Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Kepercayaan yang Rapuh
Malam semakin larut, dan suasana di dalam rumah terasa hening. Elyana duduk di ruang kerja kecilnya, berusaha memahami semua informasi yang telah ia pelajari hari ini. Namun, pikirannya terus kembali pada pengakuan Davin. Luka yang ia simpan begitu dalam akhirnya sedikit terbuka, meskipun Elyana tahu bahwa kepercayaan yang baru mulai terbangun itu sangat rapuh.
Di ruangan lain, Davin termenung di balkon kamarnya. Udara dingin malam menusuk, tetapi pikirannya jauh lebih gelisah daripada suhu udara di sekitarnya. Ia memikirkan kata-kata Elyana—janji yang ia ucapkan dengan begitu tulus. Sesuatu di dalam dirinya ingin percaya, ingin memercayai bahwa Elyana benar-benar tulus ingin bersamanya, tetapi bayangan masa lalunya terus menghantui.
Ketika Elyana memutuskan untuk menyusulnya, Davin tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia hanya melirik sekilas ketika Elyana muncul di ambang pintu balkon, membawa selimut yang ia letakkan di bahu pria itu tanpa banyak bicara.
“Dingin di luar,” katanya pelan.
Davin tidak menolak, hanya mendesah berat. “Kenapa kamu selalu keras kepala, Elyana?”
Elyana tersenyum kecil, meskipun lelah terlihat di wajahnya. “Mungkin itu satu-satunya cara aku bisa bertahan denganmu,” jawabnya setengah bercanda, berharap bisa mencairkan suasana.
Davin akhirnya tersenyum tipis—senyuman yang jarang sekali ia tunjukkan, tetapi cukup untuk membuat hati Elyana sedikit lebih ringan.
“Kamu seharusnya berhenti mencoba, Elyana,” kata Davin setelah hening sejenak. “Semua ini tidak akan membawa kita ke mana-mana.”
“Aku tidak akan berhenti,” jawab Elyana tegas, nada suaranya tidak meninggalkan ruang untuk keraguan. “Aku tahu ini sulit untukmu, tapi aku tidak akan menyerah. Kamu mungkin berpikir aku lemah, tapi aku belajar dari kesalahanku di masa lalu.”
Davin menoleh, menatap Elyana dengan pandangan yang lebih lembut daripada biasanya. Ada sesuatu dalam cara ia memandang wanita itu malam ini, seolah ia sedang mencoba memahami keberanian dan ketulusan Elyana.
“Kenapa kamu peduli?” tanyanya akhirnya, nadanya lebih lembut daripada sebelumnya.
“Karena aku mencintaimu,” jawab Elyana tanpa ragu, meskipun suaranya sedikit bergetar. “Aku mencintaimu, Davin. Dan aku tidak akan membiarkan kita berakhir seperti sebelumnya. Aku tahu aku membuat banyak kesalahan, tapi kali ini, aku ingin memperbaikinya.”
Davin terdiam lama, membiarkan kata-kata itu menggema di benaknya. Selama bertahun-tahun, ia membangun tembok di sekeliling hatinya, meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang bisa memahaminya atau mencintainya dengan tulus. Tetapi Elyana… ia berbeda.
Akhirnya, Davin mengulurkan tangannya, menyentuh lembut tangan Elyana yang ada di sampingnya. Itu adalah isyarat kecil, tetapi cukup untuk membuat Elyana tahu bahwa usahanya tidak sia-sia.
“Jangan buat aku menyesal memercayaimu,” kata Davin pelan, suaranya penuh dengan peringatan sekaligus harapan.
“Aku janji, aku tidak akan mengecewakanmu,” jawab Elyana dengan mantap.
Malam itu, keheningan di antara mereka terasa lebih damai daripada sebelumnya. Meski Davin belum sepenuhnya terbuka, Elyana tahu ini adalah langkah kecil menuju perubahan besar. Kepercayaan itu mungkin rapuh, tetapi bagi mereka berdua, itu adalah awal yang berarti.
Elyana menatap langit malam, berbisik dalam hati, Aku tidak akan menyerah lagi. Kali ini, aku akan menyelamatkanmu… dan kita.
Malam terasa sunyi, hanya diiringi suara rintik hujan yang mengetuk lembut jendela ruang tamu. Elyana dan Davin duduk berseberangan di meja makan, suasana di antara mereka terasa berbeda. Elyana tidak ingin memaksakan apapun, tetapi ia tahu bahwa ini adalah momen penting—langkah pertama untuk merekatkan hubungan mereka yang mulai rapuh.
“Kenapa kamu mau bertahan?” tanya Davin tiba-tiba, suaranya tenang tetapi terdengar seperti ada beban berat di dalamnya.
Pertanyaan itu membuat Elyana terdiam sesaat. Ia mengangkat pandangannya, menatap mata suaminya yang penuh keraguan. “Karena aku mencintaimu, Davin. Dan aku tahu, jauh di lubuk hatimu, kamu juga mencintaiku.”
Davin tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. “Kamu terlalu percaya diri.”
Elyana tersenyum tipis dalam benaknya ia menyangkal perkataan Davin itu, karena ia tau semuanya sebelum akhirnya kembali ke masa lalu. Tapi ia tidak ingin membuat Davin malu karenanya. “Mungkin. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa meninggalkanmu. Bukan setelah semua yang aku tahu.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Davin meraih gelas anggurnya, memutar cairan merah itu sebelum menyesapnya perlahan. Matanya tetap tertuju pada Elyana, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu sepenuhnya,” katanya akhirnya, suaranya terdengar berat. “Tapi aku tahu kamu tidak akan menyerah begitu saja.”
Elyana mengangguk pelan. “Aku tidak akan menyerah, Davin. Aku berjanji.”
Davin menatap Elyana lama, dan untuk pertama kalinya, ia terlihat seperti seseorang yang kehilangan arah. “Kalau begitu, kita mulai dari sini,” ucapnya dengan nada yang lebih lembut.
Elyana merasa ada harapan kecil yang mulai tumbuh di antara mereka. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya, ia telah membuat langkah pertama untuk mendapatkan kembali kepercayaan Davin.
Beberapa hari kemudian
Davin mulai sedikit terbuka, meskipun masih dengan hati-hati. Ia mulai menceritakan beberapa detail kecil tentang masa lalunya, tentang Ryo Kasahara, dan tentang keluarga Griffith yang penuh intrik. Elyana mendengarkan dengan saksama, tidak pernah memotong atau menyela.
Suatu malam, ketika mereka sedang berbicara di ruang kerja, Davin akhirnya mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan. “Ryo tidak hanya membenciku karena pengkhianatan itu. Dia juga... menyalahkanku atas kematian ibuku.”
Elyana terkejut. “Apa maksudmu?”
Davin menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Ibu tahu tentang rencana ayah. Dia mencoba menghentikannya, tapi semuanya malah berakhir buruk. Ketika Ryo tahu bahwa keluargaku memanipulasinya, dia datang untuk menuntut jawaban. Malam itu... ibu mencoba melindungi ayahku, dan... dia terbunuh dalam kecelakaan yang seharusnya tidak terjadi.”
Elyana merasakan dadanya sesak mendengar cerita itu. Ia bisa merasakan betapa dalam luka yang Davin bawa selama ini.
“Davin... aku tidak tahu harus berkata apa,” ucap Elyana pelan.
“Kamu tidak perlu berkata apa-apa,” jawab Davin singkat. “Aku hanya ingin kamu tahu. Dan aku ingin kamu menjaga dirimu sendiri, karena aku tidak yakin bisa melindungi mu jika Ryo benar-benar bertindak.”
Elyana menggenggam tangan Davin, mencoba memberikan ketenangan. “Kita akan menghadapi ini bersama, Davin. Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Davin tidak menjawab, tetapi ia tidak menarik tangannya dari genggaman Elyana. Itu adalah langkah kecil, tetapi cukup berarti.
Pagi berikutnya
Saat Davin sedang keluar untuk urusan pekerjaan, Elyana memutuskan untuk mengunjungi Nesya, sahabatnya juga yang seorang penyelidik pribadi. Elyana ingin mencari tahu lebih banyak tentang Ryo Kasahara dan hubungannya dengan keluarga Griffith.
“Aku membutuhkan informasi lengkap tentang Ryo,” kata Elyana setelah menceritakan situasinya.
Nesya mengangguk, ekspresinya serius. “Aku akan melakukan yang terbaik. Tapi, Elyana, kamu harus berhati-hati. Jika dia benar-benar seberbahaya itu, ini bisa menjadi risiko besar.”
“Aku tahu, Nesya. Tapi aku tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu,” jawab Elyana tegas.
Setelah pertemuan itu, Elyana kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan berisiko, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Davin dan hubungan mereka.
Elyana termenung di ruang tamu, memegang jam saku yang selama ini menjadi pengingat bahwa ia telah diberikan kesempatan kedua. “Aku tidak akan menyia-nyiakan ini,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Malam hari
Ketika Davin pulang, Elyana sudah menyiapkan makan malam untuk mereka. Meski suasana masih terasa canggung, ada sesuatu yang berubah—seperti ada jarak di antara mereka yang perlahan mulai menghilang.
“Terima kasih sudah memasak,” kata Davin singkat, tetapi ada nada hangat dalam suaranya.
Elyana tersenyum. “Aku hanya ingin kita mencoba menikmati waktu bersama.”
Malam itu, mereka berbicara lebih banyak daripada sebelumnya. Meskipun Davin masih terlihat berhati-hati, Elyana merasa bahwa ia mulai membuka diri. Sedikit demi sedikit, kepercayaan yang rapuh di antara mereka mulai tumbuh.
Di balik tatapan dinginnya, Elyana melihat seorang pria yang rapuh tetapi juga penuh kasih sayang. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia tidak akan menyerah.
“Kali ini, aku akan memperjuangkan kita,” bisik Elyana dalam hati.
Kepercayaan yang rapuh itu menjadi fondasi baru bagi hubungan mereka, dan Elyana bertekad untuk tidak membiarkannya runtuh lagi.
...****************...