I Will Protect You

I Will Protect You

Pertemuan Pertama

Chandra berdiri di tepi jendela besar di ruang kerjanya, memandang ke arah gedung-gedung tinggi yang menjulang di kejauhan. Kota ini, yang selalu penuh dengan aktivitas dan hiruk-pikuk kehidupan modern, terasa begitu hampa. Di lantai paling atas dari gedung perkantoran milik keluarganya, ia merasa terasing. Tangannya menyentuh kaca jendela yang dingin, sementara pikirannya berkecamuk dalam keheningan yang menyesakkan.

Ruangan di sekelilingnya sangat luas dan mewah, dengan lantai marmer yang mengkilap dan perabotan kayu mahoni berkelas yang mencerminkan kekayaan keluarganya. Sebagai CEO di perusahaan ayahnya, Chandra adalah sosok yang dihormati dan dipandang sukses di dunia bisnis. Namun, di balik segala kemewahan ini, ia merasakan kehampaan yang semakin hari semakin menggerogoti dirinya.

Beberapa hari yang lalu, hidupnya berantakan. "Aku dan Erika..." Kata-kata kakaknya, Awan, terus terngiang di benaknya. Pengakuan itu menghancurkan seluruh kepercayaannya pada keluarga dan cinta. Erika, wanita yang ia cintai dan yang selama ini menjadi sumber kebahagiaannya, ternyata diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Awan. Bukan hanya itu, Erika kini mengandung anak dari Awan. Dunia Chandra seolah hancur dalam sekejap.

Pandangan Chandra beralih ke meja kerjanya, di mana sebuah undangan pernikahan tergeletak_pernikahan yang seharusnya antara Awan dan seorang gadis bernama Shabiya. Namun, setelah pengkhianatan itu, perjodohan mereka dibatalkan. Kini, pernikahan itu jatuh pada dirinya, sebuah keputusan yang dibuat oleh ayahnya untuk menyelamatkan reputasi keluarga. Shabiya, seorang wanita dari keluarga terpandang, adalah seseorang yang seharusnya tidak pernah masuk dalam kehidupan Chandra. Namun, kini nasibnya terjalin dengan wanita yang tak pernah ia kenal.

Chandra memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. Ruang kantornya yang besar dan dingin terasa semakin menyempit, menekan dadanya. Ia muak pada segala kebohongan yang mengelilinginya_Erika, Awan, keluarganya. Bahkan, perusahaan yang ia kelola dengan tangan dingin terasa tak lebih dari beban sekarang.

Saat langkah kaki bergema dari arah pintu, pintu kayu besar itu terbuka. Ayahnya, Pak Satria, masuk dengan langkah mantap. Pak Satria adalah pria tua yang meski tubuhnya mulai melemah, masih memancarkan wibawa seorang pemimpin besar. Ia memandang putranya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan, campuran rasa iba dan harapan.

“Chandra,” ucapnya pelan, tapi suaranya penuh ketegasan. “Aku sudah berbicara dengan keluarga Shabiya. Mereka setuju dengan penggantian ini. Kau yang akan menikahinya, menggantikan Awan.”

Chandra menoleh perlahan, menatap ayahnya dengan ekspresi datar. “Kau tahu aku tidak peduli dengan ini, kan?” ucapnya dingin.

“Aku tahu,” jawab Pak Satria, mendekat ke arah Chandra. “Tapi ini bukan soal apa yang kau pedulikan, Chandra. Ini soal keluarga. Kita sudah memberikan janji pada keluarga Shabiya, dan janji itu harus ditepati.”

Chandra mendengus, tertawa tanpa humor. “Janji? Setelah semua ini? Setelah Awan dan Erika?”

Pak Satria menundukkan kepalanya sejenak, membiarkan keheningan mengambil alih sebelum melanjutkan. “Aku tahu kau merasa dikhianati. Tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Kadang, kita harus melakukan apa yang benar, bukan apa yang kita inginkan.”

“Benar? Apa yang benar tentang semua ini?” Chandra menatap ayahnya tajam, suaranya rendah tapi penuh dengan kemarahan yang tertahan. “Aku tidak mencintainya, aku bahkan tidak mengenalnya.”

Pak Satria menarik napas panjang. “Kau akan mengenalnya. Dan cinta? Cinta bisa datang seiring waktu.” Ia mengulurkan tangan, menepuk bahu Chandra dengan lembut. “Shabiya bukan Erika. Dia tidak bersalah dalam semua ini.”

Chandra mengalihkan pandangannya kembali ke jendela, hatinya bergejolak antara keputusasaan dan ketidakpedulian. “Aku akan melakukannya, bukan karena aku setuju. Tapi karena aku ingin mengakhiri semua ini.”

Pak Satria mengangguk perlahan, tidak menambah kata-kata lagi. Ia tahu, di balik sikap keras Chandra, ada luka yang dalam. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pak Satria berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Chandra sendirian dengan pikirannya yang berantakan.

***

Sore itu, langit kota tampak kelabu, menyiratkan hujan yang sebentar lagi akan turun. Mobil mewah Chandra meluncur di jalan-jalan utama kota, melewati gedung-gedung tinggi yang memancarkan kesibukan modern. Lalu lintas yang padat dan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip menambah kesan megah, tetapi bagi Chandra, semua ini hanyalah latar belakang yang tidak berarti. Pikirannya masih tenggelam pada pertemuan yang akan segera terjadi_pertemuan dengan Shabiya.

Rumah keluarga Shabiya berada di kawasan elit yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota. Saat mobil Chandra melewati gerbang besar yang dijaga ketat, pandangannya tertuju pada rumah megah bergaya klasik yang berdiri kokoh di tengah taman luas. Pohon-pohon besar yang rindang dan bunga-bunga yang tertata rapi di taman memberikan kesan elegan, tetapi dingin.

Begitu mobil berhenti, seorang pelayan membukakan pintu, mempersilakan Chandra untuk masuk. Saat ia melangkah masuk ke dalam rumah, suasana mencekam langsung menyelimutinya. Interior rumah itu dipenuhi dengan ornamen mahal, namun terasa sunyi dan penuh ketegangan. Suara langkah kaki terdengar mendekat, dan kemudian ia melihatnya_Shabiya.

Wanita itu berdiri di ujung ruangan, mengenakan gaun panjang sederhana berwarna krem. Wajahnya cantik, dengan mata yang besar dan sorot tajam. Namun, yang paling menarik perhatian Chandra adalah ekspresi Shabiya_wajah yang datar dan dingin, tanpa senyum, hanya tatapan waspada yang menyiratkan ketidakpercayaan.

Chandra menatapnya, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Shabiya juga tak berkata apa-apa. Hanya ada keheningan yang menggantung di antara mereka, seolah mereka berdua sama-sama tahu bahwa pertemuan ini hanyalah awal dari sebuah kisah yang dipaksakan. Sebuah pernikahan yang bukan karena cinta, tapi karena kewajiban.

***

Chandra menatap Shabiya yang berdiri diam di ujung ruangan. Ruang tamu keluarga itu begitu luas dan megah, dihiasi dengan lukisan-lukisan besar yang tergantung di dinding dan perabotan antik yang ditata dengan sempurna. Jendela-jendela besar membiarkan cahaya matahari sore yang redup masuk, menciptakan bayangan-bayangan samar di lantai marmer yang mengilap. Meski ruangan ini dipenuhi keindahan, suasananya terasa dingin dan canggung, seolah kemewahan itu tidak mampu menghangatkan jarak yang terbentang di antara mereka.

Shabiya berdiri tegak, punggungnya lurus, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tidak memalingkan wajah dari Chandra, namun tatapannya penuh dengan kekakuan, seolah menahan emosi yang sulit ditebak. Gaun panjang krem yang dikenakannya bergelombang halus di sekitar kakinya, mengikuti setiap gerakan kecil tubuhnya yang anggun.

Chandra melangkah maju, setiap langkahnya terdengar bergema di ruangan yang terlalu sunyi. Detak jantungnya terasa begitu keras, bukan karena gugup, tetapi karena kemarahan dan kekecewaan yang terus menghantuinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu. Ketika jarak di antara mereka sudah cukup dekat, Shabiya akhirnya angkat bicara, suaranya tenang tapi sarat dengan ketegangan yang terpendam.

“Aku tahu ini bukan pilihanmu,” kata Shabiya pelan, tapi tegas. “Dan kau harus tahu, ini juga bukan pilihanku.”

Chandra menatap wajah gadis itu, mencoba mencari petunjuk dari sorot matanya. Di balik tatapan dingin itu, ia bisa merasakan ada kerumitan emosi yang sama seperti yang ia rasakan_kecewa, marah, dan ketidakberdayaan. Namun, Shabiya tidak menunjukkan kelemahannya, dia tampak tegar dan terkendali.

“Tidak ada yang menginginkan ini, Shabiya,” jawab Chandra, suaranya rendah dan dingin, mencerminkan kebekuan hatinya. “Tapi di dunia kita, apa yang kita inginkan tidak selalu berarti apa-apa.”

Shabiya menatapnya dengan tatapan tajam, seolah mengevaluasi setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Benar. Tapi aku tidak ingin kita berpura-pura, Chandra. Jika kita harus melakukan ini, aku hanya meminta satu hal_kejujuran. Aku tidak mengharapkan cinta atau perhatian, tapi aku tidak akan toleransi kebohongan.”

Keheningan menyelimuti mereka lagi. Chandra merasakan ada kekuatan dalam kata-kata Shabiya yang membuatnya tersentuh, meskipun ia tidak ingin mengakuinya. Wanita ini berbeda dari yang ia bayangkan. Ia pikir Shabiya akan menjadi wanita yang lemah, tunduk pada kehendak keluarganya tanpa perlawanan. Namun, yang berdiri di hadapannya adalah seorang wanita yang kuat dan penuh tekad, seseorang yang menuntut kejelasan bahkan di tengah situasi yang kacau.

“Aku tidak punya alasan untuk berbohong padamu,” jawab Chandra, tatapannya tetap dingin. “Aku juga tidak mengharapkan apapun darimu. Ini hanya... formalitas. Sesuatu yang harus dilakukan.”

Shabiya menghela napas, suaranya terdengar lebih lembut sekarang. “Mungkin begitu. Tapi aku harap kita bisa menjaga hubungan ini dengan kehormatan, meskipun tanpa perasaan.” Ia memalingkan wajahnya sejenak, menatap keluar jendela di mana sinar matahari yang tersisa mulai memudar, menggantikan langit dengan kegelapan malam. “Aku tidak ingin menjadi boneka dalam permainan keluargaku, Chandra. Dan aku yakin kau juga tidak.”

Chandra diam, meresapi kata-kata Shabiya. Ada kesamaan dalam luka mereka. Meski mereka datang dari keluarga yang berbeda, beban yang mereka tanggung terasa mirip_tanggung jawab keluarga, reputasi, dan pengorbanan atas kehendak pribadi. Chandra mulai menyadari bahwa Shabiya, seperti dirinya, hanyalah korban dari permainan yang lebih besar.

“Aku mengerti,” jawab Chandra akhirnya, nadanya sedikit lebih lunak. “Kita mungkin tidak menginginkan ini, tapi kita bisa menjalani ini dengan cara kita sendiri.”

Shabiya menoleh kembali padanya, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh makna. “Baik. Kita jalani dengan cara kita. Tapi ingat, Chandra, aku tidak akan membiarkan diriku terluka lebih dari ini.”

Ada keteguhan dalam ucapannya, seolah ia sudah siap untuk menjaga dirinya dari rasa sakit yang lebih dalam. Chandra mengangguk pelan, menghargai ketegasan Shabiya. Ia bukan Erika. Wanita ini tidak akan bermain di belakangnya, ia tidak akan mengkhianatinya seperti yang dilakukan Awan dan Erika. Meskipun pernikahan ini dimulai dari kehampaan, mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih bisa berkembang dari kejujuran yang mereka sepakati.

Setelah beberapa detik yang panjang, Shabiya melangkah mundur, menunjukkan bahwa percakapan mereka telah selesai untuk saat ini. “Besok kita akan berbicara dengan keluarga. Semua akan diatur.” Ucapannya terdengar formal, seperti seorang diplomat yang menegosiasikan perjanjian.

Chandra mengangguk sekali lagi, lalu berbalik dan melangkah pergi. Saat ia berjalan keluar dari ruangan besar itu, perasaan aneh mulai menggerogoti dirinya. Wanita yang baru saja ia temui ini begitu berbeda dari yang ia bayangkan. Ada sesuatu tentang Shabiya yang membuat Chandra merasa bahwa pernikahan ini, meskipun tanpa cinta, mungkin tidak akan seburuk yang ia kira.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Chandra berhenti sejenak di koridor besar rumah itu. Ia menatap tangannya sendiri, merasa dingin yang merambat dari ujung jari ke seluruh tubuhnya. Ia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ini bukan pernikahan biasa_ini adalah sebuah kontrak tanpa cinta, tapi penuh dengan harapan dan tuntutan kejujuran. Mungkin, hanya mungkin, ada jalan untuk mereka berdua menemukan sesuatu di tengah kekosongan ini.

Tetapi di sisi lain, Chandra juga tahu_bayang-bayang pengkhianatan masih mengikuti setiap langkahnya.

***

Terpopuler

Comments

ona

ona

wih keren banget, kakak /Applaud/ semangat ngetik lanjutannya /Determined/

2024-11-03

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!