Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harmony or Clash?
Pagi itu, sinar matahari lembut menembus jendela besar ruang makan, menghangatkan lantai marmer dingin dan memantulkan kilauan emas di permukaan meja makan kaca. Udara segar pagi hari menyelinap melalui celah kecil di jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma dedaunan yang basah setelah hujan malam. Rumah mereka yang megah terasa sepi, hanya dihiasi suara gesekan peralatan makan ketika Chandra dan Shabiya menikmati sarapan pertama mereka di minggu yang sibuk setelah pernikahan.
Shabiya duduk di seberang Chandra, menyesap teh hijau dengan anggun, sementara ia mengamati suaminya yang sibuk mengutak-atik tablet di tangannya. Setiap kali ia melihat Chandra bekerja, ada sesuatu yang tidak pernah gagal menarik perhatiannya_keseriusan dan ketelitian pria itu. Sebuah kualitas yang, walaupun membuatnya kagum, terkadang terasa seperti jarak tak terlihat di antara mereka. Tapi pagi ini, suasana terasa lebih hangat, lebih intim, meski percakapan mereka terfokus pada rutinitas sehari-hari.
"Aku mungkin akan pulang telat malam ini," kata Chandra tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh dengan kepastian. Dia menatap layar tablet sebentar sebelum memandang Shabiya, ekspresinya serius. "Ada banyak pekerjaan yang menumpuk selama seminggu kita tidak masuk kantor. Aku harus menyelesaikan semuanya sebelum akhir minggu."
Shabiya mengangguk, mengerti. Ia juga mengalami hal yang sama di kantornya. Mereka berdua baru saja kembali bekerja setelah menghabiskan seminggu untuk pernikahan dan penyesuaian di rumah baru mereka. Tumpukan tugas yang menunggu tak terelakkan. "Aku mengerti. Kantorku juga cukup sibuk minggu ini. Mungkin aku akan lembur juga."
Kalimat itu keluar begitu saja, tanpa memikirkan dampaknya. Sebagai seorang CEO yang terbiasa dengan hari-hari yang panjang dan jadwal yang padat, bekerja hingga larut adalah bagian dari rutinitasnya. Namun, saat kata-kata itu meluncur, ia merasakan sesuatu berubah dalam ekspresi Chandra. Suaminya berhenti sejenak, menatapnya dengan tatapan yang dalam_bukan tatapan tajam, tapi ada sedikit kerutan di dahinya, tanda ketidaksenangan yang tertahan.
Chandra meletakkan tablet di atas meja, perlahan menyilangkan tangan di dadanya. "Aku tidak ingin kau pulang terlambat, Shabiya."
Suara Chandra tetap tenang, namun ada nada protektif yang jelas. Shabiya berhenti sejenak, menatapnya dengan sedikit heran. Ia tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti ini.
"Maksudmu?" tanyanya, sedikit kebingungan. "Ini bukan pertama kali aku lembur. Aku sering melakukannya, sejak dulu, sebelum kita menikah. Kau tahu itu."
"Aku tahu," jawab Chandra dengan nada tegas, tapi kali ini tatapannya berubah lebih lembut, seolah berusaha meredakan ketegangan yang mungkin muncul. "Tapi sekarang situasinya berbeda. Kau sudah menjadi istriku. Dan aku merasa bertanggung jawab untuk memastikan kau aman dan tidak terlalu memaksakan diri."
Shabiya merasakan sebuah percikan aneh dalam dirinya mendengar kata-kata itu. Ia menghargai perhatian Chandra, tetapi pada saat yang sama, perasaan mandirinya terusik. Ia bukan tipe wanita yang terbiasa diberitahu apa yang harus dilakukan_sepanjang hidupnya, ia sudah mengatur semuanya sendiri, membuat keputusan tanpa harus meminta izin atau bertanya pada orang lain.
"Chandra, aku tahu batasanku. Dan aku bisa menjaga diriku sendiri," jawabnya perlahan, mencoba mempertahankan nada bicara yang tenang, meski ada sedikit ketegangan yang menyusup dalam suaranya.
Chandra menatapnya dalam-dalam, matanya tampak sedikit lebih gelap sekarang, seperti badai yang mulai berkumpul di kejauhan. "Aku tidak meragukan kemampuanmu. Tapi aku suamimu sekarang, dan aku tidak suka jika kau berada di luar rumah larut malam. Tidak peduli seberapa aman yang kau pikirkan."
Suasana pagi yang sebelumnya hangat berubah, seperti udara yang tiba-tiba terasa lebih berat di antara mereka. Di satu sisi, Shabiya bisa melihat Chandra mencoba menjalankan perannya sebagai suami_peran yang mungkin baru baginya, tetapi penuh dengan tanggung jawab yang ia ambil serius. Namun, di sisi lain, Shabiya tidak bisa mengabaikan dorongan dalam dirinya untuk mempertahankan kebebasannya.
"Ini bukan soal aku tidak aman atau tidak, tapi aku sudah terbiasa dengan ritme hidup seperti ini. Kau tahu aku juga punya tanggung jawab di kantor," katanya dengan nada yang sedikit lebih tegas, tanpa ia menyadarinya.
Chandra menarik napas dalam, menatapnya lekat-lekat. "Aku paham itu. Aku juga punya tanggung jawab. Tapi kita sekarang dalam situasi yang berbeda, Shabiya. Aku tidak melarangmu bekerja, tapi aku tidak ingin kau bekerja hingga larut malam dan pulang sendirian."
“Aku tidak akan diam saja jika pekerjaan itu mulai merusak hubungan kita, kau ingat?” Kekhawatiran dalam suara Chandra begitu jelas, namun juga bercampur dengan kebutuhan akan kontrol. Shabiya tahu bahwa ini bukan sekadar tentang keselamatan fisik_ini lebih dari itu. Ini tentang posisi Chandra sebagai suami yang merasa bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan istrinya. Ada sisi protektif, mungkin bahkan posesif, yang muncul dalam dirinya. Dan di saat yang sama, Chandra tidak terbiasa dengan konsep bahwa wanita di sampingnya adalah seseorang yang sangat mandiri dan berprinsip.
Shabiya terdiam sejenak\, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk merespon. Dia bisa melawan\, menyatakan bahwa dirinya cukup mampu membuat keputusan sendiri. Namun ia tahu\, ada batas tipis antara menjaga kebebasannya dan membangun hubungan yang sehat dengan pria di depannya ini. Bagaimanapun\, pernikahannya dan Chandra bukanlah pernikahan kontrak yang bisa berakhir kapan saja. Pernikahan mereka sungguhan dan penuh kesepakatan serta saling menguntungkan. Jika Shabiya ingin terus bersekutu dengan suaminya untuk menghadapi Awan\, tentu saja\, ia tidak bisa berjalan sendirian. Ia butuh Chandra. Dan mulai saat ini\, suka ataupun tidak\, Shabiya memang harus_sedikit menurut_pada pria yang kini berstatus sebagai suaminya.
"Baiklah," akhirnya Shabiya berkata, berusaha menekan harga dirinya yang biasanya setinggi langit. "Aku akan berusaha untuk tidak pulang terlalu larut. Kau puas?"
"Oke," katanya akhirnya. "Tapi pastikan kau benar-benar pulang tidak terlalu larut. Dan jika kau merasa tidak aman atau lelah, telepon aku. Aku akan datang menjemput."
Shabiya tersenyum tipis, meskipun masih ada rasa campur aduk di dadanya. Ini mungkin bukan sepenuhnya solusi yang ia inginkan, tetapi itu cukup untuk sekarang. Ia bisa melihat bahwa Chandra berusaha mencari cara untuk mengakomodasi keinginannya, meski dengan caranya sendiri. Atau, mungkin saja ini cara Chandra, agar mereka bisa punya waktu untuk lebih banyak bersama alih-alih sibuk bekerja.
Mereka kembali sarapan, percakapan bergulir pada hal-hal yang lebih ringan, tentang rencana hari itu, tentang pekerjaan yang menumpuk. Tapi di dalam kepala masing-masing, mereka masih memikirkan tentang apa yang baru saja terjadi. Ini bukan sekadar soal siapa yang pulang lebih awal atau terlambat. Ini adalah tentang bagaimana mereka akan menyeimbangkan kehidupan pernikahan dengan dunia yang sudah mereka bangun sendiri-sendiri_tentang bagaimana dua individu yang kuat dan mandiri bisa bersatu tanpa kehilangan jati diri mereka.
***