Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
propaganda
Ketika mereka tiba di ruang komunikasi, layar besar menampilkan laporan terbaru tentang aktivitas kelompok pendukung Proyek Elysium. Video-video propaganda mulai menyebar, menggambarkan dunia di luar kendali sistem lama sebagai tempat penuh kekacauan dan penderitaan. Salah satu video bahkan menunjukkan potongan-potongan rekaman desa yang baru saja mereka kunjungi, seolah-olah menggambarkan kehancuran akibat keputusan untuk meninggalkan sistem Elysium.
“Ini jelas manipulasi,” kata Reina dengan nada geram. “Mereka memutarbalikkan kenyataan. Desa itu bahkan mulai membaik!”
Mikael mengamati layar dengan tatapan tajam. “Mereka tidak hanya mencoba menanamkan ketakutan, tetapi juga mempermalukan kita di depan masyarakat. Jika video ini terus menyebar, akan sulit untuk memperbaiki citra kita.”
Akselia berdiri diam, matanya terpaku pada layar. Dia merenung, mencoba memahami langkah terbaik yang harus mereka ambil. “Mereka memanfaatkan satu hal yang tidak kita punya,” katanya akhirnya. “Kendali penuh atas narasi.”
Reina mengangguk. “Jadi, apa yang akan kita lakukan? Kita tidak memiliki sumber daya untuk membuat propaganda tandingan.”
“Kita tidak butuh propaganda,” jawab Akselia tegas. “Kita hanya butuh kebenaran. Jika mereka menggunakan video manipulatif, kita akan melawan dengan cerita nyata. Kita akan menunjukkan wajah orang-orang yang sudah mulai bangkit tanpa Elysium. Kita akan membawa mereka langsung ke hadapan dunia.”
Reina terlihat ragu. “Itu ide yang bagus, tapi kau tahu risikonya, kan? Jika mereka tahu kita mencoba melawan narasi mereka, mereka bisa menyerang lebih agresif.”
Akselia menatap Reina dengan penuh keyakinan. “Mereka akan menyerang, dengan atau tanpa alasan. Tapi semakin banyak orang yang tahu kebenaran, semakin kecil pengaruh mereka.”
Mikael melangkah mendekat, tatapannya penuh dengan keseriusan. “Aku setuju dengan Akselia. Tapi ini harus direncanakan dengan sangat hati-hati. Kita tidak bisa membiarkan ini berakhir menjadi bumerang bagi kita.”
---
Hari berikutnya, Akselia dan timnya memulai misi baru. Mereka kembali ke desa-desa yang sudah mereka bantu, merekam cerita para penduduk yang mulai melihat harapan baru. Salah satu momen yang paling mengesankan adalah ketika seorang ibu muda bernama Lira berbicara di depan kamera, memeluk putranya yang masih kecil.
“Awalnya, aku tidak percaya pada mereka,” kata Lira dengan suara yang gemetar. “Aku takut kebebasan hanya akan membawa kekacauan. Tapi sekarang, aku melihat perubahan. Kami bisa memutuskan sendiri bagaimana kami hidup. Kami bisa bermimpi lagi, sesuatu yang tidak pernah kami pikirkan selama bertahun-tahun.”
Akselia berdiri di belakang kamera, menyaksikan Lira dengan hati yang penuh. Kata-kata sederhana itu adalah bukti nyata bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia. Mikael, yang berada di sampingnya, melirik ke arahnya dan tersenyum.
“Ini adalah alasan kita terus berjuang,” katanya pelan, cukup hanya untuk didengar Akselia.
Akselia mengangguk. “Dan ini hanya permulaan.”
---
Namun, di tengah keberhasilan mereka, ancaman baru muncul. Saat perjalanan pulang dari salah satu desa, mereka dihentikan di jalan oleh sebuah pasukan kecil yang tampaknya dikirim oleh kelompok pendukung Elysium.
“Kalian tidak bisa terus menyebarkan kebohongan ini,” kata seorang pria bertopeng, suaranya berat dan dingin. “Kalian mungkin merasa benar, tetapi dunia butuh kendali. Tanpa itu, semuanya akan hancur.”
Akselia maju ke depan, melindungi timnya. “Kendali yang kalian bicarakan adalah penjara. Kami menawarkan kebebasan, bukan kekacauan. Orang-orang berhak memilih jalan mereka sendiri.”
Pria itu tertawa kecil, tetapi penuh ancaman. “Kebebasan hanya akan membawa kehancuran. Dan kami akan memastikan dunia tidak mengalami itu lagi.”
Mikael berdiri di samping Akselia, matanya waspada. “Jika kalian pikir ancaman ini akan membuat kami mundur, kalian salah besar.”
Ketegangan memuncak, dan seolah-olah waktu berhenti sejenak. Kedua kelompok saling berhadapan, menunggu siapa yang akan bergerak lebih dulu. Namun, sebelum ada tindakan yang diambil, suara tembakan terdengar dari kejauhan.
Akselia segera berteriak, “Semua berlindung!”
Suara tembakan itu bukan berasal dari kelompok pendukung Elysium, tetapi dari salah satu desa yang baru saja mereka kunjungi. Penduduk desa berlari ke arah mereka, melaporkan bahwa sekelompok orang bersenjata menyerang untuk menghukum mereka karena bekerja sama dengan Akselia dan timnya.
“Ini jebakan,” bisik Reina dengan nada marah. “Mereka mengalihkan perhatian kita ke sini, sementara mereka menyerang desa-desa.”
Akselia tidak membuang waktu. “Mikael, bawa tim ke desa sekarang! Reina, kau bersamaku. Kita akan menghadapi mereka di sini.”
Mikael tampak ragu, tetapi dia mematuhi perintah itu. Dia tahu bahwa kepercayaan Akselia padanya adalah segalanya. “Hati-hati,” katanya sebelum pergi.
Akselia dan Reina berdiri berhadapan dengan kelompok bersenjata itu, mencoba menunda mereka cukup lama agar Mikael dan tim bisa membantu penduduk desa.
“Kau pikir ini akan membuat kami menyerah?” tanya Akselia dengan nada tegas, meskipun di dalam hatinya ada ketegangan yang tak bisa dia abaikan.
Pria bertopeng itu menatapnya dingin. “Kami tidak peduli jika kalian menyerah atau tidak. Ini hanya soal waktu sampai dunia menyadari bahwa kendali adalah satu-satunya jalan.”
Namun, Akselia tahu satu hal—dia tidak akan mundur. Bahkan di tengah ancaman, dia bertekad untuk menunjukkan bahwa dunia bisa bertahan tanpa rantai. Dan dengan setiap langkah yang dia ambil, dia semakin yakin bahwa meskipun jalan ini penuh dengan bahaya, dia tidak lagi sendirian.
Dan di tempat lain, Mikael berlari menuju desa, dengan satu pikiran di kepalanya: Melindungi Akselia, apa pun yang terjadi.