WARNING ***
HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!!
Menjadi istri kedua bukanlah cita-cita seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Anastasia.
Ia rela menggadaikan harga diri dan rahimnya pada seorang wanita mandul demi membiayai pengobatan ayahnya.
Paras tampan menawan penuh pesona seorang Benedict Albert membuat Ana sering kali tergoda. Akankah Anastasia bertahan dalam tekanan dan sikap egois istri pertama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pikiran Yang Terbagi
Di balik pintu, Ana merasa bersalah pada Rosalie. Namun Ana juga tidak menyalahkan Ben, karena semua ini adalah keputusan mereka berdua.
Sebelum penghuni kamar menyadari keberadaan Ana, gadis itu kembali ke ruang makan. Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Ben dan Rosalie tak kunjung keluar.
"Aku akan kembali ke kamar, katakan pada Nyonya dan Tuan jika aku sudah selesai sarapan," ujar Ana pada salah seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari meja makan.
Meski pelayan itu merasa bingung, ia hanya mengangguk dan menuruti apa yang Ana katakan.
Dengan perasaan tidak karuan, Ana masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Ia berusaha memahami bagaimana rasanya menjadi Rosalie. Pasti tidak mudah bagi wanita itu untuk merelakan suaminya tidur bersama wanita lain, juga merelakan rumahnya sebagai tempat tinggal istri kedua suaminya.
Ana merasa sangat jahat jika ia tidak memahami Rosalie. Ana tidak mau menyakiti perasaan wanita itu, namun pada dasarnya Rosalie lah yang menyakiti dirinya sendiri dengan meminta suaminya menikah lagi.
Kini perut yang awalnya terasa amat lapar itu mulai mengerti, bahwa kegelisahan mampu memusnahkan selera makan. Ana memutuskan untuk membaca buku dan mendengarkan musik untuk menenangkan diri.
Pukul delapan pagi, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Saat membukanya, Ben berdiri di sana dan menyerobot masuk.
"Anastasia, apa kau sudah benar-benar sarapan?" tanya Ben.
"Sudah."
"Aku tidak melihat bekas piringmu di meja makan."
"Mungkin pelayan sudah membereskannya."
Ben menutup pintu, ia mendekat dan memeluk Ana. Namun reaksi gadis itu di luar dugaan, Ana mundur beberapa langkah dan menepis tangan Ben dengan lembut.
"Ada apa?" tanya Ben. Laki-laki itu mengerutkan kening.
"Sebaiknya kita memberi batasan untuk hubungan kita. Pernikahan ini hanya sebuah kontrak untuk mendapatkan anak, di luar waktu kita melakukannya, kau tidak perlu bersikap berlebihan padaku," jelas Ana.
"Anastasia." Ben maju beberapa langkah sambil mengulurkan tangan. Namun Ana terus mundur dan menghindar.
"Kita harus menjaga perasaan Kak Rosalie. Berhenti bersikap baik padaku, aku khawatir akan menyakitinya," ucap Ana.
"Tidak ada yang namanya pernikahan kontrak, Anastasia. Pernikahan adalah pernikahan, di mana saat seorang laki-laki dan perempuan disatukan, maka mereka adalah pasangan yang sah. Berhenti berbicara omong kosong!" seru Ben menegaskan.
"Aku mohon. Kau bisa datang padaku kapan saja saat kau menginginkannya, asalkan itu di masa suburku. Selain itu, anggap aku tidak ada di rumah ini," ucap Ana. Gadis itu berbalik dan masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Ben yang kehilangan kata-kata untuk membantah keinginannya.
"Anastasia ... Ana!" seru Ben memukul-mukul pintu kamar mandi.
"Pergilah, sebelum kita membuat Kak Rosalie semakin marah!" teriak Ana dari dalam.
"Kita harus bicara, buka pintunya!"
"Aku mohon, pergilah!" teriak Ana.
Ben mengusap wajahnya kasar, ia berjalan keluar dari kamar Ana dan membanting pintu kamar itu dengan kasar. Kini laki-laki itu sadar, bahwa menghadapi dua wanita dalam satu rumah ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Jika saja Rosalie mengizinkan agar Ana tinggal secara terpisah, mungkin keadaan tidak akan serumit ini. Ben hanya ingin bersikap adil, memperlakukan Ana seperti Rosalie, karena keduanya adalah istrinya.
Rosalie adalah wanita yang sensitif, ia mudah cemburu bahkan sebelum Ana hadir dalam hidup mereka. Dan wanita itu sendiri yang secara tidak langsung menyakiti diri sendiri.
Meninggalkan dua istrinya dalam keadaan kacau, Ben pergi ke kantor. Sebagai pemilik sekaligus pemimpin perusahaan, Ben punya tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan.
Selama di kantor, laki-laki itu gelisah dan tidak bisa berpikir. Seluruh otaknya terbagi antara Ana dan Rosalie, membuat kepalanya berdenyut nyeri.
🖤🖤🖤
Pukul tiga sore, Ben sudah kembali ke rumah. Laki-laki itu bahkan bingung harus datang ke kamar siapa.
Saat ia merasa tidak punya tempat tujuan, Ben lebih memilih untuk masuk ke ruang kerjanya. Hanya ini tempat di mana ia tidak akan mendapatkan masalah.
Saat tahu suaminya sudah pulang, Rosalie mencari keberadaan laki-laki itu, ia bertanya pada beberapa pelayan dan mendatangi Ben ke ruang kerjanya.
"Sayang, kau di sini?" tanya Rosalie.
"Hmm, ada sesuatu yang masih harus kukerjakan," jawab Ben beralasan.
"Mulai malam ini kau tidur bersamaku, karena masa subur wanita hanya berlangsung dua hingga tiga hari, maka kau tidak perlu lagi tidur di kamar Ana," jelas Rosalie.
"Hmm, tentu. Aku tahu." Ben bersikap seolah-olah itu adalah kabar yang tidak mengejutkan, padahal ia benar-benar terkejut, atau lebih tepatnya kecewa. Ia kecewa karena hanya memiliki waktu yang sangat singkat bersama Ana, apalagi perkataan gadis itu pagi tadi menjadi beban di hatinya.
Rosalie memeluk Ben dari kursi belakangnya, wanita itu membiarkan tangannya meraba dada bidang sang suami dengan penuh cinta. Rosalie bersikap seolah tidak pernah terjadi sesuatu pada mereka, padahal pagi tadi wanita itu begitu histeris dan kesal lantaran cemburu.
Ben menarik napas dalam-dalam, berusaha melepas sejenak beban hatinya. Laki-laki itu tidak bisa menyangkal, bahwa kini Ana mengambil alih pikirannya.
"Ayo ke kamar, kau harus mandi dan beristirahat," ajak Rosalie. Wanita itu berpindah ke depan Ben dan duduk di atas pangkuan laki-laki itu.
Ben tersenyum, ia mencium punggung tangan Rosalie. "Kembalilah, aku akan menyusul," ucapnya.
"Hmm, baiklah." Rosalie mengangguk dan turun dari pangkuan Ben.
Sepeninggal Rosalie, Ben hanya bisa menyandarkan kepalanya pada kursi. Ada banyak hal yang ingin ia bicarakan bersama Ana, bahkan gadis itu belum pernah menghubunginya meski mengetahui nomor ponselnya.
Ben tidak yakin jika ia bisa bertahan untuk tidak mendekati Ana sampai masa subur gadis itu bulan depan. Bahkan jika sampai Ana sudah dinyatakan positif dalam sekali hubungan, maka Ben hanya bisa menggigit jari dan meratapi diri.
Tidak ingin membuat Rosalie menunggu, Ben akhirnya keluar dari ruang kerjanya. Ia melirik kamera CCTV yang terpasang di sudut dinding. Kamera pengawas itu menyorot lantai dua dengan bebas, menangkap semua gambar dan aktivitas di seluruh area.
"Haruskah aku merusaknya?" batin Ben bertanya. Karena jika Rosalie terus mengintai, maka Ana tidak akan pernah merasa nyaman di rumah ini.
Kamar Ana berada paling ujung, dekat dengan ruang kerjanya.Sementara kamar Rosalie, terletak di dekat ruang fitness. Beruntung kamar mereka tidak bersebelahan, karena jika itu terjadi, maka perang dunia tidak akan pernah usai di rumah ini.
Ben masuk ke dalam kamar, ia melihat Rosalie dengan pakain tipis menerawang. Wanita itu seolah ingin menggoda, juga ingin memastikan perasaan Ben padanya.
"Aku sudah menyiapkan air hangat, mandilah," pinta Rosalie. Ben hanya mengangguk dan tersenyum.
Di dalam kamar mandi, bayangan tentang Ana memenuhi kepalanya. Ben tidak bisa melupakan kenikmatan mereka saat bersama, bahkan bayangan tentang ciuman dan lekuk tubuh menggodanya membuat Ben semakin gila.
🖤🖤🖤
karena tidak semua hal di dunia ini terwujud sesuai keinginan mu