Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Bab 9 Bagas yang tangguh.
Bagas memasuki ruang guru dengan wajah lebam dan memar. Guru yang bertugas menatapnya dengan serius, menandakan mereka ingin jawaban. Bagas menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menjelaskan kronologi kejadian tanpa banyak detail, menghindari perhatian lebih.
Guru pembimbing, Pak Rudi, mengangguk mendengar penjelasannya. "Bagas, kamu harus paham, kekerasan bukan solusi. Kami akan menindak lanjuti masalah ini, tapi kamu juga harus belajar mengendalikan emosi," ujar Pak Rudi dengan nada tegas namun bijaksana.
Bagas mengangguk pelan. "Iya, Pak. Saya mengerti."
Setelah 15 menit, Bagas diizinkan keluar, dan guru menginformasikan bahwa para siswa yang menghajarnya juga akan dipanggil untuk diperiksa.
Saat Bagas hendak meninggalkan ruang guru, tangan seorang guru perempuan, Bu Mira, menyentuh lengannya. "Bagas, tunggu sebentar. Kita ke ruang UKS dulu, ya," katanya dengan lembut.
Bagas menatap Bu Mira dengan sedikit bingung, tapi ia tidak melawan. Mereka berjalan menuju ruang UKS. Di dalam, tiga siswi sedang bertugas; mereka langsung membisu saat melihat Bagas masuk, namun sesekali saling bertukar pandangan, memberi kode penasaran.
Dokter sekolah memeriksa Bagas dengan teliti, membersihkan luka di bibir dan memasang perban kecil di pelipisnya. "Sudah, istirahat sebentar, ya," ujar dokter sambil tersenyum ramah.
Bagas hanya mengangguk, kemudian keluar menuju kelasnya. Sepanjang koridor, mata-mata penasaran siswa lain terus mengarah padanya. Bisik-bisik mulai terdengar, tetapi Bagas tetap berjalan dengan tenang. Ia tiba di kelas dan duduk di bangkunya, menahan perih di bibirnya yang pecah.
Tiba-tiba, empat sosok besar mendekati bangkunya. Dino, Dika, Faisal, dan Filip—teman-teman lamanya dari SMP yang kini satu sekolah dengannya.
"Lo gak apa-apa, Gas?" tanya Dino, wajahnya terlihat khawatir.
Bagas menghela napas dan tersenyum miris. "Lo liat sendiri, gue bengep gini, apa gue keliatan gak apa-apa?" canda Bagas, meski suaranya terdengar lemah.
Filip mendengus. "Ini gak bisa dibiarkan. Ketua geng kita bengep begini."
Dika mengangguk serius. "Siapa mereka? Gue kejar sekarang."
Dito yang baru datang menimpali sambil cemberut. "Udah, kalian berlagak pahlawan. Ntar ketemu musuh kabur duluan, kayak biasa."
Filip hanya menyeringai sambil mengangkat alis. "Tunjukin aja orangnya, Gas. Gue santai aja ngelahap mereka."
Bagas menggeleng lelah. "Udah, gak usah diperpanjang. Kita ada di sekolah, bukan di jalanan. Fokus aja ke pelajaran," ujarnya sambil menahan tawa kecil, membuat bibirnya kembali terasa sakit.
Bel tanda pelajaran kembali dimulai berbunyi, semua siswa buru-buru kembali ke bangku masing-masing. Suasana kelas kembali tenang, dan pelajaran berjalan tanpa gangguan.
Ketika bel pulang berbunyi, Bagas menghela napas lega. Ia berjalan perlahan menuju parkiran, tubuhnya terasa letih. Ia membuka mobil sport hijaunya, memasukkan barang-barangnya, dan menyalakan mesin. Namun, saat ia hendak melaju keluar, lima sosok familiar menghadangnya dengan wajah penuh ejekan.
Bagas menatap mereka dengan rahang yang mengeras, menggigit bibirnya yang perih. “Ini belum selesai, rupanya,” gumamnya dalam hati, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.
Bagas keluar dari mobil sportnya, berdiri tegap di hadapan lima berandal yang menghadangnya. Nafasnya berat, dan rasa sakit di tubuhnya tidak menghentikannya untuk menatap tajam. "Lo semua punya masalah apa sama gue?" Bagas bertanya dengan nada marah, matanya menyala penuh emosi.
Salah satu berandal mengangkat bahunya dengan wajah mengejek. "Hah... Apa? Gue gak dengar," ucapnya dengan pura-pura tak mendengar sambil meletakkan tangan di belakang telinga, memancing amarah Bagas.
Tanpa berpikir panjang, Bagas melesat ke depan, tinjunya mendarat telak di rahang berandal yang paling dekat. Berandal itu terjengkang mundur, terkejut. Rekan-rekannya langsung berusaha menyerang, tapi Bagas dengan gesit melemparkan switernya ke salah satu dari mereka, membutakan pandangannya, lalu menendang perutnya dengan kuat.
Saat Bagas hendak kembali ke posisi siap, seseorang dari belakangnya memegang kedua bahunya, menahannya dalam pelukan erat. Salah satu berandal, yang baru saja bangkit setelah terkena pukulan Bagas, melangkah maju dengan niat memukulnya. Tapi Bagas yang menyadari gerakan itu, dengan cepat membalikkan tubuhnya, membuat gerakan kuncian yang membuat pegangan di belakangnya terlepas. Dengan satu tendangan kuat, Bagas membuat mereka jatuh terkapar.
Bagas, terengah-engah, mendekati salah satu berandal yang masih terbaring dan meninju wajahnya berulang kali hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah. Amarah yang membakar dirinya membuatnya lupa pada sekelilingnya.
"Gas, udah! Mereka udah gak bisa apa-apa," sebuah suara memecah fokusnya. Tangan lembut namun tegas menghentikan pukulannya.
Bagas mengangkat wajahnya yang dipenuhi keringat dan darah. April, kapten tim basket sekolah, berdiri di sana dengan tatapan prihatin. "Udah cukup, Gas," ucapnya lagi.
Bagas tersenyum lemah sebelum matanya mulai buram. "Makasih, Kak April," bisiknya sebelum tubuhnya terkulai, pingsan di pelukan April.
April menahan tubuh Bagas dengan sigap, memeluknya agar tidak terjatuh. "Ayo, Gas... bertahanlah," katanya sambil menarik napas panjang dan mengangkat tubuh Bagas, membopongnya menuju mobil sport hijau yang terparkir tak jauh dari situ.
Dalam perjalanan, Bagas perlahan membuka matanya. "Kak... maaf ngerepotin," ucapnya pelan.
April tersenyum tipis. "Santai aja. Lo hebat, Gas. Gue salut sama tenaga lo. Bisa-bisanya melawan lima orang."
Bagas tersenyum lemah. "Mungkin karena kebiasaan olahraga."
April mengangguk, lalu menatapnya dengan heran. "Udah, tunjukin rumah lo di mana."
Bagas menunjuk arah rumahnya dengan tangan gemetar. Tak berapa lama, mobil sport hijau itu berhenti di depan rumahnya. April keluar lebih dulu, membuka pintu dan membantu Bagas keluar.
Bik Asih, pembantu rumah, langsung keluar rumah dan terkejut melihat keadaan Bagas. "Astagfirullah! Den Bagas! Siapa yang bikin begini?" serunya panik.
Suara Bik Asih membuat Ibunda Bagas, Ibu Irana, segera keluar dari rumah. Pandangannya berubah penuh kekhawatiran saat melihat anaknya yang memar dan berdarah. "Bagas! Ya Tuhan, apa yang terjadi, Nak?"
April membantu Bagas yang lemas ke ruang tamu. Dengan hati-hati, ia menidurkan Bagas di sofa, sementara Ibu Irana menatap penuh kekhawatiran. "Bagas, Nak... apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" suaranya bergetar, tangan gemetar memegang lengan Bagas.
April menatap Ibu Irana dengan tenang, berusaha menjelaskan. "Tante, tadi Bagas diserang di depan sekolah oleh beberapa siswa. Dia melawan untuk mempertahankan dirinya. Saya menemukannya saat kejadian hampir selesai."
Bik Asih, yang sudah membawa perlengkapan medis sederhana, mulai membersihkan luka-luka di wajah Bagas. "Den Bagas, tahan sebentar ya, Bibi obati luka-luka ini," ucapnya dengan lembut, menempelkan kain basah ke pelipis Bagas yang lebam.
Bagas meringis, tapi tetap diam. Matanya perlahan menatap ke arah ibunya. "Ma, maaf...," bisiknya lemah, seolah merasa bersalah membuat ibunya khawatir.
Ibu Irana mengusap rambut Bagas penuh kasih. "Yang penting kamu selamat, Nak. Jangan minta maaf. Kami cuma ingin kamu baik-baik saja."
Tak berapa lama kemudian, telepon rumah berdering. Ibu Irana segera mengangkatnya, masih dengan napas yang tersengal. "Halo?"
"Selamat sore, Ibu Irana. Ini pihak sekolah. Kami baru saja mendapat laporan mengenai kejadian yang menimpa Bagas. Kami ingin menanyakan keadaannya, dan atas nama sekolah, kami sangat menyesal atas insiden ini. Kami akan menindaklanjuti para pelaku," suara kepala sekolah terdengar serius dan penuh rasa penyesalan.
Ibu Irana menutup telepon dengan anggukan kecil. "Terima kasih, Pak. Bagas sedang beristirahat, nanti saya sampaikan pesan Anda," jawabnya dengan nada yang lebih tenang.
Sementara itu, April yang duduk tak jauh dari sofa, memandang sekeliling rumah Bagas. Matanya tertuju pada lapangan basket yang terletak di halaman belakang. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Pantas saja dia bisa ngimbangi gue pas mini game kemarin, pikirnya. Dia memang lawan yang setara.
April kembali ke ruang tamu dan menatap Ibu Irana. "Tante, saya pamit dulu. Kalau ada apa-apa, tolong kabari saya, ya."
Ibu Irana tersenyum hangat. "Terima kasih banyak, April, sudah membantu Bagas."
April mengangguk pelan, lalu melirik Bagas yang mulai terlelap. "Sampai ketemu, Gas. Cepat sembuh," bisiknya sebelum melangkah keluar rumah dengan perasaan campur aduk.