang mengantar seorang anak bertemu dengan sang malaikat tak bersayapnya.
Keluarga bahagia yang hangat, tiba-tiba terenggut tanpa aba-aba.
'Kira-kira, mana yang lebih parah? Seseorang yang sejak awal tidak pernah merasakan kehangatan keluarga, atau seseorang yang sempat merasakannya, namun tiba-tiba terenggut? Percayalah, kedua hal itu sama sakitnya. Jika tidak punya, maka hanya mampu berangan-angan. Dan jika tiba-tiba kehilangan, maka pasti akan terkejut dan depresi.' Psikolog itu, diam-diam mengusap pipi kanannya yang dialiri tetesan air mata.
"Sian?" panggil Beta kepada putranya dengan ekspresi terkejut. Ia seakan tidak percaya bahwa sang buah hati telah mencari dan datang menemui dirinya.
Hati Beta terasa pilu, ketika melihat keadaan putra sulungnya yang rapuh dan kacau seperti itu. Padahal, selama ini Beta selalu menyayangi dan merawatnya dengan baik, sampai-sampai ia tidak pernah satu kali pun, memakaikan pakaian yang kusut dan kotor kepada anak-anaknya. Namun, kini sang putra justru terlihat seperti seorang anak yang tidak terurus selama berbulan-bulan.
Beta sudah lama tidak menemui anak-anaknya, sejak diseret paksa oleh polisi beberapa hari yang lalu. Ia merasa bersalah dan tidak kuasa menahan air matanya.
"Bunda, ayo pulang." Remaja itu pun akhirnya menangis bagaikan anak kecil, di pelukan sang bunda, sembari terus mengajaknya pulang ke rumah. Sungguh, pemandangan yang memilukan dan menyayat hati.
Seorang psikolog yang tadi mengantar Sian, segera pergi meninggalkan dua orang ibu dan anak yang sedang melepas rindu di sebuah ruangan kecil itu.
...~...