Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Gavin dan Dasha duduk bersama di ruang tamu setelah makan malam, suasana di sekitar mereka terasa tenang meskipun perasaan Gavin sedang gelisah. Ia menatap Dasha, yang terlihat sedikit lelah setelah seharian bekerja. Gavin sudah lama merasakan jarangnya Dasha berada di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang mengharuskan dia keluar dari pagi hingga malam.
“Dasha, aku ingin bicara denganmu tentang sesuatu,” kata Gavin perlahan, suaranya penuh perhatian.
Dasha menoleh, sedikit terkejut mendengar nada serius suaminya. “Ada apa, sayang? Kenapa tiba-tiba serius begini?”
Gavin menghela napas, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Aku tahu kamu bekerja keras, dan aku menghargai itu. Tapi akhir-akhir ini, aku merasa kita jarang punya waktu bersama. Bahkan, aku merasa kamu lebih sering di luar rumah daripada di sini. Aku merindukan kebersamaan kita, Dasha.”
Dasha terdiam sejenak, kemudian menatap Gavin dengan penuh perhatian. “Aku tahu, Gavin. Aku juga merasakan itu. Tapi pekerjaan ini sangat penting, aku harus memastikan semuanya berjalan lancar,” jawab Dasha, meskipun suara di ujung kalimatnya terdengar letih.
Gavin menggenggam tangan Dasha dengan lembut. “Aku paham, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat ingin kamu lebih banyak di rumah, bersama aku. Mungkin kamu bisa berhenti dari pekerjaanmu yang begitu menuntut itu, dan kita bisa coba usaha lain yang lebih fleksibel. Misalnya, membuka toko kue. Aku tahu kamu suka membuat kue, dan itu bisa jadi cara kita menghabiskan waktu bersama sambil tetap punya penghasilan.”
Dasha terkejut dengan usulan itu. “Maksudmu berhenti bekerja di kantor dan membuka toko kue?”
Gavin mengangguk. “Ya, aku percaya itu bisa jadi pilihan yang baik untuk kita. Aku akan membantu dengan segala yang dibutuhkan untuk memulai usaha itu. Kita bisa bekerja di toko bersama, membuat kue, dan pelanggan akan datang, sementara kita bisa lebih banyak waktu di rumah. Aku ingin kamu lebih banyak ada di sini, Dasha.”
Dasha merasa terharu mendengar perhatian Gavin. Selama ini dia terlalu fokus pada pekerjaannya dan jarang mendengarkan keinginan Gavin. “Aku tidak tahu harus bilang apa, Gavin. Itu terdengar sangat menyenangkan, tapi aku khawatir jika itu tidak berhasil, bagaimana?”
“Jangan khawatir, aku akan selalu mendukungmu. Kita bisa mulai perlahan, dan jika itu berhasil, kita bisa membuatnya lebih besar. Yang terpenting adalah kita bisa bersama-sama lagi, dan itu lebih berharga dari apapun,” jawab Gavin dengan keyakinan.
Dasha menatap suaminya dalam-dalam. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, dia merasakan kedamaian. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk membuat perubahan besar, untuk lebih fokus pada kebahagiaan mereka berdua. “Aku akan pikirkan, Gavin. Terima kasih sudah mendengarkan dan memberikan solusi yang begitu indah.”
Gavin tersenyum, bahagia mendengar kata-kata Dasha. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Dasha. Apapun keputusanmu, aku akan selalu ada di sini untukmu.”
.
.
.
.
Dasha duduk terdiam sejenak, pikirannya berkelana. Tawaran Gavin untuk membuka toko kue bersama terdengar begitu menggoda, namun keraguan masih menghantui pikirannya. Dia tidak bisa mengabaikan betapa pentingnya pekerjaan yang telah dia jalani bertahun-tahun, meskipun dia juga tahu bahwa sesuatu harus berubah jika mereka ingin kembali merasakan kebahagiaan yang lebih besar.
“Aku tahu kamu hanya ingin yang terbaik untuk kita, Gavin,” kata Dasha akhirnya, suara lembut namun penuh makna. “Tapi aku benar-benar merasa berat untuk meninggalkan pekerjaan ini begitu saja. Ini bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang tanggung jawab yang sudah aku jalani. Apa kita benar-benar siap untuk mengambil langkah besar seperti itu?”
Gavin mengangguk, matanya penuh keyakinan. “Aku mengerti. Aku tahu itu keputusan besar, Dasha. Tapi kita bisa membuatnya perlahan, tidak perlu terburu-buru. Aku akan mendukungmu, dan kita bisa merencanakan semuanya dengan hati-hati. Aku ingin kamu merasa nyaman dengan keputusan ini.”
Dasha menatap Gavin sejenak, merasakan cinta dan dukungan yang begitu besar dari suaminya. “Aku tahu kamu selalu mendukungku, Gavin. Itu membuatku merasa lebih tenang. Mungkin kita bisa mulai mencari tahu lebih banyak tentang membuka toko kue. Aku suka membuat kue, tapi aku juga harus belajar bagaimana mengelola bisnis ini dengan baik.”
Gavin tersenyum lebar, mengusap rambut Dasha dengan lembut. “Tentu, kita bisa belajar bersama-sama. Kita mulai dari hal-hal kecil, memikirkan desain toko, menu kue, atau mungkin mencari lokasi yang tepat. Aku yakin dengan kemampuanmu, Dasha. Kita bisa buat ini berhasil.”
Dasha merasa sedikit lebih ringan. “Aku tidak akan melakukannya sendirian, kan?” tanyanya dengan lembut, setengah bercanda, namun juga penuh harapan.
“Tentu saja, aku akan selalu di sini untuk membantu,” jawab Gavin dengan tulus. “Kita akan melakukan ini bersama-sama, seperti tim yang solid.”
Mereka saling tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Dasha merasakan kebahagiaan yang begitu sederhana namun mendalam. Keputusan besar ini mungkin masih jauh dari pasti, tetapi dengan Gavin di sisinya, dia merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan apapun yang akan datang.
Malam itu, mereka duduk bersama, membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang ada, merancang impian kecil mereka untuk masa depan yang lebih tenang dan bahagia. Tanpa sadar, perasaan gelisah yang sempat mengganggu Gavin perlahan hilang, digantikan dengan harapan baru yang lebih cerah.
Setelah beberapa malam berpikir panjang, Dasha akhirnya merasa yakin dengan keputusan yang harus dia ambil. Meski ada rasa cemas dan ketakutan tentang langkah besar yang akan mereka ambil, hatinya berkata bahwa inilah saat yang tepat. Pekerjaan yang selama ini dia jalani memang penting, tetapi kebahagiaan dan kedamaian yang dia dambakan jauh lebih berharga.
Pada suatu sore, setelah seharian sibuk di kantor, Dasha pulang lebih awal dari biasanya. Gavin, yang sudah menunggu di ruang tamu, tersenyum begitu melihat Dasha memasuki rumah. Dasha bisa melihat betapa Gavin sangat menunggu keputusannya.
“Sayang, ada sesuatu yang ingin aku katakan,” kata Dasha dengan nada yang lebih mantap dari biasanya.
Gavin langsung menatapnya dengan penuh perhatian, hati berdebar menunggu kata-kata berikutnya. “Apa itu, Dasha? Kamu sudah memikirkannya?”
Dasha mengangguk, matanya bersinar. “Aku sudah memikirkannya dengan matang, Gavin. Aku setuju untuk mencoba membuka toko kue bersama. Aku rasa ini adalah langkah yang tepat untuk kita. Aku ingin lebih banyak waktu di rumah, bersama kamu. Dan aku percaya ini bisa jadi awal yang baru untuk kita berdua.”
Gavin terkejut, kemudian wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang tulus. “Dasha, kamu serius? Aku sangat bahagia mendengar itu. Aku janji akan membantu sebisa mungkin, kita akan melalui ini bersama.”
Dasha tersenyum lebar, merasa lega mendengar respons Gavin. “Aku percaya padamu, Gavin. Kita bisa mulai pelan-pelan. Aku ingin memulai dengan hal-hal kecil dulu, seperti mencari lokasi, merencanakan menu kue, dan tentu saja, aku akan belajar banyak tentang bagaimana menjalankan usaha ini.”
Gavin berdiri dan menarik Dasha dalam pelukannya. “Aku sangat bangga padamu, Dasha. Ini bukan hanya tentang membuka toko kue, tapi tentang kita kembali menemukan kebahagiaan bersama. Aku yakin kita bisa sukses, karena kita punya satu sama lain.”
Dasha menatap Gavin, hatinya penuh dengan rasa syukur. Dia tahu bahwa membuka usaha bersama bukanlah hal yang mudah, tetapi dengan dukungan dan cinta Gavin, dia merasa siap untuk menghadapinya. “Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku sudah siap. Kita akan belajar bersama-sama.”
Keesokan harinya, mereka mulai merencanakan segala sesuatu yang diperlukan untuk membuka toko kue impian mereka. Mereka mencari tahu tentang perizinan, mencari lokasi yang strategis, dan mulai membuat daftar resep-resep kue yang akan mereka tawarkan. Dasha bahkan mulai merancang desain toko dengan Gavin, menciptakan suasana yang nyaman dan menarik bagi pelanggan.
Selama beberapa minggu berikutnya, mereka bekerja sama tanpa kenal lelah. Meskipun ada tantangan yang mereka hadapi—mulai dari perizinan yang rumit hingga masalah kecil dalam merancang menu—mereka tetap bersemangat. Setiap malam, mereka duduk bersama setelah bekerja, berbicara tentang hari mereka, dan merencanakan langkah berikutnya. Mereka merasa semakin dekat, dan kebahagiaan yang sempat hilang kini kembali hadir.
Hari pembukaan toko kue mereka pun tiba. Dasha dan Gavin membuka pintu toko mereka dengan penuh semangat, menyambut pelanggan pertama mereka dengan senyum lebar. Dasha merasa bangga melihat hasil kerja keras mereka terwujud.
“Ini hanya permulaan, Dasha,” kata Gavin, menggenggam tangan Dasha dengan lembut. “Aku yakin kita akan terus berkembang, dan yang lebih penting, kita akan terus bersama-sama.”
Dasha menatap Gavin dengan penuh cinta. “Aku tahu, Gavin. Ini baru awal dari perjalanan panjang kita, dan aku siap menjalani semuanya bersamamu.”
Toko kue kecil mereka pun mulai dikenal, dengan pelanggan yang kembali datang karena kue-kue lezat dan suasana hangat yang mereka ciptakan. Meski perjalanan baru dimulai, Dasha merasa bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Tidak hanya karena mereka memiliki usaha yang berjalan, tetapi juga karena mereka kembali menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan yang dulu sempat hilang.