Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Fakta
Kepergian dua orang penting di Paragon Grup bersama salah satu petugas kebersihan, masih menjadi perbincangan hangat para karyawan. Hampir semua divisi membicarakan peristiwa langka tersebut.
"Eh, kalian sudah dengar belum? Informasi tentang Erik?" tanya salah satu petugas kebersihan kepada dua orang temannya yang baru datang dalam ruangan khusus untuk mereka.
"Informasi apa? Apa Erik sudah diserahkan kepada pihak yang berwajib?" tanya pria berbadan kekar. "Kalau benar? Hahaha... malam ini, kita harus merayakannya dong."
"Bukan," bantah pria berperut buncit. "Dia tadi pergi bareng Tuan besar dan Tuan Alex."
"Apa!" Dua rekannya nampak terkejut.
"Kamu yakin?" tanya pria bertubuh lebih pendek dari keduanya.
"Yakinlah. Yang lihat juga banyak. Bahkan mereka berada dalam satu mobil."
"Apa!" kedua orang itu kembali terperangah.
"Iya, entah mereka akan pergi kemana. Bahkan, tadi kata petugas keamaan yang mengantar Erik ke ruangan Tuan besar, mereka mengantar Erik sampai ke kamar pribadi Tuan besar."
"Hah! Kok bisa gitu?" pria bertubuh kekar nampak tak percaya. "Nggak mungkin? Ngarang pasti itu."
"Kan mereka sendiri yang bilang. Katanya, tidak biasanya Tuan besar bersikap kaya gitu."
"Waduh! Apa jangan-jangan Erik berbuat curang?" pikiran buruk pria bertubuh kekar mulai bekerja cepat.
"Curang bagaimana?" sekarang, gantian pria berperut buncit yang bertanya.
"Ya curang. Bisa saja kan, Erik cari muka dengan mengatakan yang tidak-tidak pada Tuan besar. Bisa jadi, dia mengadukan perbuatan kita selama ini ke Tuan besar."
"Apa! Waduh bisa bahaya nih," pria bertubuh agak pendek nampak panik.
"Kalau sampai itu terjadi, awas aja, aku tidak akan pernah membiarkan hidup Erik tenang," sumpah pria bertubuh kekar penuh kebencian.
Sementara itu, masih di dalam gedung yang sama, nampak seorang wanita berjalan anggun menuju ke salah satu ruangan. Wanita itu sama sekali tidak menunjukan sikap hangat kepada setiap orang yang menyapanya. Dia terus melangkah sampai berdiri tepat di depan pintu sebuah ruangan.
"Permisi, Nyonya. Tuan besar sedang tidak ada di ruangannya," ucap seorang pria yang menjadi sekretaris di tempat tersebut.
"Tuan besar tidak ada? Kemana dia?" tanya wanita itu.
"Tidak tahu, Nyonya. Tuan tidak memberi tahu saya, beliau akan pergi kemana hari ini," jawab sang sekretaris.
"Dia pergi sendirian?" wanita itu menjadi penasaran.
"Tidak, Nyonya. Dia pergi bersama Tuan Alex dan seorang anak laki-laki."
"Anak laki-laki? Siapa?"
"Saya tidak tahu, Nyonya. Tapi, dilihat dari seragam yang dia kenakan, dia petugas kebersihan di kantor ini."
Kening wanita berkerut. Nampak sekali rasa heran dan penasaran bercampur jadi satu dalam benaknya. Dia pun bersiap untuk pergi. Namun di saat kakinya hendak melangkah, wanita itu seperti mengingat sesuatu.
"Anak laki-laki?" wanita itu kembali bertanya.
"Iya, Nyonya. Dia anak muda," jawab sang sekretaris.
"Apa! Jangan-jangan.. " wanita itu segera melangkah dengan cepat. Semoga dugaanku salah. Tapi kalau benar, berarti aku sedang dalam bahaya."
Sementara itu kedatangan mobil yang dikendarai Erik bersama dua atasannya, kembali menjadi perhatian begitu memasuki perkampungan. Setelah menempuh waktu hampir tiga puluh menit, mobil itu sudah terparkir tepat di halaman depan rumah Erik.
Mobil yang dikendarai Erik termasuk mobil yang sangat mewah, dan wajar jika kedatangannya mencuri perhatian para penduduk di sana.
Orang-orang nampak terkejut, begitu menyaksikan Erik keluar dari mobil mewah, termasuk wanita yang sedang menjemur pakaian di sisi sebelah lain, dari halaman rumah Erik.
Para tetangga Erik semakin dibuat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh wanita yang panggil Ibu oleh Erik, saat wanita itu menyiram pria ber jas dengan air bekas rendaman pakaian.
"Ibu!" pekik Erik. Pemuda itu segera menghampiri sang ibu yang nampak begitu marah. "Ibu, kenapa berbuat seperti ini?"
Wanita berdaster itu langsung menatap tajam anaknya. "Kenapa! Kamu nggak terima? Hah!"
"Bu," Erik seperti memohon. "Dia..."
Sang Ibu membanting ember di depan Tuan besar yang terpaku.
Duar!
Erik, Tuan besar dan semua yang melihat kejadian itu, langsung kaget secara bersamaan.
"Ibu!" Erik tak kuasa menahan suara kerasnya.
"Apa! Kamu berani membentak ibu!" suara sang ibu lebih lantang.
"Bukan begitu," Erik jadi serba salah.
Sementara, Tuan besar masih diam terpaku, menatap dua orang yang sedang berdebat karena kehadirannya.
Alex sendiri baru keluar dari mobil sembari menyodorkan sapu tangan untuk membersihkan beberapa bagian tubuh Tuan besar yang basah.
"Anda tidak apa-apa?" tanya Alex panik. Namun sang Tuan besar hanya menjawabnya dengan kode tangan.
"Kenapa kamu jam segini tidak bekerja? Kenapa kamu keluyuran sama dia, hah!" bentak Ibu kepada anaknya, sambil menunjuk ke arah Tuan besar.
"Bu, ibu salah paham, aku hanya ..." Erik tak berani melanjutkan ucapannya.
"Hanya apa? Katakan, cepat!" desak sang Ibu tanpa menurunkan nada suaranya.
Erik semakin panik. Mau tidak mau dia memang harus jujur. "Aku hanya mengantar atasanku yang pengin berkunjung ke sini."
"Apa? Atasan?" Sang ibu menatap tiga orang itu secara bergantian. Beberapa detik kemudian, mata wanita itu melebar. Sepertinya dia tahu sesuatu dan saat itu juga sang Ibu mengedarkan pandangannya ke halaman rumah.
"Gawat!" pekik Erik. Anak muda itu tahu, apa yang sedang dicari Ibunya.
Tepat sesuai dugaan, begitu, sang Ibu menemukan benda yang dia cari, Erik langsung bergerak, mencari perlindungan di balik tubuh ke dua atasannya.
"Sini kamu, anak pembohong! Erik!" teriak sang Ibu sambil mengacungkan gagang sapu. "Erik, sini! Berani-beraninya kamu membohongi ibu ya?"
"Aku tidak berbohong, Bu. Aku hanya belum bercerita!" kilah Erik.
"Nggak usah ngeles! Sini!" teriak Ibu semakin kencang.
"Bu, jangan teriak-teriak. Malu dilihatin tetangga," Erik berusaha membujuk sang Ibu dengan tetap berlindung dibalik tubuh dua atasannya.
Erik memang tidak salah. Beberapa tetangga nampak geleng-gelang kepala melihat tingkah Ibunya. Sepertinya, mereka sudah terbiasa, melihat Erik dimarahi seperti itu.
Sedangkan alex dan Tuan besar, sama sekali tidak melakukan apapun. Sepertinya mereka juga takut terlalu menanggung resiko jika harus menghadapi kemarahan seorang wanita.
"Ibu nggak peduli, sini kamu!" bentak sang Ibu. Lalu dia mengacungkan gagang sapu pada dua atasan anaknya. "Pasti kalian berdua yang mempengaruhi Erik untuk berbohong, iya kan?"
Kedua atasan Erik sontak terperangah.
"Kami tidak melakukan apapun. Kami bahkan baru tahu Erik bekerja dikantor kami, hari ini," jawab Alex.
"Bohong!" bentak Ibu tak percaya. "Dasar kalian, bisanya cuma menipu doang!"
"Bu," seru Erik. "Ibu mengenal Tuan besar dan Tuan Alex?"
Alex dan Tuan besar terperangah mendengar pertanyaan Erik, sedangkan sang Ibu langsung terbungkam.
"Bu," Erik melangkah menghampiri ibunya. Lalu dia menatap dua atasannya. "Apa Tuan mengenal Ibu saya?"
Alex dan Tuan besar saling pandang sejenak, lalu mereka menatap Erik.
"Tuan besar ini, ayah kamu, ERik."
"Apa!"