Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Saat Ferdi meletakkan kantong makanan di atas meja Dina, dia melihat Dina masih kebingungan dengan tindakannya. Untuk meredakan suasana, Ferdi memutuskan untuk memberikan alasan yang lebih ringan, meskipun nada bicaranya tetap datar.
“Aku cuma tidak mau dimarahi oleh Mami,” katanya sambil bersandar di meja Dina, menatapnya dengan sedikit senyum di sudut bibir. "Kalau Mami tahu kamu kerja sampai larut malam, dia pasti langsung berpikiran aku yang memaksamu lembur. Tidak ada yang mau menghadapi amukan Mami, apalagi untuk hal seperti ini."
Dina tersenyum kecil, merasa canggung, tapi sedikit lebih lega. Alasan itu terdengar seolah Ferdi hanya menghindari masalah dengan ibunya, tapi dia juga bisa merasakan ada perhatian yang tersembunyi di balik kata-kata itu.
"Jadi... kalau kamu tetap di sini sampai pagi, aku yang akan kena masalah," tambah Ferdi dengan nada menggoda, sambil melirik kantong makanan yang dia bawa. "Jadi makan dulu, biar nggak ada yang marah-marah ke aku nanti."
Dina akhirnya tersenyum lebih lebar, rasa terima kasih dan kelegaan mulai terasa di dalam dirinya. "Baik, Pak Ferdi. Saya makan dulu, supaya Bapak aman dari amukan Bu Rita," jawabnya dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Ferdi hanya mengangguk singkat, lalu berdiri tegak. "Pastikan kamu pulang setelah ini. Aku tidak mau melihatmu di kantor sendirian lagi malam-malam."
Tanpa menunggu jawaban lagi, Ferdi berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Dina yang masih tersenyum kecil. Alasan Ferdi mungkin terdengar sepele, tapi Dina bisa merasakan bahwa di balik sikap dinginnya, ada sisi lain yang perlahan mulai ia kenali.
...****************...
Ferdi yang sudah sempat keluar dari ruangan tiba-tiba kembali, mengejutkan Dina yang baru saja membuka kotak makanan. Tanpa banyak bicara, dia mengambil beberapa dokumen dari meja Dina dan duduk di kursi di sebelahnya.
"Baiklah," katanya dengan nada rendah, "aku akan membantumu, tapi hanya kali ini saja."
Dina tertegun sejenak, tidak menyangka Ferdi akan kembali dan bahkan menawarkan bantuan. Jantungnya berdegup lebih cepat, sedikit canggung dengan kedekatan mereka. Meskipun mereka sudah sering bertemu di kantor, momen ini terasa berbeda—lebih intim.
Ferdi, yang biasanya tenang dan dingin, tampak sedikit kaku saat mulai memeriksa dokumen di depannya. Dina bisa merasakan kehadirannya begitu dekat, dan ada sesuatu yang lain dari cara dia bertindak malam ini. Sesaat, keduanya terjebak dalam keheningan yang aneh. Tanpa mereka sadari, ada sedikit debaran aneh yang menyelinap di hati mereka masing-masing.
Dina mencoba fokus pada tugasnya, berusaha menyingkirkan perasaan aneh yang berdebar di dadanya. Namun, dia tahu bahwa suasana ini bukan hal biasa. Ferdi mungkin sedang sibuk dengan dokumen, tapi dari gerak-geriknya, Dina bisa menebak kalau dia juga sama canggungnya.
"Kamu lihat apa? Makan dan selesaikan pekerjaan ini dengan cepat," ujar Ferdi tiba-tiba, memecah kesunyian. "Semakin cepat selesai, semakin cepat kita bisa pulang."
Dina mengangguk, mencoba menenangkan hatinya. "Terima kasih, Pak Ferdi... untuk bantuannya."
Ferdi hanya menoleh sekilas, senyum tipis terukir di wajahnya. "Anggap saja ini untuk memastikan kamu tidak akan mempermasalahkan hal ini nantinya untukku dihadapan Mami."
Keduanya tertawa kecil, meski mereka sama-sama tahu ada perasaan lain yang terpendam di balik candaan itu.
...****************...
Saat mereka akhirnya menyelesaikan pekerjaan, waktu sudah mendekati dini hari. Dina dan Ferdi sama-sama tampak lelah, mata mereka sedikit sayu, dan wajah terlihat kusut. Suasana yang awalnya tegang perlahan mencair karena kelelahan.
Ferdi melirik jam tangannya dan menghela napas pelan. "Sudah terlalu larut. Kalau pulang sekarang, kita pasti akan membangunkan mami" katanya, sambil bersandar di kursinya. "Lebih baik istirahat sebentar."
Dina memandangnya dengan sedikit ragu. "Tapi... pulang ke mana?"
Ferdi terdiam sejenak sebelum berkata, "Ke apartemen Fifi. Aku bisa istirahat sebentar di sana, ganti baju, dan... kamu juga bisa pakai baju Fifi. Ukuran kalian sama, kan?"
Dina langsung teringat bagaimana Ferdi sebelumnya begitu keras menolak saran ibunya untuk membiarkannya tinggal di apartemen itu. "Bukankah... kamu bilang tidak ingin aku menginjakkan kakiku di sana?" Dina bertanya, sedikit ragu.
Ferdi menoleh padanya, sorot matanya sedikit melunak. "Ini hanya untuk malam ini. Aku hanya... butuh istirahat sejenak, dan aku yakin kamu juga."
Dina masih ragu, tapi Ferdi melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, "Aku tahu kamu merasa bingung. Mengingat ucapanku sebelumnya, tapi aku tidak akan membiarkanmu pulang larut malam begini sendirian. Lagi pula, aku tidak sejahat itu membiarkanmu pulang sendirian"
Dina akhirnya mengangguk, meski ada sedikit rasa tidak nyaman di dadanya. Apartemen itu penuh dengan kenangan Fifi, dan dia tahu betapa berharganya tempat itu bagi Ferdi. Namun, kelelahan dan suasana yang damai membuatnya tidak punya banyak pilihan.
Ferdi tersenyum samar. "Ayo, kita berangkat sekarang sebelum semakin pagi," ujarnya sambil meraih jasnya.
Mereka pun meninggalkan kantor, dengan perasaan canggung dan aneh yang masih menggantung di udara—seolah-olah ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka, tapi sama-sama tak ingin menyelaminya terlalu dalam.
...****************...
Ferdi mengantar Dina ke kamar tamu yang terletak di sudut apartemen. Ruangan itu sederhana tapi nyaman, dengan jendela besar yang menawarkan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Di atas tempat tidur, Ferdi meletakkan satu set baju tidur dan beberapa baju kerja yang tampaknya milik Fifi.
"Ini mungkin bukan gayamu, tapi ini yang tersedia untuk sekarang," ujar Ferdi sambil menyodorkan pakaian tersebut. Dia tersenyum kecil, menyadari selera Fifi yang lebih santai dan feminin berbeda dari Dina.
Dina menerima baju itu dengan senyum tipis. "Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup," katanya tulus, meskipun dalam hatinya dia menyadari pakaian itu tidak sepenuhnya cocok dengan gayanya yang lebih formal dan simpel.
Setelah beberapa saat diam, Dina mengangkat wajah dan bertanya, "Ngomong-ngomong, di mana aku bisa mencuci bajuku? Aku belum sempat mengurusnya."
Ferdi tertawa kecil. "Jangan khawatir soal itu. Ada laundry service di gedung ini, biar aku yang urus. Kamu lebih baik istirahat dulu, besok pasti kita masih punya banyak hal untuk dilakukan."
Dina, sambil memegang baju-baju yang diberikan Ferdi, terdiam sejenak sebelum berkata dengan sedikit malu, "Sebenarnya, aku cuma ingin mencuci pakaian dalamku. Rasanya kurang nyaman kalau belum dicuci."
Ferdi yang mendengar ucapan Dina, langsung terlihat salah tingkah. Wajahnya memerah dan dia segera mengalihkan pandangan. "Oh... tentu, iya... itu... masuk akal," jawab Ferdi sambil menggaruk tengkuknya dengan canggung.
Dengan cepat, Ferdi menuntun Dina menuju ruang laundry yang berada di ujung apartemen. "Di sini ada mesin cuci dan pengering. Kamu bisa gunakan kapan saja. Tidak perlu sungkan," katanya, masih berusaha menyembunyikan rasa malunya.
Dina tersenyum tipis melihat reaksi Ferdi yang kikuk. "Terima kasih, Ferdi. Aku nggak akan lama," balasnya dengan nada yang lebih ringan.
Setelah Ferdi pergi meninggalkan ruang laundry, Dina merasa sedikit lega bisa menjaga privasinya. Sementara Ferdi kembali ke ruang tamu, mencoba menenangkan diri dari momen canggung barusan, sesekali tersenyum geli mengingat betapa malunya dia tadi.
...****************...
Ferdi tertegun di depan jemuran ketika matanya tanpa sengaja menangkap pemandangan yang tak seharusnya dilihatnya—pakaian dalam Dina yang tergantung di sana. Wajahnya langsung memerah hebat. Dia mengalihkan pandangan, merasa benar-benar salah tingkah.
Ferdi tersentak. Wajahnya seketika memerah, dan dia langsung merasa sangat canggung. Dia mundur perlahan, merasa seolah telah melanggar privasi tanpa sengaja.
"Astaga..." gumamnya sambil menghela napas dalam, berusaha menenangkan diri. Dia menutup pintu ruang laundry pelan-pelan, berharap tidak ada yang memperhatikan wajahnya yang saat itu sudah semerah tomat.
"Kenapa harus lihat yang begitu..." gumamnya pelan sambil buru-buru menggantung handuknya dengan cepat.
Ferdi baru ingat kalau mesin pengering di apartemen itu memang sudah rusak beberapa waktu lalu, dan dia belum sempat memanggil teknisi untuk memperbaikinya. Itulah sebabnya Dina menjemur pakaian dalamnya di sini.
Sambil menggelengkan kepala, Ferdi berusaha menenangkan diri. "Kenapa aku nggak kepikiran soal itu," pikirnya, merasa semakin kikuk. Dengan cepat, Ferdi berbalik dan berjalan ke kamarnya sendiri, merasa sangat malu dengan situasi itu.
Sesampainya di ruang tamu, Ferdi duduk sejenak, menarik napas panjang menahan perasaannya yang berdebar tak karuan.
...----------------...
Kenapa Ny Inneke tak segera memberitahu jika dia hanya keponakan pak Johan/ anak sambung? Yang bisa mewarisi harta Pak Johan suatu saat nanti. Aku yakin Pak Johan sudah punya filing dan telah membuat surat wasiat. Untuk ketiga anaknya termasuk Ronny
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina